x

Iklan

Deas Markustianto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memulihkan Diri Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Kolaborasi Keluarga & Masyarakat dalam Memulihkan Diri Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa tahun terakhir ini, deretan kasus pelanggaran terhadap anak terus terjadi dengan berbagai pola dan bentuknya. Hingga saat ini, perilaku kekerasan pada anak masih menjadi topik yang hangat dan penting untuk dipahami, karena secara de-facto kasus kekerasan pada anak mengalami peningkatan yang signifikan. Pelaku kekerasan terhadap anak juga beraneka-ragam, mulai dari teman sebaya (peer-groups), orang dewasa, keluarga terdekat, dan aparat penegak hukum.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Komite Nasional Perlindungan Anak tahun 2016, kasus kekerasan dan kejahatan yang dialami oleh anak bisa dilakukan oleh siapa saja, baik orang tua mereka sendiri, pemerintah, maupun oleh sesama teman sebaya. Jumlah kasus kekerasan terhadap anak pada kurun waktu dewasa ini mengalami peningkatan baik di tingkat pusat maupun daerah. Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap anak terus merangkak naik. Pada tahun 2007, Komnas PA mencatat 1.510 kasus. Setahun kemudian naik menjadi 1.826 kasus dan pada tahun 2009 menjadi 1.998 kasus. Sementara dari Januari hingga pekan ketiga September 2010--2016, data kekerasan anak yang berhasil dihimpun mencapai  kurang lebih 3.000 kasus.

Data di atas membuktikan bahwa masih kurangnya pemahaman orang tua mengenai pentingnya menyayangi dan mendidik anak dengan baik dan benar. Orang tua terkadang terlewat batas dalam menggunakan kekerasan untuk mendidik anak mereka. Kekerasan ini pada akhirnya berakhir pada penganiayaan bahkan lebih parah lagi sampai kepada kekerasan seksual.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pola asuh yang salah juga dapat mengakibatkan anak melakukan penyimpangan atau tindakan kriminal seperti pornografi, pencurian, tawuran, pemerkosaan bahkan pembunuhan. Hal-hal tersebut adalah beberapa sebab anak-anak sekarang tidak jarang berhadapan dengan hukum atau disebut Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). ABH disini, bukan hanya anak sebagai korban atau pelaku, namun saksi dalam perkara hukum.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2016 menerima 3.581 kasus pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak. Kasus tertinggi ABH mencapai 1.002 kasus, disusul kasus terkait keluarga dan pengasuhan alternatif 702 kasus, kejahatan anak berbasis siber (cyber crime) 414 kasus, selanjutnya kasus pelanggaran anak dalam pendidikan 328 kasus.

Terkait dengan permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) masih menunjukkan situasi dan kondisi yang masih memprihatinkan, salah satu contohnya dikarenakan terbatasnya rumah tahanan dan Lapas Anak serta pemenuhan hak-hak anak yang masih kurang dalam pemenjaraan. Walaupun seperti itu, pemerintah telah berupaya melalui beragam peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak serta aparat penegak hukumnya.

Namun fenomena yang terjadi belakangan ini, anak-anak yang terlepas dari jeratan atau berhadapan dengan hukum kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan yang optimal dibandingkan saat mereka berada di rumah tahanan atau Lapas Anak. Dengan kejadian tersebut, keluarga dan masyarakat perlu bekerjasama untuk memulihkan diri anak yang telah berhadapan hukum. Mengembalikan mental, semangat dan warna mereka serta mengajarkan banyak hal positif agar mereka segera melupakan permasalahan hukum yang seharusnya tidak mereka alami.

Orang tua dalam keluarga, mulai kembali mencurahkan kasih sayang kepada anak mereka yang telah berhadapan dengan hukum. Memberikan waktu lebih dengan mengajak liburan, belajar hal-hal baru yang menyenangkan seperti musik, game, olahraga, bisnis, kesenian/keterampilan, memasak dan lain-lain. Selanjutnya mulai melibatkan anak dalam membuat keputusan, mengajarkan untuk memilih hal yang baik dan benar dengan tetap adanya pengawasan, membuat anak untuk lebih mendalami ilmu agama, serta menjauhkan hal-hal yang akan membuat mereka trauma atau mengingatkan mereka tentang permasalahan yang telah mereka hadapi.

Kemudian masyarakat sekitar yang mengetahui kondisi anak yang telah berhadapan dengan hukum, dapat membuat mereka kembali merasa nyaman dan tidak merasa dikucilkan di lingkungan mereka. Tidak membahas atau menyinggung dirinya, mengajak anak untuk berpartisipasi dan berekspresi dalam kegiatan sosial, misalnya gotong-royong, pertunjukkan seni, pesta rakyat dan sebagainya. Di samping itu, masing-masing orang tua dalam masyarakat memerintahkan anak-anak mereka untuk tidak menjauhi dan tetap bermain bersama anak yang telah berkonflik dengan hukum. Jika memang anak tidak mengetahui salah satu teman mereka adalah ABH, maka lebih baik tidak perlu diberi tahu.

Terakhir, orang tua dan masyarakat dapat berkolaborasi lebih gencar lagi untuk mengantisipasi timbulnya ABH lain dengan dimulainya pendidikan yang baik dalam masing-masing keluarga, memasang himbauan-himbauan berupa poster/tanda positif yang dipasang di sekitar lingkungan masayarkat serta bekerjasama membuat kegiatan-kegiatan khusus buat anak-anak seperti pertunjukan anak, lomba kreasi, ibadah keagamaan dan seminar anak.

Ikuti tulisan menarik Deas Markustianto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler