x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memasak sebagai Terapiku

Memasak itu menyenangkan dan bisa jadi terapi yang ampuh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak jalan menyenangkan orang lain, salah satunya yang saya suka ialah memasak. Tapi memasak juga menyenangkan diri sendiri. Saya merasakan kesenangan ketika membeli bahan-bahan, mempersiapkannya—menguliti, memotong, mencuci, apa saja termasuk mengupas bawang hingga kadang mata berair, terlebih lagi kesenangan ketika proses memasak dimulai.

Memasak membuat saya mengenal lebih dekat beraneka bahan (minyak goreng, tepung, telor, aneka sayur, garam, apa saja). Masing-masing bahan memiliki karakter sendiri, dan para juru masak selalu mengingatkan soal ini. Karakter yang berbeda menghendaki perlakuan yang berbeda. Bahkan, putih telor punya watak yang berbeda dari kuning telor meskipun berada dalam cangkang yang tunggal.

Apa yang membuat memasak itu menyenangkan ialah karena memberikan kegembiraan tersendiri. Keliru menakar, suhu yang terlampau panas karena api terlalu besar, maupun salah urutan memasukkan bahan memang dapat menyebabkan masakan kurang manis, gosong, atau tidak mengembang jika ini kue. Namun semua kesalahan itu adalah proses belajar, dan sebagai proses belajar, memasak tidaklah membosankan karena juga selalu mengajarkan hal-hal baru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun ada ketegangan dalam memasak, tapi secara keseluruhan memasak itu menenangkan. Di dalam proses ini, saya belajar bersabar—meski orang lain kadang berteriak karena masakan tak cepat selesai. Saya juga belajar tekun dalam berlatih: mengupas, mengiris, menakar, apa saja.

Tahap-tahap memasak melibatkan pemusatan pikiran; tentu saja, ini cara belajar berkonsentrasi yang menyenangkan. Memasak dan distraksi (teralihkannya perhatian kepada yang lain) merupakan dua hal yang tak bisa berjalan bersama. Begitu kamu berpaling dari wajan panas dalam satu menit saja, bawangmu akan gosong.

Meski semua langkah itu merupakan sejenis ikhtiar yang terus-menerus, tapi saya melaluinya dengan rasa senang. Barangkali, karena di dalamnya terdapat warna, bentuk, rupa, hingga aroma yang membuat indera kita terpuaskan oleh keragamannya. Boleh jadi pula, karena memasak adalah semacam proses penciptaan, sekalipun itu hanya memasak semangkuk mie dan telor rebus.

Momen penciptaan selalu menawarkan keunikan pengalaman, seperti halnya ketika kita menulis puisi, melukis di atas kanvas, menggubah lagu, ataupun membuat karya tembikar. Namun berbeda dari semua hasil penciptaan itu—puisi, lukisan, lagu, ataupun tembikar yang akan tetap ada, masakan akan lenyap ketika manusia menyantapnya. Untuk melihat kembali masakan yang sama (walaupun sebenarnya tidak pernah benar-benar sama), proses penciptaan pun mesti direpetisi.

Jika ingin menemukan kemiripan memasak dengan memainkan lagu ialah bahwa di balik masakan terdapat resep, di balik lagu ada partitur; sedangkan di dalam proses memasak dan memainkan lagu mungkin saja terjadi improvisasi. Chef terkenal umumnya punya gaya sendiri dalam berimprovisasi ketika memasak, sebagaimana musisi punya gaya sendiri ketika memainkan partitur yang sama. Apa yang membuat hidangan begitu nikmat ialah karena para juru masak mengolahnya dengan sepenuh hati, fokus, sabar, telaten, dan tidak teralihkan perhatiannya.

Pelajaran itulah yang coba saya serap setiap kali memasak di rumah. Memasak merupakan aktivitas yang intim dan perlu pendekatan personal. Memasak jadi pengalaman yang khas karena saya merasa terkoneksi dengan aneka bahan, warna, rasa, bentuk, aroma—ya, aroma seringkali menjadi konektor kepada pengalaman masa lampau. Ketika memasak telor mata sapi, ingatan terbawa ke masa kecil ketika telor mata sapi terasa begitu mewah.

Memasak menawarkan pertautan kembali dengan memori, dan jika memori itu menyenangkan, memasak semakin jadi terapi yang menyehatkan. Begitu pula, memasak untuk orang lain menjadi sejenis kegembiraan tersendiri, sebab kita telah menyediakan makanan agar orang lain gembira menikmatinya. Senang rasanya melihat keluarga, saudara, ataupun teman menyantap habis hidangan yang telah membuat kita berkeringat karena panas di dapur. Meskipun, rasa cemas ‘jangan-jangan masakan saya kurang enak’ terkadang menyelinap. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler