x

Pengunjung mengamati arca yang berasal dari Candi Singasari, Malang, di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, 15 September 2017. Arca dari Candi Singasari yang menjadi kolkesi Museum Leiden, antara lain arca Bhairawa, Mahakala, Nandiswara, Nandi, Gane

Iklan

Dave Kusuma

Classified
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sejarah: Memisahkan Lengkuas dari Daging

Saat mengumpulkan sumber sejarah, sejarawan kerapkali berhadapan dengan mitos yang tercampur-baur dengan fakta sejarah. Apa akal?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mitos dalam peristiwa sejarah ibarat “potongan lengkuas” dalam suatu masakan daging. Tampilannya serupa betul dengan “daging” (fakta sejarah), tanpanya “masakan daging” (peristiwa sejarah) boleh jadi tak lagi sedap. Namun cobalah Anda kunyah lengkuas itu, apakah ia kemudian berubah menjadi daging di dalam mulut dan nyaman ditelan? Ataukah Anda insyaf dan buru-buru memuntahkannya?

 

Sepotong lengkuas dalam masakan daging adalah keniscayaan yang sulit dihindari. Namun apabila kita ingin makan daging, maka kita harus menemukan dagingnya. Secara otomatis kita juga harus dapat membedakan; mana daging dan mana lengkuas. Kira-kira analogi ini dapat memberikan gambaran tentang bagaimana seorang sejarawan harus memiliki kemampuan mengidentifikasi baik mitos maupun fakta sejarah. Memang isu “daging diantara lengkuas” ini adalah penyakit klasik, khususnya bagi sejarawan jadi-jadian. Konon, menurut sahibulhikayat, katanya mbok bakul sinambiwara, dll. merupakan isyarat adanya “lengkuas dosis tinggi”. Bagaimanapun, kehidupan masyarakat Timur dalam pelbagai aspek memang sulit dilepaskan dari mitos.

 

Begawan sejarah Indonesia Kuntowijoyo berwasiat bahwa “sejarah bukan mitos”. Begitu pentingnya hal ini untuk ditekankan, sampai-sampai Kuntowijoyo menempatkan bagian “sejarah bukan mitos” ini pada awal subbab “Pengertian Sejarah secara Negatif” dalam kitab Pengantar Ilmu Sejarah. Memang baik mitos maupun sejarah keduanya sama-sama menceritakan masa silam. Namun ada perbedaan yang teramat mendasar, misalnya mitos tidak menjelaskan aspek “kapan” sementara dalam sejarah, “kapan” adalah hal yang sangat pokok. Kalaupun mitos berusaha sekeras mungkin memunculkan “kapan” maka relevansinya layak dipertanyakan. Sementara dalam sejarah, “kapan” ini harus dapat diketahui dan dibuktikan. Para mahasiswa Ilmu Sejarah tingkat akhir misalnya, dituntut untuk sudah memiliki "kapan" sejak masih mereka-reka judul skripsinya.

 

Patut digarisbawahi bahwa mitos termasuk tradisi lisan. Ia memiliki peluang menjadi sumber sejarah, dengan syarat adanya sumber lain yang kredibel. Misalnya suatu peristiwa dalam tradisi lisan tentang akhir menyedihkan suatu masyarakat tertentu gara-gara “pageblug”. Lantaran masyarakat tersebut tidak mau tunduk pada seorang penganut ilmu syaiton yang bernafsu alih profesi menjadi pemimpin formal, maka si penganut ilmu syaiton menurunkan sihir mengerikan. Masyarakat yang malang tadi mengalami periode sakit-mati yang sangat cepat; pagi sehat siang sakit sore mati. Begitu terus sampai “hampir punah”.

 

Mitos ini apabila dikaitkan dengan merebaknya wabah penyakit – dengan penularan tanpa disadari dan lewat masa inkubasi – dapat saja menghasilkan akhir yang sama; kematian anggota masyarakat yang malang. Namun harus diingat bahwa mengaitkan mitos dengan sumber sejarah lain tidak boleh asal-asalan. Sejarawan tidak boleh utak-atik-gatuk (dalam istilah slang mutakhir: cocokologi) dalam mengaitkan antara mitos dan sumber sejarah yang ditemukan. Minimal harus ada kesesuaian waktu, tempat, dan prakondisi. Ada baiknya sejarawan mengikuti petunjuk dari Gilbert Garaghan dalam “menguji” sumber-sumber sejarah yang ditemukan:

 

1. When was the source, written or unwritten, produced (date)?

2. Where was it produced (localization)?

3. By whom was it produced (authorship)?

4. From what pre-existing material was it produced (analysis)?

5. In what original form was it produced (integrity)?

6. What is the evidential value of its contents (credibility)?

 

Calon sumber sejarah yang ditemukan, mutlak harus dihadapkan pada “enam tahap persidangan” tersebut di atas sebelum dapat ditetapkan “secara sah dan meyakinkan” sebagai sumber sejarah. Dari sini nantinya dapat terpilah mana mitos dan mana fakta sejarah. Mitos tidak dapat dipaksakan masuk sebagai sumber sejarah, sebagaimana kita tidak dapat berpura-pura bahwa lengkuas yang telanjur masuk mulut adalah daging yang dapat dikunyah nikmat dan ditelan dengan penuh rasa syukur.

 

Pada kasus penelitian tertentu, sejarawan dihadapkan pada fait accompli nan pelik. Hampir tidak ditemukan bakal-calon-kandidat-sumber sejarah selain tradisi lisan, termasuk mitos. Situasi ini tidak boleh membuat sejarawan tap-out, lempar handuk, mengibarkan bendera putih. Sifat dan sikap yang harus dimiliki dan ditunjukkan sejarawan adalah persevere under pressure, tabah sampai akhir, pantang pulang sebelum padam, pantang timbul sebelum menang. Satu kalimat dari Kuntowijoyo lagi, “Semua sumber itu sah sifatnya, asal prosedur penelitian sejarah diterapkan”. Jangan lupa, sejarawan harus waspada dengan sumber sejarah palsu, karena jangankan kesaksian penutur atau manuskrip, di sini Nabi pun dipalsu.

 

*Sebagai bacaan tambahan:

 

Garaghan, Gilbert J.. A Guide to Historical Method. New York: Fordham University Press, 1946.

 

Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005.

 

Lohanda, Mona. Membaca Sumber Menulis Sejarah. Yogyakarta: Ombak, 2011.

Ikuti tulisan menarik Dave Kusuma lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler