x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

2018, Dua Dekade Reformasi dan Ancaman bagi Bangsa Pelupa

Dua dekade sudah bangsa ini bergerak menjauhi 1998. Tapi apakah menjauh artinya maju?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apa arti dua dekade reformasi bagi kita? Tanyakan itu pada perempuan tua berambut perak bernama Sumarsih. Pada usianya yang menginjak 64 tahun, perempuan itu masih tegak berdiri dari satu kamis ke kamis berikutnya untuk menuntut keadilan. Buah hatinya, Norwan Wirawan atau Wawan adalah korban penembakan dalam Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998. Ia menuntut keadilan. Sumarsih sungguh bernyali. Bersama rekan-rekan senasib sepenanggungan korban pelanggaran hak asasi manusia, ia menghadap Istana Merdeka, di mana penguasa, yang sejatinya menjadi tumpuannya mencari keadilan, berkantor. Berbekal payung hitam sudah lama ia menagih janji keadilan itu baik-baik.

Penguasa hari ini tak mengacuhkan Sumarsih dan kawan-kawannya. Meski, pada 2014, Sumarsih merayakan kemenangan Presiden Joko Widodo setelah beberapa kali pemilu dirinya memilih absen. Aksi Sumarsih dan rekan-rekan seperjuangannya telah dilakukan sejak kamis, 18 Januari 2007. Mereka yang selama bertahun-tahun absen bersuara tentang keadilan, mulai berani membuka suara sejak Republik ini mengalami goncangan besar pada 1998.

Pada 1998, Presiden Suharto mengumumkan pengunduran dirinya setelah 32 tahun berkuasa. Badai krisis ekonomi hingga demonstrasi mahasiswa tak sanggup membuat penguasa Orde Baru itu menggenggam kekuasannya lebih lama. Tak biasanya, ia seolah kehilangan daya untuk menggebuk lawan-lawan politiknya. Satu persatu loyalisnya memilih balik badan. Beberapa di antaranya, terang-terangan meminta Penguasa Orde Baru itu mundur. Presiden Suharto pun menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998. Pidato singkatnya disambut dengan sorak-sorai mahasiswa yang menduduki gedung parlemen.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sorak-sorai itu hanya pesta sesaat dari jatuhnya Presiden Suharto. Banyak yang lupa bahwa Orde Baru adalah sebuah ‘mesin besar’ yang telah berputar selama tiga dasawarsa. Kekuatannya bertumpu pada tiga komponen: militer, birokrasi, dan kekuatan politik bernama Golongan Karya. Selama tiga dekade, anak-anak ideologis Orde Baru dari tiga kekuatan ini lahir dan terbentuk. Selama lahir, mereka hanya melihat satu sosok kuat bernama Suharto sebagai representasi pemimpin yang paripurna.

Menanamkan Ide, Menjadikannya Antipeluru

Orde Baru selangkah lebih maju daripada Orde Lama dalam hal penanaman gagasan-gagasan besar. Konsepsi Orde Baru memang tidak seprovokatif Orde Lama dengan Nasakom, Manipol, atau Usdek. Pidato Presiden Suharto sangatlah kaku dan membosankan dibandingkan dengan gelegar singa podium seperti Bung Karno. Tapi konsep Orde Baru jauh merasuki jiwa dan pikiran rakyat. Pola penanaman ide ini mirip dengan apa yang disebut dengan ‘kerja insepsi’ yang dilakukan oleh Dominick Cobb dalam film Inception karya sang maestro sineas asal Inggris Christopher Nolan.  

Cobb adalah kriminal profesional yang bekerja dengan membajak alam bawah sadar seseorang. Cara kerja Cobb melalui mimpi korbannya jauh lebih efektif dalam mengubah cara pandangnya terhadap sesuatu. Misal, Cobb ingin mengubah selera korbannya yang tadinya suka berjudi menjadi benci berjudi. Cobb akan mencari cara melalui mimpi si korban agar seleranya itu bergeser. Sesederhana itu.

Cara bekerja pengusa di Indonesia tak jauh berbeda dari inception. Namun, kekuasaan memiliki keuntungan untuk bertindak lebih barbar dan cenderung memaksa. Satu contoh, bagaimana menanamkan kebencian kepada PKI hingga ke akar-akarnya. Kerja inception ala Orde Baru dimulai dengan membuat sejarah versinya sendiri, memvisualkannya dengan apik, dan memaksa seluruh warga menontonnya bak merayakan.

Cara di atas ampuh untuk membentuk pola pikir generasi baru yang lahir di era berkuasanya Orde Baru terhadap komunisme. Bagi mereka, komunisme itu adalah musuh abadi yang wajib ditumpas dan dijauhi. Penanaman ide oleh penguasa ini pun dapat dilihat dari betapa mudahnya menempelkan cap komunis kepada siapa pun yang melawan Orde Baru. Ide yang tertanam tentang antikomunisme ini sangatlah solid. Seperti kata penulis Alan Moore, an idea is bulletproof!

Kerja kuasa inilah yang membuahkan hasil bertahun-tahun kemudian, pasca-Suharto. Generasi yang mengkonsumsi satu versi sejarah selama bertahun-tahun Seperti sebuah adagium, manusia yang berbahaya adalah manusia yang membaca satu buku.  Jadi, khawatirlah pada seseorang yang membaca hanya satu buku dan menyanjungnya dibandingkan orang yang membaca banyak buku.

Kerja kuasa Orde Baru tak hanya melalui inception, melainkan pula kerja panopticon-nya Jeremy Bentham di akhir abad ke-18. Panopticon adalah desain bangunan sel atau penjara yang memungkinkan si penjaga melihat seluruh isi bangunan, tanpa disadari oleh seluruh narapidana. Desain ini mirip dengan gagasan ‘rumah kaca’ di mana gerak-gerik para penghuni bisa dibaca sedemikian rupa. Seorang wartawan senior menggambarkan, “Di era (Orde Baru) itu, jarum jatuh pun (penguasa) tahu.”

Presiden Suharto di ujung masa kekuasaannya telah menjelma menjadi patron –jika tidak ingin dikatakan mitos. Pak Harto, tak ada bedanya dengan Bung Karno di senjakala kuasanya, adalah lelaki tua yang siap dimangsa oleh perilaku kuasa sendiri hingga lawan-lawan politiknya. Keduanya akhirnya jatuh. Meninggalkan luka akibat pengkhianatan, yang kita semua tidak tahu seberapa dalam luka itu. Namun, sistem kuasa yang mereka tinggalkan telah menjadi bagian dari ide-ide kolektif hingga hari ini. Wajah Presiden Suharto dan Presiden Sukarno bersaing di bak-bak truk muatan sepanjang Pantura. Keduanya pun bersaing pengikut dan gagasan di ranah digital hari ini. Romantisme Pak Harto versus heroisme Bung Karno. Sesungguhnya, kita tak bergerak ke mana-mana.  

Kini, dua dekade kemudian, perubahan terjadi di sana-sini. Era analog telah bersalin lupa menjadi digital. Indonesia tercatat sebagai salah satu terpenting dalam jagat aktivitas media sosial dan Internet. Penggunanya bahkan mencapai 132 juta dengan porsi 40 persen menggunakan media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan lain sebagainya.     

Informasi di era digital tak hanya bergerak cepat, melainkan tunggang langgang. Para konsumen informasi itu mungkin tak sanggup mencerna seutuhnya sebelum akhirnya datang informasi lain yang menimpa. Di era digital inilah kerja kuasa melalui inception dan panopticon akan berlanjut ke tingkat yang lebih mencemaskan.  

Dunia digital inilah yang dipakai oleh kekuasaan untuk bekerja lebih jauh dan efektif. Seperti dalam kisah komik Captain America, salah seorang penjahat pentingnya adalah ilmuwan sinting Arnim Zola. Tokoh Zola menciptakan sebuah senjata pemusnah massal berdasarkan algoritma tertentu dari basis digital korbannya, seperti rekening bank, rekam kesehatan, nomor telepon, email, hingga kecenderungan politik. Dunia digital memungkinkan kehidupan ini makin transparan, nyaris tanpa sekat. Ketika semua data individu itu tersedia, kerja kuasa akan jauh lebih mudah. Jadi, tergantung pada karakter kekuasaan seperti apa yang sedang berkuasa saat ini. Namun, sayangnya, bukankah kekuasaan itu sama saja? Cenderung korup dan pasti korup jika absolut.

Setelah dua dekade reformasi, apa yang kita dapat? Di tengah keterbukaan informasi dan demokrasi, mungkin saja ada sistem kekuasaan laten yang siap melahap keduanya di saat yang tepat. Ketika masa itu tiba, entah apakah Ibu Sumarsih tetap tegak berdiri mengembangkan payung hitam tepat di moncong hidung kekuasaan. Selamat datang tahun 2018!

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB