x

Iklan

Stefanus F Lamuri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

‘Orang Biasa’ dan Spirit Keberpihakan

Catatan dari Refleksi Paskah 2018

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

‘Orang Biasa’ dan Spirit Keberpihakan

Refleksi Paskah 2018

Di balik kiprah dan karya sejumlah tokoh dunia, tidak jarang kita menemukan sejumlah orang yang turut menentukan perjalanan hidup mereka. Inner circle istilahnya. Keterlibatan mereka, tentu saja, tidak seragam. Ada sejumlah faktor yang mendorong kehadiran kontribusi mereka. Umumnya pasti terkait dengan kompetensi dan kapasitas. Toh tidak jarang, justru berbeda 180o. Mereka juga yang terkadang menentukan bobot dan derajat kesuksesan para tokoh-tokoh tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Anda tahu sosok Mileva Maric? Sedikit sekali yang paham kontribusi mathematician Serbia itu dalam konteks pengejaran –lebih tepatnya penemuan– teori Relativitas yang termahsyur. Sejarah tidak pernah jelas mencatat kontribusi wanita. Tapi Albert Einstein muda sangat terpukau. Baik ketajaman dan kecermatan Mileva dalam ilmu Matematika terapan maupun pola piker radikalnya. Dalam pola relasi orang dalam hampir serupa, kita juga tidak mengenal Pierre Curie. Pria sederhana, cenderung introvert bahkan. Justru mampu melentingkan Marie Sklodowska-Curie hingga batas eksperimen terjauh di bidang radiologi. Berkat Piere, Marie pun menemukan unsur radium tahun 1911 dan diganjar Nobel Kimia.

Puluhan tahun kemudian, umat manusia menerima manfaat luar biasa di bidang medis dari temuan Marie Curie. Saat ini orang lebih kenal Einstein dan Marie, ketimbang kompatriot mereka. Pengecualiannya adalah Piere dan Mileva adalah orang hebat. Extraordinary people yang bersekutu dengan orang hebat lain.

Dalam tradisi gereja Katolik, hal serupa juga muncul. Episode Pekan Suci Paskah adalah periode khusus. Dimana Yesus Kristus dengan kesadaran penuh. Tanpa ragu. Memasuki via dolorosa (jalan kesengsaraan) dan mengangkut semua beban siksaan yang berujung di penyaliban. Diawali oleh kedatangan Yesus di Yerusalem hingga berakhir di kompleks pekuburan di luar kota.

Prosesi agung itu lantas disesaki oleh sejumlah tokoh di sana sini. Mulai Yosef Kayafas (Pimpinan Ulama Yahudi), anggota Dewan Otoritas Yahudi, Ponsius Pilatus, Herodes Antifas, hingga Petrus, Bunda Maria, Yohanes, dan belasan Murid Murid Yesus. Mirip pentas tragedi kemanusiaan terbesar. Semua punya peran dan kontribusi masing-masing. Petrus tampil beringas di awal dan sedikit hipokrit di penghujung cerita. Bunda Maria hadir dengan kesetiaan sejati seorang ibu. Tak ketinggalan peran Yohanes, murid termuda, yang berperan sentral pada hari Rabu Sepi dan khususnya Kamis Putih. Mereka inilah inner-circle yang berperan dominan.

Proses suci penyelamatan dosa manusia toh juga menyisakan sejumlah nama lain. Bukan nama besar dengan role utama, tentu saja. Mereka orang-orang biasa. Jarang disebut dan justru sebagian besar terlibat dalam tiga hari penting. Selintas terbersit pertanyaan sederhana: mengapa mereka ada di lingkaran kunci proses penebusan? Apakah cuma faktor kebetulan saja? Ataukah ada kekuatan tertentu yang mendorongnya? Kekuatan ilahi, mungkin saja.

Mereka, orang-orang biasa ini, pastinya tidak begitu saja dihadirkan. Pasti ada raison d’etre! Ada tujuan dan motivasi dari kehadiran mereka. Jika proses penyelamatan manusia ini dianggap bentuk kehadiran ilahi. Maka keberadaan ordinary people tersebut pastinya ada campur tangan Tuhan. Menyitir guyonan cerdas Einstein terkait penciptaan alam semesta, “God does not play dice with the universe”.

Setuju. Coba kita tinjau mereka. Yudas Iskariot, Maria Magdalena, Veronica, Simon Kirene, Yosef Arimatea dan Nicodemus. Yudas Iskariot, saat dipilih sebagai MuridNya, Yesus sudah tahu apa yang akan dilakukan Yudas. Termasuk dari kebiasaan judinya. Veronica adalah warga Yerusalem biasa. Bukan aktivis, apalagi muridnya. Empatinya atas penderitaan Yesus dilakukan secara ekstrem. Dia membasuh wajah Yesus yang penuh luka dan darah. Simon Kirene bahkan ‘figuran’ yang out of box. He was totally nobody!!! Tidak ada catatan sejarah terkait kehidupannya. Semua analisa dan studi keterlibatannya menggunakan landasan asumsi. Orang biasa yang kebetulan bersiborok di salah satu jalan arah Golgota. Tidak jelas juga apakah Simon rela atau justru bersungut-sungut saat memanggul salib. Yang pasti dia muncul dan membantu Yesus memanggul salib. 

Yosef Arimatea dan Nicodemus, mungkin sedikit anomali. Mereka berdua jelas bukan warga sembarangan. Dengan akses langsung ke Herodes Antifas dan mendapat lisensi penguburan jelas menunjukan hal tersebut. Keduanya dekat dengan Yesus. Nicodemus adalah sosok, yang menurut penulis Injil Yohanes, melakukan dialog iman yang hangat dengan Yesus pada suatu malam berbintang di sudut Yerusalem. Mereka berdua membereskan penguburan dan pembalseman tubuh Yesus saat semua pengikut Yesus tiarap. Dalam komunitas Yahudi, mereka memilih bunuh diri kelas untuk menyeberang dan menjadi pengikut Kristus.

Tapi, bagi saya, yang paling menakjubkan adalah Maria Magdalena. Nama wanita ini disebut sebanyak 12 kali di Injil. Masalahnya adalah Maria adalah personifikasi hal-hal negatif. Pendosa berat dan berkorelasi dengan hal-hal zinah, mesum dan kerap dianggap sebagai pelacur. Dalam konteks masa Kristus, posisi perempuan adalah nothing. Namun justru Maria adalah orang yang hadir di kaki salib dan di pemakaman Yesus. Dia orang pertama kali yang menjumpai kubur Yesus. Maria pada akhirnya adalah nobody yang pertama kali diajak Yesus berbicara sesudah kebangkitanNya. Amazing…Yesus bicara pertama kali dengan seorang pelacur!

Lantas apa yang bisa dipetik dari kehadiran orang-orang biasa ini? Kehadiran Allah selalu hadir dalam balutan misteri. Termasuk keputusan menghadirkan Ordinary People ini dalam prosesi penebusan manusia. Dan Tuhan juga tidak ‘melempar dadu’. Keputusan memilih Maria Magdalena sebagai manusia pertama yang berkomunikasi dengan Yesus sesudah kebangkitanNya, jelas memberi pesan jelas. Yudas Iskariot, Maria Magdalena, Veronica, Simon Kirene, Yosef Arimatea dan Nicodemus adalah refleksi tentang arti keberpihakan. Peran mereka adalah contoh jelas bagi kita. Siapa pun dapat terlibat dalam proses penyelamatan manusia. Tidak peduli siapa mereka.

Paskah 2018, adalah batu penjuru. Dalam konteks keIndonesaan, pesan tentang keterlibatan ini perlu dilantangkan. Saat bangunan sosial kita mulai keropos, digerus individualisme. Sementara struktur kesetiakawanan mulai bermetamorfosis menjadi permisivisme, tak acuh dengan sesama. Di kala ikatan tiap komunitas akar rumput diguncang oleh kepentingan ekonomi dan politik. Maka proses penyelamatan perlu dikedepankan demi masa depan Indonesia.

Untuk terlibat dan mewujudkan pembelaan atas nilai hakiki kemanusiaan, solidaritas, kesetaraan dan keadilan tidak melulu domain orang-orang pintar. Bukan lagi hak eksklusif para ahli, atau, dalam konteks kekinian, milik kaum berpunya. Lebih jauh lagi, hal-hal tersebut bebas bias gender. Pesan Paskah tahun ini harus ditarik dan mendobrak sekat maya yang menebal seiring proses digitalisasi masyarakat. Tembok tebal dalam “kita” yang membagi “saya dan liyan” harus dihilangkan. Dan itu yang harus diperjuangkan. Itu tugas penyelamatan kita. Tinggalkan gadget Anda dan terlibatlah secara nyata. Selamat Paskah 2018…   

 

Stefanus Felix Lamuri

Serpong Utara, 1 April 2018

Tulisan ini dipersembahkan untuk mereka, para Ordinary People di Indonesia yang berjuang untuk Extraordinary Tasks. 

Ikuti tulisan menarik Stefanus F Lamuri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler