x

Iklan

kucril

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sekat

Keduanya masih berbahagia, hingga Paris yang glamor memanggil Siti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkataan Marni itu menusuk Siti. Melukainya cukup dalam.

“Kau tersesat di Barat,” ujar Marni.

Marni mengatakannya dalam pertemuan ketiga mereka, usai Siti menuntaskan masa belajar S2 di Paris. Kala itu, Siti berkeluh kesah perihal peliknya hidup di Jakarta. Ketidakteraturan yang menghamburkan energinya dengan sia-sia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Derita negara dunia ketiga,” kata Siti.

Marni yang biasanya diam: cenderung menenangkan sahabat kecilnya itu, entah kenapa justru merespons sinis pada kesempatan tersebut –demikian pemaknaan Siti.

“Kau terlalu banyak mengeluh,” tambah Marni.

“Seolah kau baru hidup di Jakarta.”

Yang kemudian lantang ditentang Siti, “Ini hanya kau yang permisif dengan sikap primitif.”

Keduanya bersahabat sedari SD di Salatiga. Menginjak bangku kuliah, Siti hijrah ke Jakarta. Marni tetap di Salatiga. Namun keduanya selalu menyempatkan diri bertemu setidaknya sekali setahun, saban Siti mudik. Bertukar rindu dan cerita.

Hingga selepas kuliah, Marni mendapat pekerjaan di Jakarta. Menyusul Siti menyusuri ingar bingar ibu kota.

Keduanya masih berbahagia, hingga Paris yang glamor memanggil Siti. Menelannya mentah-mentah, lalu mengembalikannya dalam keadaan berbeda –seperti penilaian Marni.

“Berjalan lah ke Barat biar kau tak menudingku tersesat,” Siti membalas tak kalah ketus tudingan Marni.

“Pun, melangkah ke Utara dan Selatan. Biar kau tahu bahwa dunia tak sekadar Timur.”

Demikian pertemuan ketiga itu berakhir: dalam amarah, dalam kebencian. Dalam sekat yang enggan dipisahkan.

Ikuti tulisan menarik kucril lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler