x

Iklan

irma susanti irsyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tergelitik Karena Fisik

Mungkin tak semua orang pernah mengalami perundungan secara fisik. Namun saya yakin ada begitu banyak orang yang pernah diejek karena gemuk, jelek, item, b

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(terinspirasi dari foto musisi Anji di akun Instagramnya)

 

Mungkin tak semua orang pernah mengalami perundungan secara fisik. Namun saya yakin ada begitu banyak orang yang pernah diejek karena gemuk, jelek, item, botak, tonggos, ubanan dan lain sebagainya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di usia SMP, ketika wajarnya anak perempuan mulai mengalami perubahan fisik, saya termasuk yang tidak. Di saat teman-teman lain mulai memilih miniset (semacam bra) dan mulai bisik-bisik membicarakan menstruasi bulanan, saya bengong.

Maka, adegan ganti baju bersama teman-teman perempuan,  sebelum dan sesudah olahraga (dan pelajaran renang) adalah horor. Badan saya selurus papan; dilihat dari segi manapun tidak ada bagus-bagusnya.

Pernah di organisasi Paskibra yang sebentar saja saya ikuti, kami dibina oleh seorang kakak SMA. Layaknya anak-anak SMP yang masih haus perhatian, tentu banyak yang ingin diperhatikan oleh si Kakak.

Saya bukan termasuk yang dia perhatikan.

Mungkin saya terlalu berburuk sangka. Namun setelah beberapa kali pertanyaan saya tidak dijawab dan sapaan saya tidak diacuhkan, saya akhirnya mengambil kesimpulan, oke saya tidak cukup cantik untuk ia perhatikan.

Cantik dan tidak cantik, memang ada kelas tersendiri di tempat-tempat semacam sekolah. Suka atau tidak suka. Mau diakui atau tidak.

Gigi saya berantakan, sebagian  menjorok ke dalam, dua menjorok agak keluar, dan beberapa gingsul. Totally a mess. Sudah ga cantik, gigi berantakan, badan ga ada aduhai-aduhainya. HAHA.

Story of my life.

Di SMA, saya tak peduli lagi. Transisi perubahan hormon ke remaja sudah lewat dan saya terlalu gembira dan berbahagia mengikuti pelbagai organisasi untuk bisa mengeluhkan banyak hal. Saya anak SMA yang hepi-hepi dan senang berprestasi.

Yet, some things weren't changed.

Ada banyak kejadian yang lagi-lagi membuat saya tahu bahwa, “jika kamu cantik, orang cenderung akan lebih bersikap baik padamu.”

Saya tak pernah ambil pusing soal itu lagi sampai setelah saya menikah, punya anak dua dan bekerja. Dulu kantor suami punya asuransi yang bagus sehingga bisa cover banyak hal. Salah duanya adalah kacamata dan behel gigi. Gigi saya yang ga bisa baris itu, membuat saya sering sakit kepala. Rahang saya kecil, sementara gigi numpuk. Memanfaatkan asuransi tersebut, saya pakai behel tahun 2005. Di saat satu-satunya orang terkenal yang pake behel dan kacamata adalah Betty La Fea. Akibatnya, saya sering diperhatikan banyak orang ketika di tempat umum, atau bahkan ketika mengajar di sebuah sekolah swasta.

Lucunya, ada seorang rekan guru yang bersikeras, seharusnya saya tidak boleh pake behel. Sebab beliau berpendapat, behel itu sama seperti mengikir gigi atau mencukur alis, sesuatu yang berlebihan dan sebaiknya tidak dilakukan.

“Apalagi alasannya buat jadi cantik,”

Jleb.

Dia mungkin tak tahu rasanya sering sakit kepala (ini sudah dikonfirmasi oleh dokter gigi dan syaraf) gara-gara gigi. Mungkin juga dia tak paham rasanya ingin punya gigi yang rapi. Persoalan cantik dan tidak, itu mah bonus. Toh cantik tidak cantik itu masalah sudut pandang saja. Banyak orang yang giginya rapi, juga tidak serta merta dianggap cantik menurut persepsi umum.

Saya selalu dikenal sebagai orang yang cepat akrab, dan cerewet, dan tidak cantik. Haha. Ini bukan keluhan, sebab sekali lagi, masalah cantik itu mah bonus. Saya dari kecil tidak pernah bercita-cita akan menaklukan dunia dengan kecantikan. Saya selalu percaya modal besar seorang perempuan adalah kecerdasannya.

Pun begitu, bahkan dalam institusi pendidikan, atas nama candaan pun, masalah ini muncul. Dalam banyak joke-joke seksis yang menempatkan wanita sebagai objek, nama saya terkadang muncul sebagai pembanding.

Pembanding yang jeleknya, maksudnya.

Jika teman-teman lama saya membaca ini, mungkin mereka akan menyangka saya mendendam. Dendam sih tidak, hanya memang kita harus menyadari bahwa terkadang ucapan-ucapan yang selintas seperti “tak apa-apa” sebetulnya membekas lebih dalam ketimbang puisi 5 bait.

Tahun 2010, saya menemukan keajaiban berikutnya, bernama softlense.

Saya pertamakali berkacamata di usia 15 tahun, sudah lebih dari tiga dekade saya kemana-mana harus berkacamata demi menghindari salah masuk rumah orang atau kecebur di got. Minus terakhir sekarang adalah -6.

Setelah saya lepas behel dan mulai sering mengenakan softlens, penampilan saya jadi berubah. Teman-teman lama banyak yang tidak mengenali. Saya sendiri merasa lebih pede ketika tersenyum dan mata lebih bebas, karena kalau Anda tidak berkacamata, mungkin Anda takkan pernah tahu rasanya terkungkung dengan kacamata.

“Make softlens biar cantik yah!”

Pengen garuk tembok saya sebenernya. Tapi itu tak mungkin. Pertama saya bukan orang ga waras, yang kedua, itu kan hanya ungkapan. You think?

Akhirnya saya sering jawab dengan tertawa, “Ya iya lah!”

Percayalah, dalam hati mah miris.

Kalian yang matanya normal itu harusnya bersyukur. Tidak usah selalu bergantung pada kacamata. Tidak usah repot dengan kacamata yang berembun saat menyeduh minuman panas. Tidak usah ‘buta’ saat berenang.

Bahkan, puluhan tahun setelah insiden gigi berantakan, badan papan dan dianggap ga cantik, pun saya masih harus terhempas dengan realita. Betapa orang memang pada dasarnya hanya melihat di permukaan. Fisik dan fisik lagi.

Suami saya adalah orang gemuk. Perundungan yang ia terima lebih parah lagi. Rasanya setiap ketemu orang, hal pertama yang akan dikomentari adalah soal berat badan. Meskipun dengan alasan “perhatian” dan “ini masalah kesehatan loh”

Percayalah. Sebab sudah 18 tahun saya hidup dengannya, orang gemuk itu adalah spesies yang sangat menyadari kegemukannya. Tambahan, mereka mungkin sudah melakukan pelbagai cara untuk bisa menurunkan berat badan. Hanya, mereka ga pengumuman di timeline, atau broadcast di grup.

“Itu suami Bu Irma? Waah ga nyangka, sukanya model yang begitu.” Kata seorang guru perempuan yang kesehariannya mengajar anak-anak TK.

Lagi-lagi saya hanya bisa mendongkol dalam hati.

Tapi mau bagaimana lagi. Semua acara TV yang tidak jelas itu juga menampilkan laki-laki dan perempuan yang cakep dan cantik. Orang-orang gemuk dan ‘anomali’ lainnya hanya jadi objek penderita. Dicaci dan dimaki, meski dalam wujud candaan.

Sekali lagi, teman-temanku yang baik;  cantik biasanya membuat hidupmu lebih mudah.

Toh akui saja, ga ada yang peduli apakah si gemuk, atau si tonggos, atau si botak itu ternyata cerdas, bisa memimpin, berprestasi dan memiliki segudang kemampuan lainnya yang tidak ia pampang memakai banner.

Semua orang lebih suka berteman dengan yang cantik dan ganteng. Banyak guru yang suka dengan muridnya yang cantik. Banyak murid yang suka dengan gurunya yang enak dilihat. Ini bukan generalisasi, tentu saja. Namun demikianlah, hidup berputar setiap harinya.

Pun setelah saya menulis panjang lebar begini, belum tentu hukum alam otomatis berubah. Tak mengapa, namun toh saya sudah menyampaikan pesan. Berdasarkan pengalaman hidup sendiri. Bahwa fisik tidak melulu harus menjadi hal pertama yang kita pikirkan mengenai setiap orang. Ada begitu banyak hal lain yang bisa dikomentari selain wajah mulus dan pinggang ramping.

Dewasalah.

*seruput teh hangat

 

 

Ikuti tulisan menarik irma susanti irsyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB