x

Walikota Bandung, Ridwan Kamil dan istri berbicara para petani saat memanen aneka sayur hidrofonik di kebun perkotaan bersama warga Kelurahan Neglasari, Bandung, Jawa Barat, 31 Desember 2015. Masyarakat sekitar kini mampu membuat bibit dan mengembang

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bertani di Ibu Kota, Bagaimana Caranya?

Di tengah keterbatasan lahan untuk bertani, kegiatan pertanian di ibu kota sebaiknya diarahkan menjadi kegiatan urban farming (pertanian kota).

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Meski perekonomiannya lebih ditopong oleh sektor jasa dan industri, bukan berarti aktivitas bertani benar-benar lenyap dari ibu kota. Hal ini tecermin dari sumbangsih sektor pertanian yang mencapai 0,09 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta pada 2015.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dari 1.983,42 triliun pendapatan (PDRB) yang tercipta dari seluruh aktivitas ekonomi sepanjang tahun 2015 di Ibu Kota, sekitar 1,87 triliun di antaranya disumbang oleh sektor pertanian, yang mencakup subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan, dan jasa pertanian.

Secara lebih rinci, potret sektor pertanian di ibu kota disajikan oleh hasil Sensus Pertanian yang dilaksanakan BPS pada 2013 atau disingkat ST-2013. Hasil ST-2013 menyebutkan, jumlah rumah tangga usaha pertanian (petani) di ibu kota mencapai 12.287 rumah tangga. Mereka disebut petani karena melakukan kegiatan pertanian dengan motif usaha atau sebagai sumber penghidupan, bukan hanya sekedar hobi atau sekedar kesenangan belaka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian besar petani di ibu kota terdapat wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur. Jumlah petani di ketiga wilayah ini mencapai 9.096 petani atau sekitar 74 persen dari seluruh petani di ibu kota. Aktivitas pertanian yang banyak dilakukan oleh petani di ibu kota adalah budidaya tanaman hortikultura (sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat), peternakan, dan perikanan.

Mudah diduga, kawasan pertanian yang berbasis lahan (tanaman bahan makanan, peternakan, dan budidaya ikan air taawar) di Ibu Kota terkonsentrasi di daerah pinggiran yang berbatasan langsung dengan provinsi lain, yakni Banten dan Jawa Barat. Sementara, perikanan tangkap dan budidaya ikan air laut terkonsentrasi di wilayah pesisir utara Jakarta dan Kepulauan Seribu.

Urban Farming dan Agro Wisata

Di tengah pesatnya laju pembangunan, serta terus meningkatnya kebutuhan lahan untuk infrastruktur, pemukiman, dan berbagai kegiatan ekonomi di sektor jasa dan industri, sektor pertanian di Ibu Kota kian terdesak. Ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari.

Namun demikian, aktivitas pertanian di Jakarta sebaiknya tetap dipertahankan (baca: dilestarikan). Hal ini dapat dilakukan dengan, antara lain, meningkatkan nilai ekonominya—bukan hanya sekedar kegiatan budidaya untuk menghasilkan komoditas pangan.

Di tengah keterbatasan lahan untuk bertani, kegiatan pertanian di ibu kota sebaiknya diarahkan menjadi kegiatan urban farming (pertanian kota) yang tidak berbasis lahan, tetapi berbasis teknologi, misalnya, aquaculture dan pertanian hidroponik.

Karena itu, program Gang Hijau yang digagas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama Trubus dan Bank Indonesia Provinsi DKI patut diapresiasi. Program yang merupakan implementasi  konsep pertanian perkotaan ini direncanakan bakal diaplikasikan di ratusan titik di Ibu Kota. Jika berhasil, program ini tidak hanya dapat memasok kebutuhan pangan warga Jakarta untuk komoditas tertentu tapi juga dapat mendorong penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat.

Untuk komoditas pangan, selama ini Jakarta sangat bergantung pada suplai dari daerah lain seperti Provinsi Jawa Barat. Kondisi ini mengakibatkan harga komoditas pangan akan mudah bergejolak ketika suplainya terganggu. Jika konsep pertanian perkotaan diterapkan cukup masif di Ibu Kota, hal ini bisa sedikit mengurangi ketergantungan warga Ibu Kota terhadap suplai pangan dari daerah lain, khususnya produk hortikultura seperti sayur-sayuran dan buah-buahan yang bisa dibudidayakan dengan konsep pertanian perkotaan.

Harga cabai, misalnya, sangat berfluktuasi dan seringkali meroket ketika suplainya terganggu atau karena lonjakan permintaan pada momen-momen tertentu seperti bulan Ramadhan dan hari raya. Hal ini terjadi karena preferensi konsumen Tanah Air yang lebih memilih untuk mengkonsumsi cabai segar ketimbang cabai yang dikeringkan. Persoalan ini sebetulnya bisa diatasi mengingat potensi budidaya cabai dengan konsep pertanian perkotaan cukup besar di Ibu Kota.

Selain konsep pertanian perkotaan, aktivitas pertanian di Jakarta bisa dikemas sebagai produk wisata atau lazim disebut agro wisata. Faktanya, saat ini di Jakarta masih ada sawah, utamanya di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Tidak bisa ditampik, meskipun setiap hari makan nasi, hampir semua anak-anak di Ibu Kota tidak pernah menyaksikan secara langsung bagiamana proses budidaya tanaman padi dilakukan di sawah.

Tentu bakal sangat menarik dan menyenangkan bila mereka bisa menyaksikan langsung bahkan melakukan sendiri kegiatan budidaya tanaman padi mulai dari membajak sawah dengan kerbau hingga menanam padi. Selain untuk wisata, kegiatan seperti ini juga bernilai edukasi. Setidaknya mereka tidak lupa bahwa nenek moyangnya adalah bangsa petani. (*)

 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB