x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ibn Khaldun dan Relevansinya untuk Zaman Kita

Salah satu aspek menarik dalam cara Ibn Khaldun membangun teorinya ialah aktivitasnya dalam melakukan observasi lapangan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Harian The New York Times pada Oktober 1981 menurunkan berita yang barangkali terdengar aneh: “Presiden (Ronald) Reagan, dalam konferensi persnya kemarin, mengutip sarjana Islam abad ke-14 sebagai eksponen awal teori ekonomi ‘sisi-penawaran’ yang menjadi basis banyak kebijakan pemerintahannya. Seorang otoritas mengenai sarjana ini mengatakan bahwa rujukan itu tampaknya akurat.”

Otoritas yang ditanya jurnalis koran New York itu tidak lain Franz Rosenthal, guru besar di Yale University, sedangkan sarjana Islam abad ke-14 yang dikutip Reagan adalah Ibn Khaldun, yang melahirkan buku Muqaddimah. Teori sisi-penawaran menyebutkan bahwa pengurangan tingkat pajak akan menstimulasi ekonomi dan kemudian akan mendatangan pendapatan pajak yang lebih besar. Rosenthal menerjemahkan dan memperkenalkan karya-karya Ibn Khaldun kepada khalayak Barat pada paruh kedua abad ke-20.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meskipun sebagian sarjana Barat mengecilkan kontribusi Ibn Khaldun terhadap ilmu-ilmu sosial, nama figur kelahiran Tunisia pada 1332 M ini populer hingga kini. Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, memasukkan Muqaddimah sebagai salah satu buku yang ia pilih untuk dibaca pada 2016. Muqaddimah dinilai oleh sejarawan Arnold Toynbee sebagai “tak diragukan lagi merupakan karya terbesar dari jenisnya yang pernah diciptakan oleh pikiran manusia di masa kapanpun dan di tempat manapun.”

Ibn Khaldun terdorong untuk menulis sejarah dan kehidupan masyarakat karena banyak buku sejarah (pada masa itu) disusun sebagai catatan peristiwa semata. Bagi Ibn Khaldun, masyarakat dan sejarahnya harus dipelajari sebagai sesuatu yang dinamis, berubah, dan perubahan itu dapat berasal dari dalam maupun luar. Pengetahuan sejarah, kata Ibn Khaldun, bersifat dinamis dan analitis, bukan statis dan linier sebagaimana dipahami oleh sebagian sejarawan (masa itu).

Dalam bukunya, Islam Under Siege: Living Dangerously in a Post-Honor World, Akbar S. Ahmed membandingkan Ibn Khaldun dengan sejumlah pemikir modern. Sebagian pemikiran utama zaman modern, menurut Ahmed, terefleksi dalam teori-teori Ibn Khaldun. Ahmed mencontohkan: fase-fase sejarah manusia ala Karl Marx, yang menunjukkan dinamika dialektika konflik antarkelas; tipologi kepemimpinan Max Weber; sirkulasi para elite Vilfredo Pareto; dan teori ayunan pendulum masyarakat Islam Ernest Gellner bahwa tradisi literal, formal, dan urban bergerak ke tradisi mistik, informal, dan pedesaan.

Bahkan, menurut Ahmed, sebenarnya, konsep ‘solidaritas mekanik’ dan ‘solidaritas organik’ Emile Durkheim, kata Ahmed, merefleksikan konsep ‘ashabiyyah Ibn Khaldun. Konsep ‘ashabiyyah merupakan inti pandangan Khaldunian tentang masyarakat yang merujuk kepada ikatan kohesi antarmanusia dalam kelompok—suku, klan, atau nasionalisme dalam konteks modern.

Ikatan ini ada pada tingkat manapun peradaban, mulai dari masyarakat nomad hingga negara dan kekaisaran. Menurut Ibn Khaldun, ‘asabiyyah paling kuat dijumpai pada fase nomad, dan cenderung menurun seiring dengan kemajuan peradaban. Begitu ‘asabiyyah ini menurun, sejenis ‘asabiyyah lain yang lebih kuat akan mengambil alih perannya. Maka, peradaban bangkit dan jatuh, dan sejarah menggambarkan bagaimana siklus ‘asabiyyah ini berperan. Dalam menjelaskan teori solidaritasnya, Durkheim menunjukkan bagaimana ambruknya solidaritas akan melahirkan perilaku abnormal. Sedangkan Ibn Khaldun menyatakan, dengan ambruknya ‘ashabiyyah, masyarakat tidak lagi dapat memenuhi kehendak Tuhan untuk membangun peradaban manusia.

Salah satu aspek menarik dalam cara Ibn Khaldun membangun teorinya ialah aktivitasnya dalam melakukan observasi lapangan. Ibn Khaldun Ibn Khaldun bukanlah sejenis sarjana yang steril dari persoalan masyarakat. Ia punya karir yang berwarna: pernah dipenjara, terlibat pertempuran, dan pengelana ke berbagai tempat (antara lain Granada dan Pedro) dan mengamati masyarakatnya, serta pernah menemui Tamerlen sang penakluk dunia. Ibn Khaldun melakukan penelitian dan hidup di tengah masyarakat Arab, Berber, Turki, dan Mongol. Ia mengumpulkan data yang kaya dan mendasari pemahamannya tentang kebudayaan atau masyarakat (‘ilm al-umran).

Meskipun Ahmed menyebutkan bahwa pemikiran orang-orang Barat, seperti Marx, Weber, Pareto, maupun Durkheim, terefleksikan dalam Muqaddimah, namun Ibn Khaldun berbeda dari mereka. “Ibn Khaldun menulis seluruh objektivitas ‘ilmiah’nya dalam kapasitas sebagai orang beriman,” tulis Ahmed sebagaimana kutipan ini:

“Umat manusia,” tulis Ibn Khaldun, “membutuhkan organisasi sosial. Tanpa organisasi sosial, eksistensi manusia tidaklah lengkap, dan kehendak Allah untuk mengisi dunia dengan manusia dan mengamanahinya sebagai wakil-Nya tidak akan terwujud. Inilah makna peradaban, objek dari ilmu sosial.” Maka, tatanan sosial merefleksikan tatanan moral, tatanan sosial akan ambruk jika masyarakat tidak dapat mengatasi krisis moral. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB