Jum’at, 28 September 2018 menjadi hari yang tak bisa dilupakan. Kita semua tahu bahkan dunia pun menyaksikan betapa hebatnya goncangan itu terjadi. Teriakan, tangisan, rintihan doa menggema di udara. Betapa tidak, bangunan yang megah kini goyah, jalan yang indah menjadi patah. Indonesia menangis, gempa disusul tsunami memporak porandakan Palu dan Donggala.
Kota yang semula tertata rapi kini menjadi segumpalan puing puing yang bertebaran. Tidak butuh waktu 1 jam, dalam hitungan menit semua itu terjadi. Fasilitas umum, rumah ibadah, jembatan, jalan, tidak lagi berdiri kokoh. Tak ada lagi ketenangan, tak ada lagi kenyamanan. Masyarakat berjuang menyelamatkan diri dan keluarga nya.
Itu lah musibah, kita tidak bisa memprediksi kapan terjadinya. Pagi hari kita masih tersenyum menyambut mentari, dengan segudang harapan di hati, siang masih bisa tertawa dengan rekan kerja, teman, dan orang orang di sekitar, namun di sore hari tak bisa dipungkiri, terkadang semua itu lenyap. Tak ada satu pun dari kita yang menginginkan nya namun ketika itu muncul mau tak mau kita harus kuat menghadapinya.
Menangis, pasti, sedih apa lagi. Siapa yang tak berduka ketika orang yang disayang pergi utk selama lamanya, rumah yang selama ini menjadi tempat untuk berteduh sekarang rata dengan tanah, kendaraan yang menjadi sarana untuk mobilisasi kini hanyut terbawa oleh arus air yang deras. Tapi sampai kapan tangisan itu??Memang berat tetapi kita harus bangkit. Saatnya kesabaran diuji.
Kita mengenal setidaknya tiga kemaknaan terhadap musibah. Musibah itu bisa menjadi :
- Ujian
- Teguran
- Azab
Musibah bisa jadi adalah sebuah ujian dari Allah. Allah ingin menguji kadar ketaatan dan ketakwaan kita. Dalam keadaan normal kita rajin beribadah, Allah ingin Tahu bagaimana kita ketika menghadapi musibah, apakah kita masih mampu bertahan untuk melaksanakan ibadah sebagaimana sebelumnya. Ini sebagai salah satu tangga untuk menjadi insan yang akan naik kelas ketika kita mampu untuk melaluinya dengan penuh keikhlasan.
Musibah bisa bermakna sebagai teguran. Kita yang awalnya rajin berbuat kebaikan, kok belakangan ini udah meninggalkan itu semua? Sedekah yang dulu rutin, sekarang rada nggak pernah lagi. Allah ingin mengingatkan kita bahwa kita semakin menjauh dari Nya. Allah tidak ingin kita lalai. Allah menyapa “HambaKu, kembalilah ke ketaatan”
Musibah bisa sebagai azab atas ketidakpatuhan kita menjalani perintah Nya. Buat orang yang tak pernah menghadap-Nya, melakukan hal yang dilarang oleh Allah. Kita berdoa semoga dijauhkan dari murka-Nya dan selalu dilindungi Allah.
Kita punya kesempatan untuk intropeksi diri. Jangan-jangan masih ada kekhilafan yang sering kita perbuat. Jadikan masalah dan musibah sebagai momentum untuk kembali. Saatnya Kembali berbuat kebaikan, kembali menjadi hamba yang taat. Setiap peristiwa tak ada yang sia-sia, ada hikmah dibalik itu semua.
Oleh : Riska Yolanda
CPNS di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Ikuti tulisan menarik Riska Yolanda lainnya di sini.