x

Iklan

Nizwar Syafaat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

KLARIFIKASI PRESIDEN TENTANG ISU UTANG

Presiden sebelum Jokowi menciptakan utang tidak untuk membiayai APBN, tapi di era Jokowi sebaliknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada saat Presiden Jokowi menghadiri Konvensi Nasional Galang Kemajuan 2018, Jokowi mengklarifikasi tentang isu utang sebagai berikut: “Sejak saya dilantik utangnya sudah Rp 2700 T (trilliun), saya ngomong apa adanya.  Bunganya setiap tahun Rp 250 T.  Kalau 4 tahun sudah Rp 1000 T.  Ngerti nggak ini?”.  Tulisan ini merupakan  pelengkap atas klarifikasi Presiden di atas berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan dengan penjelasan sebagai berikut.

APBN defisit melalui utang merupakan kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah sejak era reformasi sampai sekarang.  Utang menumpuk konsekuensi dari kebijakan APBN defisit,  karena APBN defisit direncanakan untuk tidak membayar utang dan bunga dari pendapatan tapi dibayar dari utang.  APBN defisit dirancang KP (Keseimbangan Primer) lebih kecil dari nol (negatif/defisit), yaitu  pengeluaran lebih besar dari pendapatan diluar pembayaran bunga.  Beruntung sekali apabila dalam realisasi APBN, memperoleh KP positif yang berarti pengeluaran lebih kecil dari pendapatan,   sehingga bisa menutup pembayaran Bunga sebagian atau seluruhnya.

Pada tahun 2001 pemerintahan Megawati diwariskan utang oleh Gusdur sebesar Rp 1273.18 T, selanjutnya Megawati tahun 2004 mewariskan utang kepada SBY sebesar Rp 1299.50 T.  SBY pada tahun 2014 mewariskan utang Ke Jokowi sebesar Rp 2608.78 dan posisi utang awal 2017 sebesar Rp 3938.45, diperkirakan posisi utang akhir pemerintahan Jokowi 2019 sebesar lebih dari Rp 5000T. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

KP di era Megawati surplus Rp 45 T per tahun, era SBY tujuh tahun surplus dan tiga tahun terakhir defisit dengan rata-rata surplus Rp 0.7T per tahun, sedangkan era Jokowi tiga tahun terakhir defisit dengan rata-rata minus Rp 132T per tahun.  Rata-rata cicilan bunga di era Megawati Rp 76.6T per tahun, era SBY Rp 91.7T per tahun, sedangkan era Jokowi tiga tahun terakhir Rp 185.1T per tahun. 

KP di  era Megawati  surplus Rp 45 T per tahun, sedangkan cicilan Bunga Rp 76.6T, sehingga Megawati membuat utang baru sebesaar Rp 31.6T untuk membayar tambahan cicilan bunga. Di  era SBY KP surplus Rp 0.7 T per tahun, sedangkan cicilan bunga Rp 91.7T, sehingga SBY membuat utang baru sebesaar Rp 91T untuk membayar tambahan cicilan bunga. Di  era Jokowi  KP minus  Rp 132.4 T per tahun, sedangkan cicilan Bunga Rp 182.1T, sehingga Jokowi membuat utang baru sebesaar Rp 314.5T untuk membayar  cicilan bunga Rp 182.1T dan membiayai defisit pengeluaran Rp 132.4T.

Megawati menciptakan utang untuk membayar tambahan bunga dari warisan utang Presiden sebelumnya (maksudnya bisa Soeharto, Habibi bisa Gusdur) .  dan Megawati juga meringankan beban utang melalui pembayaran sebagian bunga dari pendapatan APBN yang berasal dari surplus KP.

Sama halnya seperti Megawati, SBY sampai tahun 2011 menciptakan utang untuk membayar tambahan bunga dari warisan utang Presiden sebelumnya,  dan SBY meringankan beban utang melalui pembayaran sebagian bunga dari pendapatan APBN yang berasal dari surplus KP sampai tahun 2011 sebesar Rp 271.71T.

Periode 2012 sd 2014, SBY menciptakan utang untuk membiayai tambahan pengeluaran APBN sebesar Rp 264.8 T dan cicilan bunga Rp 326.90.  Periode SBY sampai tahun 2011 mampu menciptakan KP surplus sebesar Rp 271.71T bisa menutup defisit KP periode 2012 sd 2014 sebesar Rp 264.8T.  Dengan demikian selama masa SBY sampai 2014 terjadi surplus KP sebesar Rp 0.7T.  Dengan kata lain, utang yang diciptakan SBY digunakan untuk membayar bunga utang warisan presiden sebelumnya, bukan untuk membiayai tambahan pengeluaran APBN-nya. Ini adalah nilai rata-rata selama 10 tahun SBY.   

Berbeda dengan Megawati dan SBY, Selama 3 tahun terakhir Jokowi menciptakan utang untuk membiayai tambahan pengeluaran APBN-nya sebesar Rp 397.2T dan cicilan bunga Rp 550.4.  Dengan demikian Jokowi memang membebani utang baru kepada generasi yang akan datang.

Semua Presiden era reformasi tidak pernah membayar cicilan pokok utang dari pendapatan APBN tapi dibayar dengan utang.  sehingga posisi pokok utang tidak mengalami perubahan dan diteruskan kepada penggantinya. 

Uraian di atas memberikan gambaran bahwa pemerintahan sebelum pemerintahan Jokowi tidak menggunakan  utang untuk tambahan pengeluaran APBN-nya, tidak  lebih besar pasak daripada tiang, kecuali pemerintahan SBY 3 tahun terakhir, itupun apabila nilai KP dijumlah selama 10 tahun pemerintah SBY masih surplus Rp 0.7T. 

Memang benar Jokowi diwariskan utang sebesar Rp 2600 T bukan Rp 2700 T dan bunganya Rp 185 T bukan Rp 250 T per tahun oleh pemerintahan sebelumnya dan sekaligus diwariskan juga asset negara senilai lebih dari Rp 5000 T ditambah lagi kekayaan BUMN pada tahun 2018 yang mencapai Rp 7200 T (mungkin sekitar 5000-6000 T nilai pada tahun 2014).  Utang diwariskan kepada Jokowi lebih kecil dari  25% dari total asset negara dan BUMN yang ditinggalkan kepada Jokowi. Dengan demikian pemerintahan sebelum Jokowi telah mewariskan kondisi negara dalam keadaan sehat.  Dan asset negara tersebut sedang direvaluasi untuk  dijadikan agunan untuk menciptakan utang kepada masyarakat dalam pemerintahan Jokowi.

 Pemerintahan Jokowi memang benar menciptakan utang untuk tambahan pengeluaran APBN-nya.  Namun nantinya Jokowi juga akan  mewariskan utang yang besar  dengan aset yang besar pula. 

Pro kontra tentang kebijakan APBN defisit yang ekspansif semata-mata karena tidak ada bukti yang kuat bahwa APBN defisit yang besar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, justru sebaliknya menyebabkan Ketimpangan ekonomi yang besar.  Kekayaan 40 orang terkaya tahun 2017 makin gendut mencapai  US$ 42.075 milliar menjadi US$ 119.720 milliar (Forbes, 2017) atau Rp 1. 616 T setara dengan penerimaan negara dalam APBN 2017 sebesar Rp 1.654 T;  Sepuluh persen  penduduk terkaya Indonesia menguasai 74.8% kekayaan nasional (Global Wealth Databook, Credit Suise, 2017. Bisa didownload di webnya).  Nilai MPI (Material Power Index) Indonesia sangat tinggi mencapai 584 ribu.  Singapore 46 ribu dan Malaysia 152 ribu (Hasil riset  Budimanta Direktur Eksekutif Megawati Institute seperti dimuat di merdeka.com, 3 Maret 2018). Nilai MPI  Indonesia sangat tinggi mencapai 584 ribu yang menunjukkan bahwa rata-rata nilai kekayaan 40 orang terkaya tersebut sebesar 585 ribu kali dibanding nilai rata-rata kekayaan masyarakat Indonesia. 

Dalam kondisi ketimpangan ekonomi yang menganga, defisit APBN yang terlalu ekspansif justru tidak menyelesaikan masalah ketimpangan ekonomi masyarakat. Contoh sederhana, pembangunan infrastruktur yang masif.  Jelas akan menyebabkan permintaan terhadap bahan-bahan bangunan seperti besi, semen dan bahan bangunan lainnya meningkat di luar kapasitas produksi dalam negeri, konsekuensinya impor.  Lalu siapa yang menikmati infrastruktur itu? Jelas kan!

Disarankan pemerintah untuk meninggalkan kebijakan APBN defisit agar utang tidak menunpuk pada generasi yang akan datang.  Tapi semua itu terpulang kepada keputusan Presiden.  Saya hanya menyajikan fakta dan analisis, mudah-mudahan menjadi masukan bagi pemerintah.

Ikuti tulisan menarik Nizwar Syafaat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan