Data buku:
Judul: Prosa dari Praha: Narasi Historis Masyarakat Konsumen Era Kapitalisme Global
Penulis: Nana Supriatna
Penerbit: Rosdakarya, Bandung
Cetakan: April, 2018
Tebal: 382 halaman
ISBN: 978-602-446-222-2
Buku ini berpijak dari renungan Nana Supriatna saat menjejak di Praha dalam suatu kunjungan akademis. Namun, bukan semacam catatan perjalanan. Melainkan iktibar untuk mengetahui lebih mendalam narasi konsumerisme masyarakat. Konsumerisme tidak bisa dilepaskan dari diktum kapitalistik; di mana melahirkan komunitas konsumen semenjak era modern hingga menemukan bentuk sempurna di era posmodern dan neoliberalisme seperti sekarang.
Praha menjadi menarik untuk dikisahkan lantaran menjadi tempat bagi berlangsungnya perubahan masyarakat konsumen dari era sosialis komunis, lantas beranjak ke rezim demokrasi liberal, dan kini sistem ekonomi pasar bebas --sebagaimana terjadi di hampir seluruh negara- sejak Velvet Revolution pad 1990. Supriatna yang juga pakar sejarah UPI ini, kemudian menggabungkan narasi Praha itu dengan jejak konsumerisme di Indonesia kala masa kolonialisme.
Supriatna enggan menyebut karyanya ini sebagai novel. Alih-alih bukan pula catatan perjalanan atau bentuk karangan ilmiah populer. Terdiri dari gabungan catatan ilmiah sembari terinspirasi dari “jalan-jalan” sewaktu di Praha yang dirangkainya dengan struktur penokohan fiktif, Supriatna lebih senang menyebut karya ini sebagai “prosa”. Gaya bertutur macam ini yang kiranya pula menjadi jalan baru dalam membawakan narasi ilmiah --yang kerap mengernyitkan dahi-- dengan tuturan asyik nan santai seperti kala berwisata.
Bagi Supriatna, jejak konsumerisme modern bermuasal dari Industrialisasi di Eropa. Sejak saat itu pula, seraya memunculkan daerah pemasaran, perluasan produksi, penanaman modal ke luar negeri; dan fenomena lanjutannya adalah bertumbuh ideologi kapitalisme dan masyarakat jajahan (hlm: 7). Satu sisi, Industrialisasi merupakan kemajuan pengetahuan. Namun, di sisi berikutnya, memunculkan permintaan (demand) tinggi yang bertemali dengan keharusan adanya sumber bahan baku melimpah sebagai syarat produksi.
Konsekuensinya, pembaca diajak untuk larut dalam sisi kelam bangsa sendiri; kolonialiasi Belanda di tanah air ini kian intensif mengeksploitasi sumber alam beserta sumber manusianya. Hegemoni kapitalisme-kolonialisme kian memancang. Bertumbuhlah masyarakat konsumerisme di Eropa dengan tersedianya barang-barang dan komoditas dari tanah jajahan. Sebaliknya, nasib buntung diterima masyarakat terjajah; menjadi objek eksploitasi guna memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen Eropa --yang miskin bahan baku produksi.
Kalaupun diupah rendah, masyarakat terjajah hakikatnya bekerja untuk kemajuan korporasi penjajah. Padahal, kemunculan industrialisasi idealnya menempatkan kepada perdagangan/kemitraan yang setara antara penyedia bahan baku dan pengolah. Dengan menggunakan kajian Postcolonial, buku ini mendedahkan narasi lanjutan bentuk-bentuk kolonialisasi di era sekarang dalam kemasan rokok, kopi, hingga prestis cantik-tampan. Eropa mengecualikan Praha, beserta Indonesia menjadi latar menarik buku ini untuk mengurai dinamika selama seabad lebih dalam penetrasi kolonialisme, sosialisme, hingga sama-sama memanut neoliberalisme.
Kini, masyarakat konsumen berada di titik kulminasi. Pemenuhan gaya hidup tersier menjadi pemenuhan primer. Kondisi ini lekas menjuruskan pada pemenuhan yang tidak mendasar. Berbelanja atas nama prestis sosial dan hasrat-keinginan, bukan lagi karena benar-benar butuh. Buku ini menyingkap permenungan bahwa kolonialisme-imprealisme selalu menemukan caranya untuk tetap eksis. Pemakaian barang dari olahan sawit hingga ganti-ganti ponsel pintar seperti yang kita lakukan, boleh jadi merupakan bentuk imprealisme gaya baru. Secara tidak sadar, kita turut memeras peluh keringat petani sawit dan pekerja tambang anak di Afrika.
Ikuti tulisan menarik Muhammad Itsbatun Najih lainnya di sini.