x

Iklan

Muhammad Itsbatun Najih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Fenomena Sosial Bahasa Arab di Indonesia

Mewedarkan cara-cara penelitian bahasa arab; serta menelusuri keterkaitan aspek kebahasaan dengan fenomena sosial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selain kutu loncat, ada istilah baru untuk menyebut berpindahnya kader partai politik dari satu partai ke partai lain, yakni: hijrah. Ungkapan kutu loncat terbilang buruk dan berstigma negatif. Sementara hijrah berkesan mulia; sebagai laku agung. Hijrah sendiri memang berarti berpindah. Sebagaimana hikayat hijrah Nabi Muhammad Saw dari Mekkah menuju Madinah. Pemaknaan hijrah menghamparkan tujuan untuk lebih baik dibanding keadaan sebelumnya.

            Persoalannya, diksi hijrah beserta sandaran kemuliaannya --yang kini familiar di telinga masyarakat Indonesia—seperti dibelokkan dari kemurnian maknanya. Dengan memakai term hijrah, para politisi yang berpindah partai itu seakan-akan ia meninggalkan partai lama yang buruk lantas masuk ke partai yang baru yang konon jauh lebih baik. Hijrah juga sekadar disematkan untuk urusan simbolitas laku ketaatan beragama, semisal memakai hijab. Walhasil, hijrah disempitkan makna di mana idealnya hijrah adalah semacam perubahan ke arah kebaikan atas dinamika laku yang diupayakan secara kontinu. Penyempitan makna kata “hijrah” dalam konteks sosial di Indonesia justru mendegradasi kemuliaan arti hijrah sebagai term agama.

            Bertemalian pula penggunaan kata “jihad”. Mendengar jihad pada hari-hari ini menstigmakan imajinasi perihal ledakan bom beserta reruntuhan bangunan yang diakibatkan; plus gambaran wajah para pelakunya (teroris). Perkembangan pemaknaan jihad mengalami pembelokan sangat tajam. Padahal jihad merupakan kata netral yang berasosiasi pada totalitas berbuat kebaikan; apa pun itu. Sehingga mencari nafkah dengan bertani, berdagang di pasar, atau belajar tekun, kesemuanya merupakan bentuk jihad yang sememangnya bermakna luas dan positif. Dan, makin kacau balau manakala sebutan “teroris” secara perlahan terganti “jihadis”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Buku ini menyajikan seperangkat teknis penelitian bahasa Arab yang bisa diterapkan untuk mengurai fenomena sosial kebahasan. Kegiatan penelitian atau sekadar amatan kasar –untuk masyarakat umum—terbilang penting mengingat banyak sekali irisan antara bahasa Arab dan diktum agama. Rampung membaca buku ini, pembaca bisa mencoba meriset sederhana tentang istilah agama-Arab di KBBI. Terhadap kata “bidah”, misalkan. Pembaca bisa mengkritik tajam beserta ketidaksetujuan ketika bidah dalam KBBI bisa diartikan: kebohongan; dusta. Pemaknaan bidah tersebut rentan mengundang polemik karena dalam khazanah keislaman, artian bidah tidak seperti itu dan tidak sesederhana itu.

            Kelindan bahasa Arab dan bahasa Indonesia memiliki keunikan dan keunggulan. Apalagi bahasa Arab tidak bisa dilepaskan dari diktum keislaman. Karena itu, kegiatan mengindonesiakan (baca: penyerapan atau penggunaannya) term Arab/Islam mestilah proporsional dan kiranya menghasratkan kebaikan sesuai makna asal kata tesebut. Praktisnya, buku karangan dua pakar bahasa Arab ini bisa menyorongkan kepada pembaca untuk menganalisis fenomena panggilan “akhi-ukhti” –yang marak dewasa kini-- ketimbang “mas-mbak”. Buku ini berikhtiar mengajak masyarakat Indonesia agar mampu menempatkan term Arab dan term Islam sesuai kadar dan porsinya masing-masing sehingga bias membedakan mana budaya, mana ajaran agama.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Itsbatun Najih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu