x

Iklan

Alfian Helmi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Impor Garam dan Keberpihakan Negara

Persoalan impor garam kembali mencuat ke permukaan. Ada dua hal yang menyebabkan isu tentang garam ini kembali diperbincangkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Persoalan impor garam kembali mencuat ke permukaan. Ada dua hal yang menyebabkan isu tentang garam ini kembali diperbincangkan. Pertama, terkait dengan rencana pemerintah memberikan izin impor garam sebanyak 2,37 juta ton. Kedua, terkait dengan dialihkannya rekomendasi izin impor garam dari Kementerian Kelautan dan Perikanan dibawah komando Menteri Susi kepada Kementerian Perindustrian dibawah Menteri Airlangga. Kedua persoalan ini muncul setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri pada 15 Maret 2018 yang lalu. Dalam kacamata ekonomi politik, apabila keluaran (outcome) dari sebuah intervensi kebijakan justru menghasilkan serangkaian kemelut baru, maka hampir dipastikan bahwa perumusan, organisasi, implementasi atau langkah intervensi itu juga kemungkinan bermasalah.

Polemik Impor

Sudah 15 tahun terakhir kita memang tidak bisa lepas dari ketergantungan impor garam. Data menunjukan, impor garam dari tahun ke tahun terus meningkat. Dari 2,1 juta ton pada 2016 menjadi 2,6 juta ton pada 2017, dan 3,7 juta ton pada 2018. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pada tahun 2018 ini merupakan impor garam terbesar sepanjang sejarah pergaraman di Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertanyaan kemudian adalah apakah impor garam merupakan kebijakan yang salah? Tentu jawabannya bisa iya bisa tidak. Jika membaca narasi pemerintah, impor garam ini memang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dunia industri, terutama industri makanan dan minuman, industri farmasi/obat-obatan, dan industri CAP (chlor alkali plant). Data menunjukan, industri makanan dan minuman serta farmasi di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Pada kuartal II/2017, industri makanan dan minuman mencatatkan pertumbuhan sebanyak 7,19%. Pencapaian ini berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) industri nonmigas sebesar 34,17%. Sedangkan untuk industri farmasi, International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), asosiasi perusahaan farmasi internasional yang beroperasi di Indonesia, juga mengungkapkan bahwa pasar industri farmasi di Indonesia juga tumbuh sebesar 7,49% hingga kuartal keempat 2016, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,92%. 

Sebagai konsekuensinya, baik langsung maupun tidak langsung, kebutuhan akan garam (sebagai salah satu komponen penting dalam industri makan dan minum serta farmasi) tersebut juga semakin meningkat. Ironisnya, kebutuhan garam industri yang semakin meningkat ini tidak serta merta diimbangi dengan pasokan garam industri yang memadai dari dalam negeri.

Dari aspek kualitas, produksi garam lokal sampai dengan saat ini juga masih belum mampu menyamai kualitas garam impor yang parameter kimia dan fisiknya memang lebih baik. Dalam garam industri, kandungan NaCl dalam garam setidaknya harus diatas 97%, Magnesium (Mg) maksimal 150 ppm, dan kandungan Kalsium dibawah 400 ppm. Selain itu, kadar air juga harus dibawah 0.20% dan kadar kotoran maksimal 0.07 % juga menjadi salah satu standard utama garam agar bisa diterima kalangan industri. Sayangnya, hasil analisis uji sampel garam dari 42 Kabupaten/Kotamadya kepada para penerima program PUGAR yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tanggal 3 Juni 2013 menyatakan bahwa garam rakyat memiliki rata-rata kandungan NaCl 92,69%, Kadar Air 2,24%, Pb 8,9 ppm, Cu 3,23 ppm, Arsen 0 ppm. Melihat gap kualitas garam yang cukup tinggi itu, tentu riset dan inovasi teknologi sangat diperlukan untuk dapat mendongkrak kualitas garam lokal agar mampu bersaing dengan garam impor.

Tiga Kekhawatiran

Kebijakan impor dapat menjadi kebijakan yang salah kaprah jika setidaknya terdapat tiga hal ini: Pertama, kuota impor tidak sesuai dengan perhitungan kebutuhan dan produksi garam di lapangan. Munculnya angka 3,7 juta ton impor garam atas restu Kemenperin tentu saja banyak menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, KKP dan  BPS sebelumnya sudah mematok impor garam industri pada tahun 2018 ini hanya 2,2 juta ton. Sehingga banyak kalangan menilai, lahirnya PP No. 9/2018 yang mengalihkan rekomendasi impor dari KKP ke Kemenperin merupakan buntut dari  ketidakakuran data antar lembaga pemerintah ini. Tentu saja, ketidakakuran data antar kementerian/lembaga ini bisa menjadi salah satu ladang subur bagi para importir memainkan kuota impor garam.

Kedua, kekhawatiran akan merembesnya garam impor ke pasar garam konsumsi. Kekhawatiran ini cukup beralasan. Karena beberapa kasus sering kali ditemukan perusahaan yang mendapatkan izin impor garam menyalahgunakan izin ini untuk memasok garam ke pasar garam konsumsi. Kasus tertangkapnya mantan Dirut PT Garam akibat penyalahgunaan importasi dan distribusi garam industri sebanyak 75.000 ton merupakan contoh nyata dari kekhawatiran ini. Penyalahgunaan impor garam ini tentu saja menyakiti para petani garam, karena akan memukul harga produksi di tingkat petani.

Ketiga, ketagihan impor. Kebijakan importasi garam yang seharusnya berlaku jangka pendek justru selalu menjadi jurus ampuh tiap saat kekurangan garam, tanpa ada upaya sama sekali untuk membangun kemandirian di sektor pergaraman. Tidak adanya visi kemandirian ini juga yang menjadikan target swasembada garam industri terus mundur dari tahun ke tahun (moving target). Semula, saat KKP dipimpin oleh Fadel Muhammad, target swasembada garam industri direncanakan akan tercapai pada tahun 2015, namun kemudian diundur menjadi tahun 2020, kemudian diundur lagi menjadi 2021, sesuai pernyataan Menko Luhut. Tentu, ini bukan merupakan sebuah keputusan politik yang baik. Perubahan kebijakan ke depan sangat diperlukan, karena swasembada garam tidak akan tercapai hanya dengan langkah business as usual yang ujung-ujungnya terus menggeser target swasembada tersebut.

Potensi Swasembada

Potensi swasembada garam jelas dimiliki Indonesia. Pokok masalahnya adalah apakah negara dapat mengambil keputusan intervensi kebijakan yang tepat, yang dapat saling mendukung dengan target swasembada garam tersebut. Konsistensi sebuah intervensi kebijakan jelas sangat diperlukan untuk memberikan sinyal insentif yang tepat bagi segenap pelaku, mulai dari petambak garam, pedagang, pengolah dan konsumen.

Paling tidak ada tiga hal yang harus dipertimbangkan untuk memaksimalkan potensi swasembada garam ini. Pertama, garam merupakan komoditi lintas sektoral, sehingga persoalan kesimpangsiuran data produksi dan kebutuhan garam nasional harus segera diselesaikan lintas kementerian/lembaga.  Semua pihak harus duduk bersama, dan berpegang pada kebijakan bersama. Data itu hanya boleh dikeluarkan oleh BPS, baik komoditas industri maupun rumah tangga. Tidak ada lagi data yang dipegang oleh masing-masing sektor. Karena data produksi garam yang simpang siur antar kementerian/lembaga pemerintah ini menunjukan masih tingginya ego sektoral lintas kementerian/lembaga.

Kedua, dengan meningkatnya kebutuhan garam nasional yang tidak diimbangi dengan pasokan garam domestik, maka rekonstruksi basis produksi garam sudah harus menjadi perhatian. Perlu terobosan teknologi untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas garam rakyat, revitalisasi gudang-gudang penyimpanan garam, serta penyedian infrastruktur pergaraman rakyat harus terus diupayakan. Ketiga, mempertimbangan prinsip keberpihakan. Jalas bahwa impor sangat merugikan petani garam dan menguntungkan para pemburu rente. Sehingga kita patut bertanya, pada siapa pemerintah kita berpihak, kepada masyarakat atau berpihak kepada pemburu rente?.

Ikuti tulisan menarik Alfian Helmi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler