x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berita Viral tidak Serta Merta Benar

Alasan-alasan emosional memang berperan penting dalam proses berbagi informasi di media sosial, dan ini berlaku juga untuk berita palsu, hoax, fake news.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebuah kabar atau berita disebut viral karena mudah menyebar bagaikan virus yang menciptakan epidemi. Orang yang semula tidak mengetahui sebuah berita jadi tertular ingin tahu ketika mendengar isu sayup-sayup: ada apa sih?

Berita tertentu akan dengan mudah viral. Antara lain karena isinya menyangkut figur tertentu: artis populer, pemegang jabatan publik, sosok yang mendadak jadi sorotan karena suatu peristiwa. Isu yang kontroversial, yang mengudang pro dan kontra, juga dengan mudah menyebar—disertai dengan beraneka bumbu yang membuat isu tersebut semakin pedas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begitu pula dengan berita yang isinya tidak terduga serta mengejutkan. Bahkan, berita yang isinya sesuai harapan sebagian orang juga bisa cepat viral, ini karena orang cenderung ingin memperoleh kabar yang memang ingin didengarnya. Kecondongan semacam ini termasuk yang sering dimanfaatkan oleh pembuat hoax sebab pembacanya begitu mudah percaya.

Alasan-alasan emosional memang berperan penting dalam proses berbagi informasi di media sosial, dan ini berlaku juga untuk berita palsu, hoax, fake news. “Kita mengonsumsi berita bukan hanya karena fakta-fakta yang ada di dalamnya,” kata Dr. Jens Binder, dosen psikologi di Nottingham Trent University, seperti dikutip sebuah media, “tapi juga untuk mengonfirmasi pemahaman kita mengenai hal-hal yang terjadi di luar sana.” Hanya karena membaca sebuah berita yang sesuai dengan apa yang ia pikirkan, seseorang dapat terstimulasi untuk segera menyimpulkan: “Nah, benar kan omongan saya.”

Maknanya, bias pribadi turut berpengaruh. Berita palsu yang emosional dan dramatis akan menarik lebih banyak perhatian siapapun. Kita mudah terperangkap oleh berita karena isinya sesuai dengan apa yang kita pikirkan, bayangkan, dan harapkan. Padahal, belum tentu berita itu memuat kebenaran.

Begitulah, berita viral belum tentu benar. Kabar yang disebarkan dari satu akun ke akun lain di media sosial belum tentu memuat kebenaran tentang apa yang sesungguhnya terjadi, kapan, di mana, dan bagaimana kejadiannya. Betapa banyak berita mengenai figur tertentu ternyata palsu (hoax) belaka atau berita mengenai peristiwa yang menghebohkan namun secara faktual tidak pernah terjadi. Sebagian berita memang menjadi viral secara alamiah, tapi sebagian lainnya menjadi viral karena rekayasa dengan bantuan algoritma program.

Tantangan besar yang disodorkan oleh berita viral ialah bahwa berita itu belum tentu benar, namun di sisi lain semakin viral sebuah berita, semakin berita itu diyakini benar. Seperti kata pepatah lama: “Kebohongan yang diulang-ulang akan menjelma jadi kebenaran.” Menjelma jadi = dianggap sebagai.

Kalaupun kemudian berita bohong itu dibantah, orang telanjur memercayai berita viral itu—sebagian orang tidak akan memercayai bantahan, sebagian lainnya mungkin tidak membaca berita bantahannya.

Mereka yang menciptakan hoax yang viral menyadari benar bahwa sekali kerusakan sudah terjadi, tidak mudah untuk meyakinkan banyak orang bahwa berita itu bohong belaka. Kecenderungan inilah yang dimanfaatkan oleh perekayasa berita hoax. Sering pula terjadi, orang membaca sebuah berita yang ternyata tidak benar namun ia tidak membaca berita bantahannya. Model pemberitaan di media online (apa lagi kabar yang bersliweran di media sosial) cenderung sepotong-sepotong, tidak memuat pernyataan/peristiwa tertentu beserta bantahannya dalam satu berita.

Banyak orang juga cenderung memercayai berita yang sesuai dengan apa yang ia ingin dengar. Manakala ia mendengar bahwa seorang tokoh tertangkap tangan menerima suap, ia akan serta merta menganggap berita itu benar tanpa memeriksanya terlebih dulu. Sebab, di dalam dirinya sudah ada keyakinan bahwa siapa sih politikus papan atas yang tidak korup?

Menarik apa yang diutarakan Nik Pollinger—seorang digital anthropologist dari University College London dengan spesialisasi mengenai hubungan manusia dan teknologi digital. Berdasarkan risetnya, ia menyimpulkan bahwa kebenaran obyektif menempati posisi sekunder di dalam dunia di mana informasi bertindak sebagai social currency. “Semakin sensasional cerita yang kita bagi kepada orang lain,” kata Nik, “semakin bernilai-sosial berita itu.” Ini berlaku khususnya di kalangan masyarakat yang menyukai rumor dan gosip, berita yang belum jelas kebenarannya. Di masyarakat yang tidak melengkapi diri dengan kemauan untuk memeriksa kebenaran sebuah kabar, kabar palsu akan menyebar cepat bagi virus menimbulkan epidemi.

Di tahun politik, mampukah kita menyaring berita-berita palsu? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu