x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Defisit BPJS dan Konsumsi Rokok

Besarnya dana hasil cukai produk tembakau yang mencapai Rp 5 triliun tersebut menunjukkan tingginya tingkat konsumsi produk tembakau, khususnya rokok.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun ini dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dilaporkan mengalami defisit. Nominalnya cukup besar, yakni mencapai Rp 9 triliuan. Menariknya, salah satu solusi yang diusulkan untuk menambal defisit tersebut adalah penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang diperkirakan bisa mencapai Rp 5 triliun (Tempo.co, 6 November 2017). Menteri Kesehatan juga menghimbau masyarakat untuk membiasakan pola hidup sehat (Tempo.co, 12 November 2017). Dengan demikian, ongkos pengobatan yang harus dikeluarkan BPJS dapat ditekan seiring berkurangnya jumlah keluhan kesehatan.

Penggunaan cukai rokok untuk menambal defisit BPJS sebetulnya sebuah ironi. Besarnya dana hasil cukai produk tembakau yang mencapai Rp 5 triliun tersebut menunjukkan tingginya tingkat konsumsi produk tembakau, khususnya rokok, di tanah air. Padahal kita tahu bahwa secara medis kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab utama sejumlah penyakit berat yang menyedot ongkos pengobatan yang tidak sedikit.

Menteri Kesehatan sendiri pernah menyampaikan bahwa 30 persen dana BPJS ternyata terserap untuk pengobatan penyakit-penyakit berat seperti stroke dan gagal ginjal, yang secara medis seringkali disebabkan oleh konsumsi rokok (Setkab, 27 Februari 2015).  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti apa sebetulnya gambaran konsumsi rokok di tanah air sehingga bisa menghasilkan penerimaan negara berupa cukai yang cukup besar?

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan secara rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memotret kuantitas dan pola konsumsi masyarakat Indonesia mengungkap sejumlah fakta menarik terkait konsumsi rokok di Tanah Air.

Hasil SUSENAS yang dilaksanakan pada September 2016 menunjukkan bahwa konsumsi rokok masyarakat Indonesia relatif tinggi. Sebagai gambaran, rata-rata jumhlah rokok kretek yang dikonsumsi oleh perokok berumur lima tahun ke atas pada September 2016 mencapai 7,86 batang per hari. Sementara itu, konsumsi rokok putih rata-rata sebanyak 2,59 batang per hari.

Sebagian besar perokok di tanah air juga mulai merokok pada usia yang boleh dibilang sangat muda. Bayangkan, sekitar 62 persen perokok berusia lima tahun ke atas mulai merokok pada usia di bawah 20 tahun. Itu artinya, mayoritas perokok di tanah air mulai menghisap rokok saat duduk di bangku SMP dan SMA.

Hasil SUSENAS juga memperlihatkan bahwa sebagian besar perokok berumur lima tahun ke atas ternyata melakukan kebiasaan merokoknya di dalam rumah dengan persentase mencapai sekitar 75 persen.

Padahal dipahami bersama bahwa udara yang dicemari oleh asap rokok sangat berbahaya buat kesehatan. Asap rokok yang dihasilkan oleh perokok aktif justru mengandung racun hasil pembakaran tembakau lebih banyak dibandingkan dengan asap utama yang dihisap oleh perokok.

Konsekuensinya, para perokok pasif lebih berisiko terkena dampak buruk yang ditimbulkan dari kebiasan merokok di dalam rumah. Celakanya, para perokok pasif tersebut tidak jarang merupakan kelompok balita.  

Persoalan semakin pelik karena konsumsi rokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah juga sangat tinggi. Faktanya, sekitar 10 persen dari total pengeluaran rumah tangga pada kelompok pengeluaran 20 persen terendah dialokasikan untuk konsumsi rokok dan tembakau. Angka ini bahkan mengalahkan porsi pengeluaran yang dialokasikan untuk sumber protein, seperti daging, telur, ikan, dan susu.

Tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun terakhir, rokok merupakan salah satu komoditas utama dalam perhitungan garis kemiskinan. Pada Maret 2017, misalnya, BPS mencatat bahwa kontribusi rokok dalam pembentukan garis kemiskinan di wilayah perkotaan dan pedesaan masing-masing sebesar 11,79 persen dan 11,53 persen. Kontribusi pengeluaran untuk rokok menempati posisi kedua setelah beras yang mencapai 20,11 persen di perkotaan dan 26,46 persen di pedesaan.

Padahal dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang hampir pasti tidak bisa tanggung oleh masyarakat miskin dan mau atau tidak pada akhirnya akan menjadi beban negara.

Karena itu, sejalan dengan anjuran Menteri Kesehatan ihwal pola hidup sehat, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih keras dalam menekan tingkat konsumsi rokok di tanah air. Kampanye dan kebijakan anti rokok yang lebih tegas dan serius adalah sebuah keniscayaan. Meski penerimaan negara dari cukai rokok berpotensi bakal berkurang akibat penurunan konsumsi rokok, ongkos kesehatan untuk pengobatan penyakit berat---sebagai dampak dari kebiasaan merokok---yang selama ini membebani dana BPJS dipastikan dapat ditekan. (*)

 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB