x

Seorang wanita Nepal memegang piring berisi berbagai macam sesajian untuk disajikan pada potongan sapi di hari kesepuluh Festival Dashain di Bhaktapur, Nepal, 11 Oktober, 2016. Tidak hanya pada umat Muslim yang melakukan kurban, umat Hindu juga melan

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Totalitas Kepasrahan Ibrahim

Hidup Ibrahim, sang nabi, memperlihatkan contoh perjuangan menuju totalitas kepasrahan kepada Sang Pencipta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di tengah masyarakatnya yang menyembah berhala, di masa Babilonia dalam penguasaan Raja Namrud yang absolutis dan zalim, kira-kira 23 abad Sebelum Masehi, Ibrahim adalah figur radikal—sejak usia muda, bukan hanya ketika masih muda. Ia hancurkan patung-patung sesembahan kaumnya dan menyisakan patung terbesar. Ketika kaumnya marah mendapati patung-patung keci hancur berantakan, Ibrahim yang dituduh sebagai pelaku memberi jawaban: “Tanyalah kepada patung besar itu, siapa yang menghancurkan patung-patung kecil ini!” Kaumnya tercenung mengakui kebenaran kata-kata Ibrahim, namun mereka terbelenggu oleh tradisi. Ibrahim bersikap radikal dalam memandang tradisi kaumnya.

Penghancuran berhala-berhala ini jadi bagian dari proses pencarian Ibrahim (sekaligus panduan) untuk menemukan Tuhannya yang sejati. Tatkala malam telah gelap, Ibrahim melihat bintang dan berkata: “Ini Tuhanku,” tapi ketika bintang itu tenggelam, ia berkata: “Aku tidak suka kepada yang tenggelam.” Lalu saat Ibrahim melihat bulan, ia berkata: “Inilah Tuhanku,” tapi setelah bulan itu juga tenggelam, ia berkata: “Sesungguhnya, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.” Kemudian ketika ia melihat matahari terbit, ia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Tatkala matahari akhirnya terbenam pula, Ibrahim berkata: “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan.” “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [Al-An'am 76-79]

Dalam ikhtiar menemukan tuhannya, Ibrahim adalah seorang rasional. Pertanyaan-pertanyaan dasar yang mengusik pikirannya mendorong Ibrahim untuk mempertanyakan keyakinan kaumnya. Ketika melihat ayahnya membuat patung, Ibrahim bertanya-tanya: “Bagaimana mungkin ayah dan kaumku menyembah patung yang dibuat ayahku?” Ibrahim mempertanyakan alur logika yang sukar dicerna tapi dipegang erat oleh kaumnya. Perlawanan Ibrahim terhadap irasonalitas kaumnya, yang dipertahankan Raja Namrud bagi kelanggengan kekuasannya, dipandang Namrud sebagai ancaman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perjalanan Ibrahim dalam menemukan Tuhan sejatinya adalah semacam evolusi kemanusiaan untuk mencapai tataran ruhaniah tertinggi. Seorang Ibrahim pun melewati pintu keraguan ketika berusaha memahami mimpinya. Ibrahim merasa mendapat perintah dari Tuhan untuk menyembelih putranya, Ismail, namun ia juga sempat gamang. Ismail bukanlah anak biasa, melainkan putra yang didambakan Ibrahim seumur hidupnya. Bagi Ibrahim, Ismail adalah satu-satunya pohon yang tumbuh di lahan gersang milik seorang petani tua. Kini, ia diperintah untuk menebang satu-satunya pohon itu.

Bila ini memang perintah, jelas perintah yang mampu mengguncang jiwa figur radikal ini. Ibrahim mengalami pertentangan keras dalam dirinya: antara mengikuti perasaan hati sebagai ayah yang puluhan tahun mendambakan kelahiran seorang anak atau mengorbankan anaknya demi mematuhi perintah Tuhan sejatinya. Barangkali, bagi Ibrahim, mengorbankan diri sendiri lebih mudah dibandingkan mengorbankan anaknya, seperti pernah ia tunjukkan ketika dihukum bakar oleh rezim Namrud—ia tidak gentar, ia tidak ragu sedikitpun, menghadapi hukuman itu.

Tapi Ibrahim akhirnya memperlihatkan pencapaian keruhaniannya ketika ia memilih menuruti perintah menyembelih Ismail. Saat itulah, Ibrahim mencapai totalitas kepasrahan—pencapaian yang sangat sulit dicapai oleh siapapun. Ibrahim telah mampu menisbikan yang lain untuk meraih totalitas kepasrahan kepada perintah Tuhan sejatinya, Tuhan yang Mutlak. Rasionalitas Ibrahim terus berevolusi hingga mencapai tataran supra-rasional, bukan malah jatuh ke dalam irasionalitas yang selama hidupnya ia tentang dengan keras.

Ketika malaikat, atas perintah Allah Sang Pencipta, mengganti tubuh Ismail dengan seekor domba, sebuah pelajaran telah diberikan kepada umat manusia: Tidak ada lagi manusia yang harus dikorbankan sebagai persembahan bagi Allah. Dalam peristiwa ini ditunjukkan sikap radikal yang menentang tradisi mempersembahkan jiwa manusia kepada para dewa. Tuhan Ibrahim bukanlah tuhan yang haus darah.

Peristiwa ini juga melambangkan penyembelihan ‘ego’ manusia—kecintaan berlebihan kepada diri sendiri, hasrat akan kekuasaan, nafsu akan kekayaan, dan setiap hal yang menghalangi manusia dalam ikhtiarnya mencapai totalitas kepasrahan. Ibrahim, pada akhirnya, mampu mencapai tataran ini setelah menjalani pendakian yang sukar dan penuh tantangan. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB