x

Iklan

Nia S Amira

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sang Pahlawan dari Negeri Kastil Trakai

Ia merekam foto-foto aksi kebrutalan para serdadu Armenia terhadap penduduk Karabakh dalam kamera tuanya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kastil Trakai adalah kastil yang berada di sebuah pulau di danau Galve, terletak di kota Trakai, Lithuania dan merupakan kastil batu bata merah yang dibangun pada abad ke-14 oleh Kestutis. Di belahan dunia lain seperti di Indonesia dan Negara-negara Asia mungkin hanya sedikit orang yang tahu jika laki-laki asal Lithuania yang tahun depan genap berusia setengah abad ini adalah penyelamat ratusan anak-anak dan para lansia saat perang Nagorno-Karabakh berkecamuk di Negara Azerbaijan tahun 1992. Ricardas Lapaitis saat itu baru berusia 24 tahun, usia yang masih muda untuk berhadapan langsung dengan serdadu-serdadu Armenia yang menurut keterangannya dalam wawancara tertulis demikian brutal dan nampak ingin menghabisi semua penduduk Karabakh hingga tak tersisa lagi.

Ricardas muda untuk pertama kalinya baru mengetahui bahwa ada warga Negara Uni Soviet yang terlibat konflik bersenjata. Armenia dan CIS mengumumkan agresi terbuka terhadap Azerbaijan. Saat itulah Ricardas menyadari jika keberadaannya di Karabakh layaknya seperti menikah dengan Khojaly (baca: Tragedi Khojaly) karena ia berada di medan pertempuran yang paling membahayakan jiwa manusia di kawasan kaukasia, sejak awal perang meletus hingga berakhir dan ia menjadi satu-satunya jurnalis yang selamat dari pertempuran yang berlangsung selama hampir 2 tahun. Seperti memiliki sembilan nyawa, Ricardas yang religius mengakui bahwa Tuhan selalu bersamanya.

Ia bersinggungan langsung dengan para korban, menyatukan kembali anak-anak yang tercerai-berai dari orang tuanya, mencari persediaan makanan bagi anak-anak dan lansia yang kelaparan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia merekam foto-foto aksi kebrutalan para serdadu Armenia terhadap penduduk Karabakh dalam kamera tuanya dan menuliskannyadengan sangat teliti setiap jengkal tanah yang dilaluinya serta mencium bau darah para korban perang yang dijumpainya layaknya seekor srigala. Berusaha mencarikan perlindungan bagi para pengungsi di bawah hujanan peluru panas para serdadu Armenia yang dibantu serdadu Uni Soviet. Semua peristiwa kebrutalan terhadap kemanusiaan itu terekam dengan baik di benak jurnalis yang menyukai warna hijau sebagai warna kesayangannya. Ricardas merupakan jurnalis yang pertama kali menuliskan peristiwa berdarah itu di media Lithuania, Negara kelahirannya dan setelah artikelnya diterjemahkan, ada banyak media di Negara barat yang mempublikasikannya, termasuk yang dipublikasikan olehjurnalis BBC, Ayten Aliyeva.

Ricardas dilahirkan pada 26 Juli 1968 di desa Papacha bagian dari kota Marijampole yang terletak di pinggiran sungai Shesupe, salah satu anak sungai yang bermuara ke sungai Neman yang merupakan sungai utama di Lithuania, sekitar 55 km ke arah barat daya kota Kaunas. Penduduk kota Marijampole yang pertama bermukim di paruh kedua abad ke-17 adalah petani dan 60% dari penduduknya merupakan orang Yahudi namun kemudian pasukan Jerman menduduki kota itu pada awal perang dunia pertama hingga berdirinya Negara Lithuania Baru yang Merdeka tahun 1918.

Laki-laki yang menguasai bahasa Polandia karena kedekatan geografis dengan Lithuania inisejak kecil sudah mendapat pelajaran yang berharga dalam hidupnya. Rumah yang didiami bersama kedua orang tuanya itu tiba-tiba saja mengalami kebakaran hingga tidak ada yang tersisa dan saat ia duduk di bangku kelas IV Sekolah Dasar, kedua orang tuanya bercerai sehingga Ricardas kecil seperti kehilangan sosok ayah yang jujur dan baik hati. Sang ayah pergi melalang buana sebagai pemain sirkus (baca: Sirkus Russia).

Dari orang tuanya, Ricardas mewarisi darah Jerman dan hingga saat ini ia masih dianggap sebagai orang “aneh” oleh masyarakat Lithuania karena banyak menolong penduduk muslim di Negara Azerbaijan dan Chechnya. Hati Ricardas seperti teriris bila melihat hal-hal yang tidak manusiawi terjadi di sekelilingnya apalagi jika hal itu terjadi pada diri seorang anak. Ricardas sangat menyukai Cepelinai, makanan khas Lithuania berupa adonan kentang dengan isi daging, keju, dan jamur yang disajikan dengan saus krim ini sebagai makanan favoritnya.

Lulusan Alitusky College ini tidak pernah bekerja sebagaimana bidang yang dipelajarinya. Ia malahan lebih terkenang saat duduk di bangku Sekolah Dasar Verstaminay di mana ia belajar membaca dan menulis yang akhirnya mengantarkannya sebagai jurnalis, penulis dan penyair.

Saat harus mengikuti wajib militer di era pemerintahan Uni Soviet, Ricardas mendedikasikan dirinya sebagai ahli Sandi dan ia seperti hilang ditelan bumi. Setelah wajib militernya usai, iakembali ke Lithuania yang juga mendapatkan kemerdekaan pertama kali dari Uni Soviet pada tahun 1990. Apa yang pernah dipelajarinya di sekolah menengah dari buku-buku teks pada masa pemerintahan Uni Soviet tentang negerinya ituternyata samasekali tidak benar dan ia merasa seperti generasi yang kehilangan jati diri.

Ricardas yang senang berpetualang ini adalah orang yang memulai perjalanan dari Moscow dengan bersepeda mengelilingi 15 Republik Uni Soviet pada tahun 1990. Kemudian ia mengelilingi pengunungan Ural, menjelajahi setiap sudut Siberia hingga sampai ke perbatasan laut Jepang, danau Baikal yang tertua di dunia dan menyimpan banyak misteri, kota Vladivostok, kemudian ke Kutub Utara yang berada di semenanjung Taimyr di mana ia belajar tentang kehidupan segelintir suku bangsa yang dikenal sebagai masyarakat Cato, Evenki, Ganasany, Dolgans dan lainnya. Selama setahun tidak ada komunikasi dengan keluarga, ia pun dianggap sudah tewas.

Peristiwa Pembataian besar-besaran terhadap penduduk Khojaly pada malam 26 Februari 1992 itu demikian membekas pada diri Ricardas dan atas jasanya yang besar dalam peristiwa Khojaly, pada tahun 1993,President Azerbaijan Abulfaz Elchibey bertemu dengannya secara pribadi dan memberikan penghargaan atas keberanian serta dedikasinya sebagai jurnalis perang dalam usia yang masih muda dan atas peliputannya dalam peristiwa di Nagorno-Karabakh tersebut. Ia berada dalam zona perang sejak awal hingga akhir. Tidak lama setelah itu, ia bertemu dengan pemimpin wilayah otonomi Nakhchievan Azerbaijan, Geydarom Alievym.

Setelah kembali ke Lithuania pada tahun 1994, Ricardas melakukan perjalanan kembali ke wilayah utara Russia. Sejak tahun 1995 hingga 1997, iabekerja sebagai jurnalis militer di Chechnya. Selama tahun 1996 banyak militan yang dibunuh, termasuk jurnalis dan Presiden Chechnya, Dzhokhar Dudayev. Ricardas memang seperti terlahir memiliki sembilan nyawa karena hanya ia seorang yang lolos dari maut dan bahkan saat kota Grozny dibumi-hanguskan oleh pasukan Russia pada tahun yang sama, Alla Dudayeva istri orang nomor satu di Chechnya itu masih sempat membacakan sederet puisi dihadapan Ricardas di tengah-tengah Grozny yang telah porak-poranda,dan hingga kini ia masih mengingat bait demi bait puisi yang diucapkan penuh kesedihan oleh Alla Dudayevayang juga seorang penyair. Tahun 1998, sebelum invasi kedua pasukan Russia di Chechnya, Ricardas sudah berada di kota itu lagi.

Pada tahun 2011, mulailah pembuatan film “Endless Corridor” yang disutradari oleh Aleksandras Brokas dari Russia. Dalam film tersebut Ricardas memerankan tokoh protagonis. Film yang berdurasi sekitar 90 menit itu telah banyak memikat para kritikus film di ajang festival film internasional di seluruh dunia dan mendapatkan penghargaan terbaik, termasuk dari Jakarta dan Bali. Film yang sesungguhnya mengadaptasi kisah nyata yang terjadi di Khojaly dan ditulis dengan sangat cermat oleh Ricardas itu telah diterjemahkan dalam banyak bahasa dan telah diputar di lebih dari 100 negara di dunia. Dalam film itu diceritakan kekejaman para serdadu Armenia yang membunuh penduduk Khojaly secara brutal dan juga mengusirnya keluar dari tempat tinggal mereka.

Sejak itu Ricardas mulai bekerja sebagai wakil IEPF (International Eurasia Press Fund) di mana ia sebagai sosok utama yang terus mengkampanyekan keadilan bagi penduduk Khojaly dan yang membantu para pengungsi Karabakh yang kini mencapai 1 juta orang.

Ricardas berkeliling di kota-kota besar di Eropa seperti Paris, London, Brussels, Praha, Moscow, Berlin, Strassbourg, Geneva, Baku, Vilnius dan kota-kota lainnya bersama institusi “Justice for Khojaly” dibawah kepimpinan Leila Aliyeva, istri Presiden Azerbaijan yang juga Wakil Presiden Azerbaijan.

Ricardas banyak menghadiri acara yang diselenggarakan oleh institusi tersebut dan memberikan kesaksiannya atas apa yang sebenarnya terjadi dengan tragedi Khojaly. Acara itu banyak diliput oleh hampir semua media massa di Eropa.

Ricardas, pahlawan bagi bangsa Azerbaijan itu hidup jauh dari kemewahan meski ia juga mendapatkan sertifikat serta penghargaan dari Presiden Eurasia Press Fund, Umud Mirzayez yang telah banyak membantunya dalam mengumpulkan data.Di antara kesibukannya setiap hari sebagai staf biasa pada sebuah perusahaan kecil di ibukota Vilnius, Ricardas adalah Presiden Klub Penulis di Lithuania yang bernama "Lazdiyu Mene".

Ricardas juga anggota Persatuan Jurnalis Lithuania. Sebagai penyair, ia sudah menerbitkan beberapa buku puisinya.

Ricardas adalah pahlawan bagi umat Muslim yang tertindas di Azerbaijan dan juga Chechnya.

Kisah nyata tentang tragedi Khojaly yang ditulis dalam buku hariannya dan telah difilmkan itu menyimpan duka sendiri bagi dirinya karena ternyata dari film yang mendapatkan banyak penghargaan internasional di banyak ajang festival film di kota-kota besar di dunia, termasuk mendapatkan penghargaan membanggakan sebagai dokumenter terbaik di Accolade Global Film Competition tahun 2015 di Amerika Serikat, berbanding terbalik dengan keadaan dirinya yang hidup sangat sederhana disebuah bangunan kecil tanpa pemanas ruangan yang memadai jika musim dingin tiba, di pinggiran hutan di luar kota Vilnius.Ia menyebutnya sebagai rumah serigala.

Ricardas ingin bertemu kembali dan membantu beberapa keluarga yang pernah menyelamatkan hidupnya saat terjadinya tragedi berdarah itu; orang-orang yang masih hidup yang pernah menyembunyikan dirinya dari kekejaman para serdadu Armenia.

Ricardas masih menyimpan harapan bagi masa depan Karabakh. Ia ingin kisah selanjutnya didengar dengan baik oleh orang-orang yang memiliki nurani dan yang dapat membantunya berbuat kebaikan yang lebih besar lagi bagi kemanusiaan.

Tahun ini genap 25 tahun terjadinya tragedi kemanusiaan Khojaly yang telah merengut 613 jiwa penduduk sebagian besar anak-anak, perempuan dan lansia, sebanyak 1000 orang menjadi cacat, 8 keluarga dibunuh sekaligus, 25 anak menjadi yatim piatu dan 130 anak kehilangan salah satu dari orang tua mereka. Lebih dari 1,275 orang-orang yang tidak berdosa dijadikan tawanan, dan sekitar 150 orang tidak diketahui keberadaaannya hingga kini.

Bahkan setelah 25 tahun tragedi Khojaly berlalu, Ricardas masih sulit bercerita atas apa yang disaksikannya sendiri. Waktu memang dapat menyembuhkan luka di tubuh namun secara emosional luka itu akan selalu ada dalam hidup kita. Ricardas pun pamit untuk pergi ke halaman belakang rumahnya, memberi makan bagi hewan-hewan yang selalu setia menemaninya dan bercengkrama dengan burung-burung, kelinci-kelinci, serta seekor anjing saat ia merindukan Modestas, anak laki satu-satunya yang bersekolah di kota lain.

Oleh: Nia S. Amira – Penulis, Jurnalis, Sastrawati

Ikuti tulisan menarik Nia S Amira lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan