x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 26 Mei 2020 16:40 WIB

Solusi Kelangkaan Data Pertanian-Pedesaan Berkualitas Tinggi di Indonesia

Pembangunan wilayah pedesaan yang difokuskan pada penguatan sektor pertanian yang memperhatikan aspek kesetaraan gender dan partisipasi kaum perempuan menjadi sangat krusial bukan hanya untuk perekonomian nasional yang lebih inklusif tapi juga pengentasan kemiskinan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di tengah transformasi struktur ekonomi nasional yang sangat cepat selama beberapa dekade terakhir, peran penting sektor pertanian tetap tidak dapat dielakkan. Pada tahun 2019, sektor ini, termasuk di dalamnya perikanan dan kehutanan, berkontribusi sekitar 13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap sekitar 29 persen dari total tenaga kerja yang bekerja. Lebih dari itu, hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 memperlihatkan bahwa jumlah rumah tangga usaha tani mencapai 28 juta rumah tangga, di mana sebagian besar tinggal di daerah pedesaan.

Pada saat yang sama, peran perempuan dalam kegiatan budidaya pertanian semakin menentukan. Hasil SUTAS 2018 juga memperlihatkan bahwa jumlah petani perempuan mencakup sekitar seperempat dari total jumlah petani yang sebanyak 34 juta orang. Itu artinya, kontribusi mereka dalam menggerakkan perekonomian pedesaan, yang umumnya bercorak pertanian, sangat signifikan.

Sayangnya, secara umum petani perempuan jauh tertinggal dari petani laki-laki, baik dari sisi modal manusia maupun akses terhadap sumberdaya ekonomi, khususnya lahan pertanian. Sebagai contoh, SUTAS 2018 memperlihatkan bahwa rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasai petani perempuan hanya sekitar 0,2 hektar, jauh lebih rendah dibanding petani laki-laki yang mencapai 0,6 hektar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hingga saat ini, kemiskinan di Indonesia masih merupakan fenomena sektor pertanian dan pedesaan di mana jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan mencakup sekitar 62 persen dari total penduduk miskin. Selain itu, mayoritas penduduk miskin pedesaan menggantungkan hidup pada sektor pertanian.

Hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa sebagian besar pesar petani kita merupakan smallholders farmers. Hasil SUTAS menunjukkan bahwa rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar mencakup sekitar 58 persen dari total jumlah rumah tangga pertanian.

Itu artinya, pembangunan wilayah pedesaan yang difokuskan pada penguatan sektor pertanian yang memperhatikan aspek kesetaraan gender dan partisipasi kaum perempuan menjadi sangat krusial bukan hanya untuk perekonomian nasional yang lebih inklusif tapi juga pengentasan kemiskinan.

Terkait hal ini, ketersediaan data yang mencakup aspek sosial-ekonomi sektor pertanian secara holistik dan reguler merupakan sebuah keniscayaan. Data tersebut juga harus dikumpulkan melalui proses pengumpulan data yang didasarkan pada metodologi yang kuat.

Dengan demikian, informasi yang akurat dan tepat waktu sebagai dasar pengambilan kebijakan yang berdasar bukti (evidence-based policy) dapat disediakan. Hal ini sejalan dengan semangat agenda Strategi Global untuk meningkatkan Statistik Pertanian dan Pedesaan/the Global Strategy to Improve Agriculture and Rural Statistics yang telah dicanangkan oleh FAO.

Sayangnya, dalam konteks Indonesia, terdapat kesenjangan antara kebutuhan informasi untuk mendukung kebijakan yang kuat terkait sektor pertanian-pedesaan dan ketersediaan data yang ada. Dengan kata lain, data tersebut tidak tersedia sebagai akibat tidak adanya sistem data berkelanjutan untuk statistik pertanian dan pedesaan.

Contoh konkrit terkait hal ini adalah kelangkaan data berkualitas tinggi dan terkini untuk perhitungan indikator-indikator SDGs di bawah perwalian FAO, khususnya indikator 2.3.1, 2.3.2, 2.4.1, 5.a.1.a, dan 5.a.1.b yang dicakup dalam Tujuan 2 (zero hunger) dan 5 (gender equality) pembangunan berkelanjutan. Kondisi ini telah mengurangi kapasitas Indonesia dalam menjalankan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk pembangunan sektor pertanian dan pedesaan serta memonitor progres capaian pembangunan berkelanjutan yang diukur melalui indikator-indikator tersebut. Tidak mengherankan jika hingga kini, Indonesia termasuk negara yang tidak mampu menyediakan indikator-indikator tersebut untuk kompilasi FAO yang akan digunakan untuk evaluasi global dan perbandingan antar negara.

Sebagai jalan keluar, BPS berencana akan melaksanakan Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI/AGRIS) untuk pertama kalinya pada Tahun 2021 sesuai rekomendasi FAO. Survei ini diharapkan dapat  menyediakan the Global Strategy Minimum Core Data Set, termasuk informasi yang diperlukan dalam perhitungan indikator utama SDGs pertanian, dan diharapkan dapat menjadi titik awal bagi ketersediaan sistem data berkelanjutan untuk statistik pertanian dan pedesaan di Indonesia. Lebih dari itu, SITASI/AGRIS juga dimaksudkan sebagai langkah awal menuju era baru Sensus Pertanian berstandar internasional yang akan dilaksanakan pada Tahun 2023.

Saat ini, SITASI/AGRIS sedang dalam tahap persiapan uji coba yang akan dilaksanakan di tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Untuk mencapai tujuan SITASI/AGRIS, pelaksanaannya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, seperti pemerintah pusat dan daerah serta kementerian/lembaga terkait. Terkait hal ini, dukungan dari berbagai pihak menjadi sangat penting untuk menegaskan bahwa SITASI/AGRIS merupakan salah satu kegiatan nasional yang penting dan mendesak untuk diimplementasikan dalam mendukung dashboard monitoring pembangunan pertanian dan SDGs di Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler