x

Surat persiapan penjemputan Rizieq Shihab yang asli dan hoax. dok.kepolisian banda Soekarno Hatta

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hoax Politik lebih Cepat Viral

Kajian ilmiah menyingkapkan rahasia mengapa berita bohong lebih cepat viral dibandingkan berita tentang peristiwa yang benar-benar terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Berita bohong (hoax, false news, fake news) terlihat mereda, dan mudah-mudahan saja tidak kembali bergemuruh walaupun tahun politik tengah berjalan. Di tengah suasana reda, ada baiknya menengok hasil penelitian sejumlah akademisi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS, yang berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan: “Mengapa false news (berita bohong) lebih cepat viral ketimbang true news (berita nyata--berita mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi)?”

Sinan Aral bersama Soroush Vosoughi dan Deb Roy mengumumkan hasil riset mereka di jurnal Science volume 359 issue 6380 yang terbit 9 Maret 1018. Mereka tertarik untuk mengetahui bagaimana dan mengapa ‘berita nyata’ (true news) dan ‘berita bohong’ (mereka memakai istilah false news) menyebar secara berbeda. Mereka bekerja amat serius. Aral dan timnya menelisik 126 ribu story yang dikicaukan oleh 3 juta orang sebanyak 4,5 juta kali untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Mereka fokus pada data Twitter sejak 2006 hingga 2017.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang dijadikan dasar Aral dan tim untuk menyebut informasi tertentu sebagai ‘berita nyata’ dan informasi lain ‘berita bohong’? Mereka rupanya mengacu pada kesepakatan yang dicapai enam organisasi fact-checking independen, di antaranya politifact.org dan factcheck.org, terhadap informasi tertentu. Bila terhadap informasi X, keenam organisasi ini mencapai tingkat kesepakatan antara 95% hingga 98% bahwa informasi itu bohong, maka peneliti merujuknya sebagai berita bohong. Begitu pula, informasi tertentu dianggap sebagai true news apabila kesepakatan di antara mereka mencapai 95-98%.

Rujukan para peneliti terhadap organisasi fact-checking independen tersebut rasanya dapat dipertanggungjawabkan. Dari hasil riset mereka, Aral dan tim memperoleh sejumlah temuan menarik yang dapat diambil manfaatnya di sini.

Pertama, para peneliti menemukan pola kebaruan pada berita bohong. Dibandingkan dengan true news, muatan isi false news lebih mutakhir atau belum didengar sebelumnya. Unsur kebaruan dalam berita bohong ini sangat diperhatikan oleh pembuatnya, karena pada umumnya orang menyukai informasi baru. Karena itu, rumor (misalnya, ‘konon kabarnya...’) yang belum terbukti kebenarannya akan lebih cepat menyebar.

Kedua, berita bohong lebih cepat menyebar dibandingkan dengan berita nyata/benar serta memiliki penetrasi atau daya tembus yang lebih dalam dan mampu mencapai lebih banyak orang. Yang dimaksud dengan daya tembus ialah kedalaman pengaruh berita bohong kepada penerimanya dalam waktu singkat.

Ketiga, berita bohong lebih cepat menyebar dibandingkan berita nyata/benar. Sebuah kabar bohong yang telah sampai kepada 1.500 orang akan beredar enam kali lebih cepat dibandingkan berita nyata. Kecepatan penyebaran berita bohong ini ditopang oleh aktivitas re-tweet yang luas. Aral dan tim menemukan bahwa false news memiliki kemungkinan 70% lebih besar untuk di-retweet dibandingkan true news.

Keempat, dibandingkan dengan berita bohong tentang isu terorisme, bencana alam, sains, perkotaan, ataupun keuangan, berita bohong mengenai isu-isu politik memiliki daya tembus lebih besar, cakupan yang lebih luas, meraih lebih banyak orang, dan lebih cepat viral. Dalam konteks AS, para peneliti menemukan peningkatan jumlah berita bohong mengenai isu politik pada 2012 dan 2016 menjelang dan saat pemilihan presiden berlangsung.

Mengapa bisa demikian? Menurut para peneliti MIT, berita bohong umumnya diciptakan dengan tujuan menyebarkan informasi yang menyesatkan. Jadi, informasi ini sengaja dijahit sedemikian rupa agar mampu menarik perhatian sebanyak mungkin orang. Dibandingkan menulis true news atau berita mengenai peristiwa yang benar-benar terjadi, seorang pembuat berita bohong akan lebih mudah memasukkan unsur-unsur penarik perhatian (catchy elements). Berita bohong umumnya juga dirancang untuk memuaskan prasangka khalayak yang dituju.

Berita bohong juga cepat viral karena muatan (content) di dalamnya mengandung unsur kejutan, cenderung menimbulkan kebencian, dan membangkitkan rasa muak. Unsur kejutan berasal dari ‘kebaruan’ informasinya, misalnya rumor yang belum pernah didengar publik tentang latar belakang politikus tertentu. Perancangnya tahu bahwa kebaruan akan menarik perhatian, sebab khalayak cenderung ingin mengetahui hal-hal baru. Rasa haus akan informasi kejutan dengan mudah masuk ke dalam perangkap berita bohong.

Endorsement suatu berita oleh influential tweeter juga berkontribusi penting terhadap kecepatan dan keluasan penyebaran berita ini. Menurut para peneliti ini, banyak orang gemar menjadi follower orang-orang yang kerap mengirim berita aneh, kasar, ataupun gosip dan rumor yang belum jelas kebenarannya. Kicauan yang dilontarkan influential tweeter ini akan cepat di-retweet tanpa terlebih dulu diuji dan dipastikan kebenarannya. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler