Bahasa yang Merendahkan Manusia

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Di ranah maya, perdebatan sering berlangsung tidak rasional, melainkan emosional dan personal.

Ranah internet bagaikan panggung terbuka yang sebagian orang merasa bebas--bahkan mungkin sebebas-bebasnya--untuk mengekspresikan responnnya terhadap suatu peristiwa, berita, maupun pendapat orang lain. Jika kita sempat membaca komentar-komentar yang muncul di situs-situs media pemberitaan yang dikelola para jurnalis profesional sekalipun, tidak sukar untuk mendapati ekspresi seperti ini:

"Nj***rrr" tampangnya c***ng banget!"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Orang ini harus segera di***pas," atau

"Mukanya aja 1/2 ma***g, apalagi o**knya."

Berita yang dengan cepat berganti mungkin saja berpengaruh kepada pembacanya dalam merespons. Seakan tidak mau tertinggal, mereka bersikap serba cepat, menulis komentar tanpa berpikir panjang terlebih dulu. Kecepatan dianggap unsur yang sangat penting, jika bukan yang paling penting, dalam kompetisi penyampaiann berita. 

Respons pembaca pun mengikuti kecenderungan seperti itu. Di media sosial, netizen berlomba-lomba untuk cepat-cepat berbagi kabar ataupun me-retweet cuitan tertentu. Juga tanpa berpikir panjang. Begitu merasa bahwa kabar itu 'masuk' ke dalam bingkai pikiran mereka, sesegera itu pula kabar tersebut disebarluaskan tanpa terlebih dulu memeriksa kebenaran ataupun ketidakbenarannya.

Spontanitas agaknya cenderung meningkat dan bahkan tampak menonjol seperti terlihat dari komentar yang serba ringkas serta kesalahan ketik yang kerap terjadi, yang menandai ketergesa-gesaan. Pilihan kata-kata maupun simbol-simbol ekspresi (tanda seru, tanda tanya berganda, atau huruf kapital semua, serta emoticon menertawakan atau mengejek) yang digunakan memperlihatkan begitu mudahnya seseorang memandang rendah manusia lain.

Semakin mudah dijumpai pemakaian bahasa dalam komentar-komentar itu yang cenderung 'tidak memanusiakan' orang lain--baik orang yang menjadi subyek pemberitaan maupun orang lain yang memberi komentar dan tanggapan yang tidak sesuai dengan pikirannya. Kata-kata sarkastik kian lazim jadi pilihan.

Kata-kata seperti 'g***ok' dan 't***l' berseliweran seakan sudah dianggap lumrah. Sering terjadi, perdebatan tidak lagi rasional dan tidak berpusat pada pertukaran gagasan, melainkan cenderung emosional dan personal. Ada nuansa kepuasan pada komentar-komentar yang memojokkan subyek pemberitaan maupun komentator lain yang berbeda pandangannya.

Tidak mudah bagi pembaca untuk memastikan siapa orang yang menuliskan ekspresi itu. Banyak netizen yang bersembunyi di balik nama-nama akun yang boleh jadi buka nama sebenarnya. Nama akun yang berbeda dari nama asli menjadi tempat persembunyian yang (sejauh ini) dianggap aman--pembaca awam tidak akan mau menyibukkan diri menelisik apakah ini akun topeng atau asli. Kita juga tidak mudah untuk mengetahui apakah seseorang memang berperingai buruk seperti itu ataukah ia memang berniat memanaskan dan memperkeruh suasana.

Pengguna bahasa yang cenderung men-dehumanisasi (merendahkan martabat kemanusiaan orang lain), menurut riset, cenderung berikap toleran terhadap agresi, mereka cenderung langsung menyerang perbedaan pandangan tanpa perlu mengajukan argumentasi. Sebuah studi menyebutkan bahwa pesan-pesan yang men-dehumanisasi mampu memengaruhi cara kita berpikir tentang orang lain dan bagaimana kita bersikap atau memerlakukan orang tersebut.

Bagaimana hal itu terjadi? Menurut studi ini, ketika kita memandang rendah orang lain--melalui ekspresi bahasa yang tidak memanusiakan orang tersebut--maka aktivitas di medial prefrontal cortex akan berkurang. Padahal, bagian otak ini bertanggung jawab atas proses-proses sosial, seperti bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain, termasuk berkomunikasi, bersikap, maupun mengutarakan pendapat.

Menurunnya aktivitas di wilayah otak ini memperlihatkan bahwa proses-proses sosial yang manusiawi tidak berlangsung dalam intensitas tinggi, bahkan menurun. Ketika kita mengatakan o**k u****g kepada orang yang berbeda pandangan, aktivitas pertukaran sinyal saraf di bagian otak tersebut cenderung menurun. Orang-orang yang mudah merendahkan martabat orang lain melalui ekspresi bahasa juga punya kecenderungan menganggap perundungan (bullying) sebagai praktik yang lumrah. Mereka juga merasa lebih tahu, lebih pintar, dan lebih berkuasa.

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler