x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Telinga, Jalan Musik Menuju Jiwa

Mendengar musik bukanlah perkara akustik belaka, melainkan bertautan dengan pengalaman manusia lainnya, seperti emosi dan kenangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebagai neurolog, mendiang Oliver Sacks memberi perhatian khusus pada musik. Ia terkesima menyaksikan sejumlah kejadian yang mentautkan musik dan otak manusia. Salah satu peristiwa yang membuat Sacks terperangah ialah ketika dokter Tony Cicoria tersambar petir saat sedang menelpon. Cicoria terbanting dan kemudian merasa jiwanya terbang. Tatkala ia ‘hidup kembali’, Cicoria merasakan keanehan luar biasa: ada keinginan yang tidak terpuaskan untuk mendengarkan denting piano, padahal ia bukan penikmat musik, apa lagi klasik.

Sacks juga bertanya-tanya mengapa ada orang yang mengalami kejang karena stimulan musik—yang diistilahkan sebagai epilepsi musikogenik. Sacks menceritakan pula bagaimana ia kebingungan saat mendengar musik tango, lantaran ia terbiasa mendengar musik klasik. Bagaimana musik memengaruhi otak? Apakah ada bagian tertentu dalam otak yang terkait dengan musik?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejumlah studi sains kognitif yang memberi perhatian pada musik dalam beberapa tahun terakhir melihat tautan musik dengan manusia dalam konteks yang lebih luas. Kapasitas manusia untuk musik, menurut beberapa kajian ini, bukan hanya tertaut dengan bagian tertentu dari pikiran manusia. Sebaliknya, persepsi musik sangat berjalin dengan sistem perseptual lain, dan bahkan terkait erat dengan pengalaman fundamental manusia.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai isu ini, ilmuwan mengandalkan brain image dari otak. Dari citra otak ini diperoleh gambaran yang jelas mengenai keterhubungan antara berbagai hal. Saat seseorang mendengar musik, tidak ada ‘pusat musik’ tunggal yang ‘menyala’. Sebaliknya, banyak area lain yang mengalami aktivasi (‘menyala’), yakni area yang terkait dengan penglihatan, kendali motorik, emosi, kemampuan berbicara, memori, bahkan perencanaan. Unsur-unsur ini saling berinteraksi membentuk pengalaman mendengar musik.

Menjadi semakin jelas bahwa persepsi manusia terhadap musik bertautan dengan aspek-aspek lain pengalaman manusia. Lebih dari apa yang kita dengar, apa yang kita lihat, apa yang kita harapkan, bagaimana kita bergerak, dan himpunan pengalaman hidup kita—semua berkontribusi pada bagaimana kita ‘mengalami’ musik. Ya, musik sebagai pengalaman, bukan sekedar mendengar apa yang melalui gendang telinga.

Bila arahnya memang ke sana, musik tidak lagi dapat dikonseptualisasi sebagai fenomena akustik semata, yang berdiri sendiri, yang tunggal. Inilah barangkali yang dapat menjelaskan mengapa musik di satu tempat berbeda dengan di tempat lain, sebab di dalam pengalaman bermusik ataupun pengalaman mendengarkan musik terdapat unsur-unsur budaya yang melekat.

Barangkali, pemahaman ini pula yang dapat menjelaskan mengapa seseorang yang terbiasa mendengar hip hop tidak mudah mengikuti irama gending Jawa yang mengalun syahdu. Barangkali pula, pemahaman ini dapat menjelaskan mengapa seseorang yang mendengar sebuah lagu tiba-tiba bersikap melankolis, sedih, atau gembira. Unsur-unsur seperti ingatan masa lampau, pengalaman kultural di lingkungan tertentu, suasana hati, bahkan lingkungan ketika mendengar lagu atau musik ikut berkontribusi pada bagaimana orang tersebut ‘merasakan’ atau ‘mengalami’ musik. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB