x

Sejumlah potongan kaki kambing yang telah disembelih untuk kurban dalam perayaan Hari Idul Adha di Ceuta, Spanyol, 1 September 2017. REUTERS

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yang Terpikirkan dari Idul Adha

Idul Adha adalah perayaan haji sekaligus pengingat solidaritas sosial. Konsekuensi sosial (dan lingkungan) dari Idul Adha itu perlu didiskusikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ismail atau Ishak, dan Masalah Penafsiran Tunggal

Bertahun-tahun yang lalu, seorang sahabat berdiskusi dengan saya soal siapa anak yang dikorbankan oleh Nabi Ibrahim, Ismail atau Ishak.  Isu ini membelah tiga agama samawi.  (Sebagian besar) Muslim percaya bahwa Ismail-lah yang dikorbankan, sementara para penganut Kristen dan Yahudi percaya bahwa itu adalah Ishak. Teman saya mengakhiri diskusi itu dengan menyatakan “Elo periksa Quran deh,” untuk membela apa yang dia percaya; dan saya sambil tersenyum menyatakan bahwa justru Quran tidak menegaskannya.

Tahun lalu, saya membaca tulisan Profesor Mun’im Sirry tentang hal tersebut.  Salah satu penjelasan (spekulatif) atas tidak eksplisitnya Quran adalah karena sesungguhnya umat Muhammad itu sudah tahu detail peristiwanya dari interaksi dengan kaum Kristen dan Yahudi yang menempati Jazirah Arab ketika itu. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang menarik, catat Sirry, para mufasir awal cenderung menyebut Ishak sebagai anak Ibrahim yang dikorbankan, bukannya Ismail.  Dalam tulisannya, Sirry menyatakan bahwa Muqatil bin Sulaiman, salah satu ahli tafsir paling awal, secara tegas menyebut bahwa Ishak-lah yang merupakan dzabih (anak yang disembelih.)  Itu catatan dari abad ke-8, karena bin Sulaiman meninggal pada tahun 767 Masehi.

Loncat dua abad kemudian, riwayat yang menyatakan bahwa yang (hendak) disembelih adalah Ismail menguat.  Muhammad bin Jarir al Tabari—sejarawan dan mufasir yang meninggal pada tahun 923 Masehi—menyebutkan bahwa di antara mufasir terdapat perbedaan. Sejumlah 17 riwayat menyatakan Ishak-lah anak Ibrahim yang dikorbankan, sementara 24 riwayat menyatakan Ismail.  Tabari sendiri lebih condong pada pendapat yang menyatakan bahwa anak itu ialah Ishak. 

Berselang empat abad, yaitu pada masa Taq? ad-D?n Ahmad ibn Taymiyyah (wafat 1328) dan Ismail ibn Kathir (wafat 1373), pandangannya sudah berbeda sama sekali.  Ismail-lah anak itu.  Bahkan, ulama yang saya sebut belakangan ini menyatakan bahwa pendapat yang berbeda dengannya itu adalah kidzb wa buhtan, yang artinya bohong dan dusta (Sirry, 2016). 

Sejujurnya, wacana soal ini sama sekali tidak diketahui oleh majoritas Muslim.  Setidaknya, Muslim kebanyakan di Indonesia yang saya kenal.  Karenanya, tidak mengherankan kalau seluruh kotbah salat Idul Adha meyakini saja bahwa Ismail-lah anak yang dikorbankan.  Tak pernah sekalipun saya mendengar ada khatib yang menyatakan sesungguhnya Quran tidak menyatakan secara tegas riwayat itu.  Tulisan-tulisan yang terkait dengan peristiwa itu juga seakan tak pernah lagi menganggap masalah itu multi-tafsir. 

Dalam refleksi saya, masalah penafsiran tunggal inilah, dengan memberi label negatif pada mereka yang berbeda penafsiran, adalah salah satu yang membuat masalah besar di antara Muslim. Sebagian besar Muslim Indonesia tampaknya tak terbiasa dengan perbedaan pandangan; dan perbedaan—alih-alih dipandang sebagai rahmat—kerap dianggap sebagai sumber perpecahan.  Perbedaan pandangan juga dianggap sebagai pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan.  Saya kira, dalam kondisi sekarang, sangat mungkin akan ada tindakan kekerasan kalau seorang khatib salat Idul Adha menyatakan bahwa Ishak-lah yang hendak disembelih oleh Nabi Ibrahim, bukan Ismail.

Buat saya, sangatlah menarik memerhatikan bahwa sesungguhnya di masa lalu penafsiran bisa jauh lebih beragam, seperti yang dikumpulkan oleh al Tabari, tanpa menimbulkan gesekan apalagi kekerasan.  Umat Islam saat itu sangat dewasa dalam menghargai perbedaan, dan itu membuat dialog menjadi kaya. 

 

Mencari Tafsir yang Lebih Luas

Kedewasaan yang sama juga telah membuat apa yang disembelih dalam perayaan Idul Adha menjadi tidak sekadar hewan ternak yang popular di Jazirah Arab saja, yaitu unta dan domba.  Hewan ternak yang tak bisa ditemukan di sana—seperti llama, kijang, yak, banteng, sapi, kerbau, dan berbagai jenis kambing—juga disembelih untuk qurban.  Saya sendiri bertanya-tanya apakah sebetulnya hanya hewan ternak berkaki empat yang dianggap sah sebagai qurban, mengingat Allah sendiri menyatakan bahwa bukan daging dan darah hewan qurban yang membuatNya rida, melainkan keikhlasan mereka yang melakukannya.

Saya sama sekali tak punya kualifikasi dalam ilmu tentang Syariat atau hukum Islam, tetapi benak saya yang terlatih dalam ilmu-ilmu sosial sangat tergoda untuk menyatakan bahwa tentu saja qurban yang tepat pada masyarakat pastoral, di mana dan ketika Quran diturunkan, tentu adalah ternak terbaik.  Tetapi, dalam situasi sekarang, di mana hewan ternak bukanlah kekayaan utama sebagian besar masyarakat Muslim, maka qurban berupa hewan ternak sesungguhnya ‘tinggal’ memiliki nilai historis dan simbolisnya. 

Dalam banyak kotbah Idul Adha yang saya dengar, jelas sekali bahwa nilai-nilai solidaritas adalah yang menjadi salah satu hikmah terpenting.  Para khatib menyatakan bahwa daging yang dibagikan kepada kaum miskin itu lantaran mereka perlu merasakan kegembiraan Idul Adha dengan memakan daging, yang merupakan sesuatu yang jarang mereka nikmati.  Tetapi, sekali lagi, bukankah ini sebetulnya dimaksudkan sebagai sesuatu yang simbolis belaka.  Qurban yang dibagikan kepada kaum miskin—tanpa membedakan berdasarkan agama mereka—seharusnya dipandang sebagai komitmen untuk mengurus mereka, tidak sekadar pada saat Idul Adha saja. 

Oleh karena itu, makna simbolis daging itu boleh jadi sangat penting, tetapi tindakan-tindakan yang tidak merugikan kaum miskin, juga menolong mereka keluar dari kubangan kemiskinan, seharusnya lebih penting lagi.  Tetapi, persis di titik itulah kita kerap gagal.  Banyak di antara kita melakukan tindakan-tindakan yang merugikan dan tidak melindungi/memberdayakan kaum miskin sepanjang waktu.  Di dalam ranah domestik, misalnya, apakah mereka yang memotong sapi sebagai qurban telah membayar peluh asisten rumah tangganya dengan memadai?

Saya sendiri berpikir bahwa dalam masyarakat di mana harta paling berharganya adalah uang dan bentuk-bentuk kekayaan lainnya, maka apa yang menjadi setara dengan unta dan domba itu adalah uang.  Memberi uang kepada kaum miskin pada perayaan Idul Adha mungkin dipandang sebagai ide yang aneh sekarang.  Tetapi, bukankah kaum Muslim juga sudah terbiasa mengganti zakat fitrah atau denda karena ruksah meninggalkan puasa dengan uang? 

Jadi, mengapa tidak memberikan uang setara dengan harga kambing atau sapi yang bisa lebih fleksibel dimanfaatkan sebagai sumberdaya untuk pemberdayaan kaum miskin?  Sebagai orang yang menggeluti pemberdayaan masyarakat, saya tahu bahwa memberi daging sekali setahun tidaklah cukup berarti, bahkan kalau dipandang dari upaya meringankan kelaparan sekalipun.  Saya membayangkan bahwa kerja panitia qurban akan menjadi lebih komprehensif, bukan sekadar memotong dan membagikan daging kurban, melainkan menjadi mengidentifikasi apa saja sesungguhnya kebutuhan kelompok miskin di wilayah kerjanya, lalu memutuskan bagaimana mereka bisa ditolong.  Kalau selama ini sore dan malam hari Idul Adha kerap ditandai dengan orang-orang membakar sate, mungkin tanda seperti itu akan menjadi susut, tapi kaum miskin bisa lebih tertolong.  

Menuju Solidaritas Sosial Sepanjang Waktu

Sekali lagi, saya hanya tergelitik untuk bertanya, bukan menggugat, apalagi sotoy memberikan tafsir baru.  Saya sadar sepenuhnya tak punya kualifikasi untuk itu.  Tetapi, tentu saya berhak untuk bertanya, seperti halnya malaikat yang keheranan lalu bertanya ketika Allah hendak menurunkan manusia—yang menurut mereka tak layak untuk diberi amanat—ke Bumi. 

Makna Idul Adha sebagai penguatan solidaritas sosial sendiri menurut saya sangat penting dan tak bisa lebih relevan lagi buat kondisi sekarang.  Kita sedang berada pada masa di mana solidaritas sosial bukan saja sedang menurun, melainkan juga terjabik.  Tenun keislaman dan kebangsaan kita tampak sedang terurai, helai demi helai benangnya terlepas, atau bahkan seperti sedang ditarik dengan sangat keras. 

Perilaku kita sendiri banyak yang jauh dari islami dari sudut pandang sosial itu.  Korupsi merajalela.  Tidak membayar sesuai dengan nilai pekerjaan dan kebutuhan hidup layak tampak dipandang biasa saja.  Jalanan kita adalah cermin tipisnya kesadaran tentang hak dan keamanan orang lain.  Persekusi kepada pihak yang dianggap melakukan tindakan yang melukai kelompok tertentu.  Pemukulan beramai-ramai dan pembakaran terhadap orang yang disangka mencuri. Entah berapa banyak lagi contoh yang bisa disebutkan untuk menggambarkan bahwa solidaritas sosial yang dikotbahkan dalam salat Idul Adha sebetulnya memang ada dalam kondisi darurat. 

Itu semua baru urusan dengan orang-orang yang hidup sekarang dan berada dekat dengan kita.  Bisa dibayangkan bahwa dalam urusan dengan mereka yang hidup berjauhan atau ada di masa mendatang tentu kita lebih payah lagi.  Kita semua menyatakan rasa sayang kepada anak dan cucu, tetapi apakah tindakan kita secara kolektif mencerminkan hal itu?  Sayangnya tidak.  Kalau Nabi Ibrahim hendak mengorbankan anaknya karena perintah Allah, sekarang kita sebetulnya sedang mengorbankan anak-cucu kita karena keserakahan dan ketidaksadaran. 

Yang saya maksudkan adalah perilaku kita yang merusak Bumi dalam kecepatan yang sangat tinggi.  Lantaran cara kita hidup, tahun ini jatah kita hidup hingga 31 Desember sudah kita habiskan pada tanggal 2 Agustus.  Itu adalah tanggal Earth Overshoot Day 2017.  Sejak tanggal 3 Agustus lalu kita sudah mengambil jatah anak-cucu.  Secara kasar, kita telah menggunakan lebih dari 1,5 Bumi untuk memenuhi hajat hidup, dan dari tahun ke tahun tampak meningkat terus, tanpa meminta izin kepada generasi mendatang.  

Kalau kita periksa jejak ekologis kita, jelas sekali bahwa segala aktivitas kita yang menghasilkan emisi gas rumah kaca adalah penyebab mengapa kita mengorbankan generasi mendatang itu.  Bahkan, kalau dipikirkan lebih jauh, apa yang terjadi pada Idul Adha ini sangatlah terkait dengan itu.  Iseng-iseng saya menggunakan kalkulator karbon untuk menghitung berapa emisi dari perjalanan haji Indonesia di tahun 2017.  Setiap penerbangan pulang-pergi dari Jakarta ke Jeddah ternyata menghasilkan 2,2 ton karbon.  Tentu, tergantung embarkasinya, ada yang lebih sedikit dan banyak emisinya. Silakan kalikan dengan 221.000 jemaat haji Indonesia, kita akan mendapati emisi karbon yang sangat besar.  Kalau kita tambahkan dengan jemaat umrah setiap tahunnya, angkanya akan membengkak lebih jauh lagi, lantaran kombinasi haji dan umrah kita telah mencapai lebih dari sejuta orang setiap tahunnya. 

Demikian juga dengan emisi dari hewan ternak yang kita potong pada saat Idul Adha.  Situs Greeneatz.com memberikan data bahwa setiap kilogram daging sapi itu menghasilkan 27 kilogram emisi setara karbon alias secara rerata sama dengan bila kita berkendara 100 kilometer!  Tentu, lain tempat lain pula perhitungan emisinya, namun itu adalah angka reratanya.  Domba sendiri bahkan lebih tinggi lagi, yaitu setiap kilogramnya menghasilkan 39,2 kilogram emisi atau setara perjalanan dengan mobil sejauh 145 kilometer.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana caranya berhaji dan menyembelih hewan qurban dan tetap bisa menjaga solidaritas sosial kepada generasi mendatang?  Salah satunya adalah dengan melakukan tindakan pengurangan emisi, setidaknya setara dengan jumlah emisi yang kita keluarkan.  Kalau kita berkesempatan berhaji atau umrah, kita tahu bahwa ada sesuatu yang harus kita lakukan untuk menghilangkan 2,2 ton karbon.  Kalau kita mempersembahkan sapi sebagai qurban, kita juga tahu berapa emisi yang kita harus kompensasi.

Kalau tindakan sendiri dipandang terlampau sulit, mungkin baik juga untuk mempertimbangkan untuk membayar ‘pajak karbon’ sesuai dengan nilai social cost of carbon yang sekarang sudah dihitung, kepada pihak-pihak yang mengelolanya.  Ada perhitungan yang menyatakan bahwa setiap ton karbon sekarang bernilai USD37, tapi ada juga yang menyatakan harganya USD56, tergantung metodologi perhitungan, termasuk asumsi yang dipergunakan.  Ada pula perhitungan yang memberikan angka yang jauh lebih tinggi lagi. Van den Bergh dan Botzen, misalnya, melakukan meta-analisis di tahun 2014 dan sampai pada kesimpulan bahwa harga rerata yang disarankan para ilmuwan adalah USD125. 

Kalau kita benar-benar hendak menegakkan solidaritas sosial sebagaimana yang dikotbahkan oleh para khatib, agaknya kita perlu memikirkan masak-masak soal apa yang seharusnya kita lakukan kepada generasi mendatang, termasuk soal emisi itu.  Mungkin perhatian kepada generasi mendatang  itu juga yang mendasari hadith yang menyatakan bahwa kita perlu menanam pohon hari ini walaupun besok hari kiamat.  Ada banyak hal lain yang perlu dan bisa dilakukan, selain menanam pohon, termasuk membayar pajak karbon itu.  Dan, tentu saja, solidaritas sosial kepada siapapun—terutama kepada mereka yang miskin—perlu kita tunjukkan sepanjang waktu, bukan hanya saat Idul Adha.  Karena berbagi daging sesungguhnya hanyalah simbol atas komitmen itu.

 

Selamat Idul Adha 1438 H.

 

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB