x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Al-Zahrawi, Perintis Jalan Kedokteran Bedah

Mengapa dunia Islam tidak lagi menghasilkan ahli bedaha setara Al-Zahr?w? dalam 1000 tahun terakhir?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Nama Ibn Sina sangat mashur berkat kontribusinya terhadap ilmu kedokteran. Karya utamanya, Al-Qanun fi at Tibb, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris menjadi The Canon of Medicine. Di samping Ibn Sina terdapat nama-nama lain sarjana Muslim yang ikut memberi sumbangan berharga bagi pengembangan ilmu kedokteran di masa awal, di antaranya Abu al-Qasim Khalaf ibn al-‘Abbas al-Zahrawi al-Ansari.

Al-Zahrawi mashur sebagai ahli bedah. Sebagai penghormatan atas kontribusi dan pencapaian Al-Zahrawi, kongres internasional ke-6 mengenai sejarah kedokteran warisan Muslim akan digelar dengan tema khusus: History of Surgery in Muslim Heritage. Kongres yang akan berlangsung di Fez, Maroko, awal Oktober nanti merupakan pengakuan dunia internasional bahwa kemajuan dunia kedokteran tidak akan mencapai tahapnya yang sekarang tanpa dedikasi dan kontribusi dokter-dokter Muslim di masa lampau.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dokter Muslim, misalnya, termasuk yang pertama membedakan antara cacar dan campak, serta mendiagnosis wabah, difteri, kusta, rabies, kista, diabetes, asam urat, dan hemofilia. Tatkala orang-orang Eropa masih percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh kerasukan setan, para dokter Muslim telah menemukan penjelasan ilmiah untuknya.

Para dokter Muslim juga menjadi pionir dalam melakukan amputasi dan katerisasi. Mereka menemukan sirkulasi darah, penggunaan usus hewan untuk jahitan, dan penggunaan alkohol sebagakei antiseptik. Inovasi Muslim lainnya termasuk instrumen bedah dan penyuling kaca, serta penggunaan sublimat korosif, arsenik, sulfat tembaga, sulfat besi, dan boraks dalam pengobatan penyakit.

Di tengah semua itu, Al-Zahrawi memberi sejumlah sumbangan penting. Ia merintis teknik-teknik pembedahan, merancang dan membuat alat-alat bedah, menulis sejumlah buku yang kemudian menjadi rujukan dan berpengaruh besar terhadap prosedur bedah orang-orang Eropa, serta mengembangkan prosedur perawatan pasien, termasuk cara dokter menjalin hubungan dengan pasien. Menurut Al-Zahrawi, pasien perlu dirawat di tempat yang dapat secara teratur dikunjungi oleh dokternya—inilah gagasan yang melatari rawat inap. Pasien dengan jenis penyakit berbeda ditempatkan di ruang-ruang yang berbeda.

Lahir dan menetap di Kordova, Andalusia (Spanyol sekarang) pada 936-1013 Masehi, di Eropa masa lampau Al-Zahrawi dikenal dengan nama Latin-nya, Abulcasis (dari nama panggilannya, Abu al-Qasim), walau terkadang juga disebut sebagai Zahravius. Ia dokter pertama yang mengidentifikasi sifat heriditer pada hemofilia serta dokter pertama yang memaparkan abdominal pregnancy (janin berkembang di luar rahim tapi tetap di dalam abdomen atau rongga perut).

Al-Zahrawi berkontribusi bukan hanya pada prosedur pembedahan, tapi juga pionir dalam bedah saraf dan diagnosis neurologis. Kesungguhan Al-Zahrawi dalam merintis dan mengembangkan ilmu kedokteran terlihat dari karya utamanya,  Kitab al-Tasrif, sebuah ensiklopedi praktik-praktik kedokteran yang mencapai 30 jilid. Karya yang merupakan himpunan pengetahuan, pengalaman, hasil latihan, perngajaran, maupun praktik sebagai dokter ini mencakaup beragam topik, termasuk kedokteran umum, ortopedi, oftamologi, farmakologi, nutrisi, kedokteran gigi, kelahiran, patologi, dan bedah. Menurut Al-Zahrawi, pembahasan mengenai bedah dilakukan di jilid terakhir mengingat bedah merupakan bentuk tertinggi kedokteran. “Siapapun seharusnya tidak melakukan pembedahan hingga ia memahami benar cabang-cabang lain kedokteran,” kata Al-Zahrawi.

Kitab al-Tasrif diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard dari Krim pada abad ke-12 dan segera menjadi mashur serta dijadikan kitab rujukan pendidikan maupun praktik kedokteran di Eropa, termasuk sekolah kedokteran terkemuka di Salerno dan Montpellier, Prancis. Di kalangan ahli bedah, karya ini tetap menjadi sumber primer di Eropa hingga 500 tahun. “Dalam hal bedah, karya Al-Zahrawi memiliki otoritas yang sama dengan karya Ibn Sina dalam kedokteran umum,” tulis sejarawan Arturo Castiglioni.

Kembali ke kongres yang akan berlangsung di Fez, Maroko, Oktober nanti, salah satu topik yang akan dibahas di forum panel ialah: “Mengapa dunia Islam tidak lagi menghasilkan Al-Zahrawi lain dalam 1000 tahun terakhir?” Prestasi yang diukir Al-Zahrawi memang membanggakan, tapi mengulanginya di masa sekarang merupakan tantangan yang tidak mudah dijawab. (Foto: Halaman buku karya Al-Zahrawi) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu