x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

UU Penyiaran Tersandera 10 Tahun di DPR ~ Eris Munandar

DPR seperti sudah menyandera UU ini selama 10 tahun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Para penonton televisi di Indonesia sungguh sangat keterlaluan karena begitu baik hati kepada segelintir konglomerat pemilik televisi swasta analog saat ini seperti RCTI, MNCTV, Trans TV, Trans-7, SCTV, Indosiar, dan seterusnya. Rakyat Indonesia rela menonton televisi analog yang kualitas gambarnya sangat buruk jika dibandingkan kualitas gambar televisi digital.

Ini terjadi karena rakyat membiarkan Indonesia termasuk hanya 2 persen negara di dunia yang masih menggunakan sistem televisi analog untuk televisi free to air. Nyaris seluruh negara di dunia, atau 98 persen, sudah bersiaran dengan sistem digital. Jadi, selain mendukung konglomerat menumpuk kekayaan lewat iklan, memaksa diri menonton televisi dengan kualitas buruk, rakyat juga tanpa sadar mendukung agar negara ini menjadi negara terbelakang. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sesekali bandingkan kualitas gambar televisi analog Anda saat ini, dengan kualitas gambar televisi digital. Kualitas televisi analog terbukti jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan televisi digital. Perbedaan itu benar-benar bagaikan langit dan bumi. Gambar televisi digital sangat tajam dan suaranya begitu jernih.

Sedangkan televisi analog, masyaallah… gambarnya sangat buruk, sangat zaman old, kata anak-anak muda sekarang. Antena digeser sedikit, bukan gambar yang muncul, tetapi serentetan notkah yang bagaikan semut tengah menyelimuti seluruh muka bumi. Pertandingan sepakbola dahsyat pun tak jadi ditonton dengan nyaman. Film yang sedang seru, tiba-tiba tak bisa dilanjutkan untuk dipantengin.

Jika sitem televisi analog saat ini diubah menjadi sistem digital, maka hanya dengan antena biasa saja, tanpa harus parabola atau berlangganan, kita bisa melihat tayangan televisi dengan kualitas high definition.

Repotnya, negara juga tak kalah keterlaluan baik hatinya ketika tahun lalu kembali memberikan frekuensi milik rakyat kepada segelintir pengusaha itu untuk mengeruk keuntungan pribadi mereka dari iklan senilai 80 triliun pertahun. Kemenkominfo telah melegalkan perpanjangan izin televisi analog, tanpa meminta pertimbangan pengusaha lain yang sudah siap untuk bersiaran digital.

Problema di atas sudah berjalan selama 10 tahun, sejak dilakukan Revisi UU Pertelevisian pada 2007 lalu. Menurut saya, Museum Rekor Indonesia (Muri)  layak mencatat prestasi buruk DPR ini: revisi UU selama 10 tahun tanpa kemajuan. Jadi, DPR seperti sudah menyandera UU ini selama 10 tahun.

Kini, revisi UU Penyiaran atas inisiatif DPR sudah berada di Baleg (Badan Legislatif). Lazimnya, draft RUU harus diputuskan Baleg dalam 20 hari kerja untuk kemudian diajukan agar masuk dalam sidang paripurna. Namun, RUU Penyiaran ini sudah sembilan bulan ngejogrog di Baleg. Dan ajaibnya, Baleg mengusulkan draft baru yang dinilai lebih mewakili tangan konglomerat. Apa indikasinya?

Salah satu indikasi yang paling menonjol adalah usulan Baleg bahwa televisi digital sebaiknya memakai multi mux, bukan single mux yang disarankan komisi 1. Mereka beranggapan, single mux identik dengan monopoli oleh negara. Sementara, multi mux akan membuka demokratisasi siaran? Apakah logika yang coba digaungkan lewat berbagai diskusi  ini bisa diterima akal sehat?

Mari kita cermati, apa sesungguhnya multi mux dan single mux yang diperdebatkan ini. Dalam sistem single mux, pemerintah yang dalam hal ini bisa TVRI atau lembaga lain, akan

menyediakan multi plexing atau pemancar digital.

Semua lembaga penyiaran baik lembaga lama seperti RCTI, MNC, Trans TV dan sebagainya, akan diberi hak untuk bersiaran dengan satu kanal seperti saat ini. Sedangkan lembaga penyiaran baru seperti  Tempo TV, Nusantara TV, Inspira TV, Badar TV, dan lainnya juga diberi hak sama: bersiaran lewat pemancar digital TVRI.  Harga sewa pemancar, ditetapkan oleh pemerintah. Jadi kalau dikatakatan sistem ini memonopoli, dari mana dasarnya? Semua penyelenggara siaran diberi hak yang sama untuk bersiaran. Rakyat pun punya lebih banyak pilihan acara televisi yang disediakan oleh lebih banyak pengusaha.

Nah, sebaliknya, dalam sistem multi mux, pemancar atau mux disediakan oleh pihak swasta alias pengelola televisi yang sudah menguasai frekuensi milik publik selama puluhan tahun tanpa ada pemain baru. Jadi, nanti tidak hanya TVRI/pemerintah yang menyediakan mux/pemancar, tetapi lebih dari 10 konglomerat pemilik televisi analog yang menyediakannya. Jika satu konglomerat punya satu pemancar yang bisa dipecah menjadi 12 kanal, maka justru monopoli selama ini akan dilanggengkan.

Saya menduga, mereka akan membuat sepuluh lembaga penyiaran bayangan dengan membawa nama kroninya. Sisanya, dua kanal, akan disewakan dengan harga tinggi ke lembaga penyiaran lain. Jika 10 televisi kelompok mereka tak perlu sewa karena mereka satu kroni, sementara sisanya harus bayar, maka matilah lembaga penyedia siaran di luar kelompok mereka.

Akhirnya, televisi yang bersiaran akan kembali seperti semula: hanya milik konglomerat yang sudah puluhan tahun menikmati kue iklan Rp.80 trilun setahun. Inilah cara pikir kapitalis yang sudah terbiasa berkolusi dengan negara. Mereka berkoar tentang demokratisasi siaran, padahal sesungguhnya multi mux ditujukan untuk  melanggengkan monopoli kepemilikan televisi.

Oleh karena itu, UU Penyiaran yang melegalkan televisi  digital harus diberlakukan. Pada senin 16 Oktober pekan depan, DPR harus bulat menyatakan bahwa migrasi analog ke digital harus dengan sistem single mux dan bukan multi mux

Jika RUU Penyiaran ditunda dan analog switch off (ASO) juga diundur,  maka hanya pemilik televisi analog saat ini yang diuntungkan. Sebagaimana data yang saya kumpulkan selama ini, negara dan rakyat akan sangat dirugikan oleh penundaan siaran televisi digital dalam hal:

Pertama, kehilangan potensi pendapatan Negara sebesar USD 110 miliar PDB jika mengalami keterlambatan 1 tahun.

Kedua, kehilangan potensi penyerapan tenaga kerja sebesar 2,7 juta lapangan kerja jika mengalami keterlambatan 1 tahun.

Ketiga, kehilangan potensi PNBP sebesar Rp. 2,8 triliun per tahun jika mengalami keterlambatan 1 tahun.

Keempat, meningkatnya pengguna seluler dan munculnya teknologi baru yang akan memakan bandwith sehingga akan terjadi kesulitan sinyal handphone dalam dua  tahun mendatang jika ASO tidak segera dilaksanakan.

 ( Eris Munandar, ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI)

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB