x

Ilustrasi ayah dan anak. Pxhere.com

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ngobrol Tentang Seksualitas dengan Anak

Orangtua sering merasa anak-anak belum cukup umur untuk mengetahui hal-hal seputar seksualitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Mah, aku lahir darimana sih?”

Sebagai ibu, pernah gak sih sahabat perempuan, mendapatkan pertanyaan semacam ini dari anak? Atau mungkin pertanyaan lain seperti, ”Kok bisa sih ada bayi di perut tante A? Adek bayi itu keluarnya dari mana? Kok mamah punya nenen, aku kok engga? Trus, kenapa papa juga nggak punya nenen?” Banyak sekali pertanyaan demikian terlontar dari mulut si kecil yang seringkali membuat kita melongo, juga gelagapan, untuk menjawabnya.

Kita sebagai ibu seringkali belum siap menghadapi anak kita yang menanyakan hal-hal tentang seksualitas. Bukan apa-apa, budaya kita memang tidak mengenal pendidikan seks sejak dini. Seks menjadi sesuatu yang dibicarakan dengan sangat ekslusif, lewat bisik-bisik, dan tanpa keterbukaan. Jadi, wajar rasanya jika banyal ibu mengalami kegagapan saat harus menjawab pertanyaan anak tentang seksualitas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegagapan seharusnya tidak perlu terjadi ketika kita sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul saat anak memasuki fase perkembangan kognitif. Mereka mengajukan pertanyaan secara spontan dan polos hanya demi memuaskan rasa ingin tahu mereka yang sedang tinggi-tingginya. Pada fase ini, anak biasanya puas dengan jawaban yang singkat dan mudah mereka cerna.

Namun, seringkali kita sebagai orangtua merasa bahwa anak belum cukup umur untuk mengetahui hal-hal seputar seksualitas. Sikap ini selanjutnya membuat orang tua merespon pertanyaan-pertanyaan anak dengan jawaban yang klise. Padahal, di sisi lain, memberikan jawaban yang benar secara jujur selalu lebih baik daripada sebaliknya.

Kenapa? Karena dengan menjawab secara jujur, anak merasa puas dengan jawaban dari orang tua dan tidak mencari jawaban sendiri di luar sana. Kita semua tahu anak-anak masa kini tumbuh bersama kemudahan mengakses informasi melalui internet. Tentu kita tidak mau jika anak-anak kita justru ’tersesat’ karena informasi yang ia cari sendiri.

Berbicara dengan anak tentang sesuatu yang privat seperti ini memang tidak mudah. Tapi setidaknya, pembicaraan ini bisa dilakukan dengan komunikasi yang baik. Lakukan pembicaraan yang sehat dan jangan menghakimi pertanyaan anak. Seringkali saya menemui orangtua yang langsung histeris menghardik anaknya yang bertanya tentang seksualitas. Sikap panik kita dan reaksi kurang menyenangkan yang ditujukan kepada anak dan justru membuat si anak ketakutan.

Kalau sudah seperti itu, biasanya anak lalu enggan bertanya lagi tentang topik tersebut pada orangtuanya. Hal ini yang seharusnya kita hindari, karena, seringnya, setelah itu anak mencari tahu sendiri, apa itu seksualitas, apa sih, kenapa sih, bagaimana sih. Padahal, kita juga tahu, bahasan tentang seksualitas di internet, buku, atau majalah tidak semuanya pas untuk usia anak kita.

Saat anak bertanya seputar seksualitas, berikan jawab yang benar dalam bahasa yang sesuai umur mereka. Jangan lupa, edukasi seks usia dini tidak terdapat batas gender—tidak harus ayah dengan anak lelaki, atau ibu dengan anak perempuan. Kita bicara tentang kenyamanan si anak. Karena pada kenyataannya, tidak semua anak laki-laki merasa nyaman saat bicara tentang seksualitas dengan ayahnya. Anak lelaki bisa saja lebih nyaman berbicara dengan ibu, begitu juga anak perempuan dengan ayah. Lewat komunikasi seperti ini, kebutuhan rasa ingin tahu anak terpenuhi lewat kehadiran orang tua sehingga anak pun nyaman untuk bersikap terbuka terhadap orang tuanya.

Jadi, jangan panik dulu ya saat anak bertanya, ”Aku lahir dari mana si mah?” Coba ajak mereka ngobrol dengan santai, misalnya dengan menanyakan kembali pada mereka, kenapa kok bertanya seperti itu. Jangan langsung histeris mengomeli anak soal pertanyaan pantas dan tidak pantas, jangan pula memberikan jawaban klise,”Nanti kamu bakal tahu kalau sudah dewasa.” Anak-anak layaknya lembaran buku putih, kita sebagai orangtua yang mengisi lembaran-lembarannya.

Apa iya, kita akan mengisinya dengan kebohongan yang tidak perlu?

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu