x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dialog Karl Mark dengan Mao Tse Tung dan Soekarno

Bahkan, buku-bukumu yang bicara tentang sosialisme berusaha dilenyapkan karena takut bangkitnya komunisme. Halusinasi yang kebablasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Pada sebuah lorong waktu, saat di mana hampir semua orang sedang gerah dengan ekspansi kaum liberalis, Karl Mark cemberut dan menahan marah atas kasta-kasta yang terbentuk akibat pengaruh kapitalisme yang menyentuh hampir semua lini di daratan Eropa Barat. Eropa Timur pun juga mulai terpengaruh. Karl Mark pemilik teori Sosialis melihat ada ketimpangan akibat bujuk rayu barat terutama Amerika Serikat yang mulai lancang mengobok-obok sistem pemerintahan berdasarkan mekanisme pasar, siapa kuat itulah yang menang.  Karl Mark sungguh benci, ia ingin semua orang mempunyai hak sama atas tanah, status sosial dan persamaan hak kaum buruh, petani dan peminta-minta. Sosialisme harus terbangun untuk membendung terjangan liberalisme yang merusak sendi-sendi keadilan. Keadilan harus merata. Sama rasa sama rata. Tidak boleh ada yang dominan, tidak ada kaya miskin. Semua terkendali dan dikendalikan oleh negara berdasarkan asas sosialisme. Itu cita- cita Karl Mark dan diamini oleh Lenin dan Mao Tze Tung dari Tiongkok.  Komunalisme, sosialis, pemerataan ekonomi dengan kendali penuh oleh negara. Negara adalah pengadil dan hukuman berat akan dirasakan oleh mereka yang melanggar hukum sosialis.

Soekarno Sang Founding Father sebuah negara di garis Katulistiwa tepatnya di Asia Tenggara melihat kesamaan visi dengan pandangan Karl Mark. Lenin selangkah lebih maju dengan mendirikan Komunis dan di praktekkan dengan meyakinkan oleh Mao Tze Tung di Tiongkok. Hak kaum agama ditekan, yang membangkang akhirnya tinggal nama, koum penilep dihukum seberat-beratnya penjahat terkencing-kencing jika ketahuan aksinya. Kaum seniman merasa ada tempat untuk berekspresi, tidak seperti negara Liberalisme yang menganut kebebasan tapi membuat pembedaan dengan terbentuknya kasta-kasta dalam masyarakat. Komunisme kelak akan membuat banyak kaum agamawan, liberalis ketakutan luar biasa dan menganggap PKI sebagai organisasi terlarang dengan bukti-bukti kekejian yang sengaja diekspos dan dibesar-besarkan. Soekarno merasa ada yang salah dengan pandangan orang-orang tentang komunisme. Komunisme dianggap bahaya laten yang digambarkan sebagai virus yang merasuk orang-orang yang berjuang dari akar rumput. Jika menyangkut sebuah gerakan sosial masyarakat maka segera saja ideologi negara bergerak untuk menutup celah faham fasis, komunis yang di negeri tempat kelahiran komunis sendiri sudah mulai pecah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Soekarno kemudian berinisiatif ke kamar Karl Mark yang sedang asyik menulis. Ia bukan pengelola Saracen, tapi Karl Mark sedang mengkaji ulang paham yang dicetuskannya. Muncul juga Mao Tse Tung.

“Hei, Apa kabar Soekarno, Kau Mao ke mana saja selama ini?”

“Kurang baik kabar dari negeri aku.”Begitu bisik Soekarno.

“Lho, kenapa?!”

“Ada sebuah persoalan pelik melanda negeriku. Media sosial, Tekhnologi digital yang menyerbu negeriku menjadi sumbu perpecahan. Sebentar-sebentar isu membobardir pikiran penikmat teknologi baru itu. Judul-judul berita di media online dibaca hanya sekilas dan kemudian ditanggapi dengan emosional. Berita itu kemudian dibagi-bagi dengan informasi tidak utuh lagi..Hanya dengan membaca judul orang-orang sudah berani mengambil kesimpulan dan terpengaruh.”

“Hoax?”

“Betul tepat kata Kau Mark, itulah Jika orang terkaget-kaget dengan benda  baru. Informasi utuh hanya dipahami setengah-setengah. Bumi yang bulat dibantah, mereka menganggap bumi itu datar, wawasan sempit sudah berani berdebat, padahal ia tidak sadar ia masih bodoh dan masih perlu banyak belajar dengan membaca banyak saripati ilmu dan pengetahuan.”

“Kau bagaimana Cetung(Tse kata orang Tiongkok bacanya Ce kaya ejaan Jawa barat Ceu di baca Ce, dengan menempelkan lidah tepat di belakang gigi depan)”

“Haiya, Soekalno lakyatmu hampil sama dengan negeliku, banyak. Tapi negeliku kini sudah menjadi negeli besal dengan pelekonomian laksasa. Hampil semua ploduksi dali balang mulah sampai mahal ada. Komunisme Oe katakan udah melingis, kulang laku, malah libelalisme dominan bagaimana pula kalian takut oleh komunis yang dinegelinya sendili sudah tidak laku. Soviet mana, Jerman Timul mana?tampaknya di negeli kau setiap kali bicala tentang gelakan lakyat dihubungkan dengan komunis, haiya pusing – pusing”

“Itulah Cetung negeriku. Akibat isu-isu yang susah dikendalikan itulah yang membuat rakyat terkotak-kotak dan mudah dipecah dengan isu-isu sampah. Mungkin terlalu lama dibuai mimpi dan kenyamanan dan kaget dengan serbuan teknologi kaum kapitalis sehingga tidak ada dasar kuat untuk memperkuat karakter bangsa. Negeriku penikmat kemajuan, jutaan memakainya tapi tidak berpikir untuk menciptakan inovasi baru lebih dari sekedar sebagai pengguna. Minat baca yang masih kurang terparahkan lagi dengan berita hoax yang lebih dipercaya daripada berita mainstream yang harus ditampilkan dengan data-data lapangan yang kuat dengan mengikuti aturan kode etik jurnalistik.”

“Oe, pusing dengan bahasamu Soekalno, tapi oe telsenyum harusnya Oe bangga telnyata Komunis masih menakutkan. Ya khan.”

“Aku ini korban Cetung. Dikiranya aku penganut Komunis padahal kau tahu sendiri siapa diriku. Aku suka dan dekat dengan rakyat. Semua yang kulakukan itu untuk rakyat. Memang di jamanku rakyatku tergambarkan sebagai orang menderita, harus makan bulgur, rambut mereka kutuan dan perekonomian kembang kempis. Tapi aku mempertahankan harta besar yang kelak akan membuat anak cucuku hidup makmur berkelimpahan. Tapi setelah diriku mereka menyerahkan kekayaan alam untuk dijarah Penganut kapitalis, liberalis ya sudah hancur sajalah semuanya.”

“Ha, ha, ha, ha…aku senang juga saudalaku menguasai peldagangan dan pelekonomian negeliku khan…”

“Iya…Karena hampir semua orang yang dikatakan pribumi hanya mengandalkan alam untuk mempertahankan hidupnya. Harusnya otak, kreasi dan usaha kerasnya untuk memperbaiki perekonomian bukan mengeksploitasi alam yang nantinya akan habis jika dicecap manusia serakah. Heh!, Karl Kamu diam saja.”

“Kami menyimak Soekarno!”

“Kamu mengatakan kami?maksudnya apa?!”

“Begini, kiblat perekonomian itu sekarang bergeser. Dulu kami dominan, berkibar-kibar. Tapi sekarang khan eranya Asia terutama Tiongkok yang menguasai perekonomian seluruh dunia, juga negerimu yang kini tengah berkembang pesat dengan pembangunan Infrastruktur dari hampir seluruh pelosok. Presiden penerusmu sekarang ini hampir persis seperti kau, pejuang sejati dan total membantu melepaskan diri dari jeratan kemiskinan dan pola pikir salah dalam memandang kehidupan yang terjebak dari  pemikiran radikal dan fanatik. Negeri kalian sedang terkotak- kotak dengan  membentuk poros, kubu dan ada sebagaian politisi bermain kotor sekedar beda, sekedar oposisi, tapi oportunis. Kalah menang itu hal biasa dalam kompetisi tapi kalian terlalu traumatis sehingga menganggap kekalahan itu sebagai hantu blau dan kemenangan itu sebuah harga mati. Kalian takut kalah, tapi terlalu gegap larut dalam kemenangan sehingga pemikiran logis sudah terabaikan. Pembelaan yang terlalu ekstrem sekaligus benci yang mengakar kuat tapi buta kebenaran.”

“Kau benar Karl, aku sebetulnya ingin mengatakan sesuatu ke segenap rakyatku, tapi ya sudahlah, aku hanya berdoa semoga saja mereka lekas sadar jangan terjebak isu-isu tidak jelas yang belum tentu benar. Komunisme itu sudah lemah mengapa akhir-akhir ini gosipnya membuat perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan di tunggangi sebagai sebuah faham bangkitnya ideologi yang tinggal masa lalu itu?”

“Kau pasti masih paham teori sosialisme. Jika jenjang kaya miskin masih amat jauh kemungkinan terjadinya konflik, perang, perbedaan pandangan ideologi dan pemberontakan tetap akan muncul. Sosialisme itu meminimalisasi konflik akibat perbedaan status sosial masyarakat. Tapi masalahnya setiap orang yang mengenyam paham liberalisme, ataupun ekstrem kanan lebih takut pada kata sosialisme yang konotasinya adalah komunisme, padahal cita-cita sosialisme itu sebetulnya meminimalisir konflik dan perbedaan.”

‘Bahkan, buku-bukumu yang bicara tentang sosialisme berusaha dilenyapkan karena takut bangkitnya komunisme. Halusinasi yang kebablasan.”

Oe…yakin negelimu akan segera menyusul kami, tapi itu jika kalian kompak…kalau tidak ya hanya akan mengulang sejalah masa lalu negelimu. Dari Ela Matalam kuno, Singasali, Majapahit, Matalam nya Panembahan Senapati sampai Telbentuknya kasunanan, kesultanan di Sulakaltadan Jogjakalta. Timbul tenggelam hancul oleh konflik antal saudala, sebangsa.”

“Itulah yang aku prihatinkan. Pusing memikirkan negaraku. Baiklah. Aku pulang dulu…nanti pembicaraan dilanjutkan ya…”

“Aku juga, pusing dengan negaraku yang mulai menjadi korban dari kenyamanan akibatnya sekarang kalah bersaing dengan negeri kalian yang amat semangat menyerap teknologi baru. Tapi ambil hikmahnya saja.”

“Emangnya Oe tidak pusing. Pusing juga  kemajuan itu telah membuat kami dikutuk sejalah. Banyak bencana mampil ke negeli kami. Kami kaya tapi sebenalnya  mendelita.”

(tulisan ini hanya fantasi penulis,tulisan ini diambil dari tulisan yang sedang disusun untuk kumpulan cerita(novel)saya. saya cuplik karena cocok dengan situasi menjelang 30 September  peristiwa kelam G 30 S PKI)

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler