x

Iklan

Ahmad Muzakki Jamain

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Santun dan Anggunlah Mengambil Kekuasaan

Mengambil kekuasaan dengan gaya politik nafsu tamak, loba pujian, yang buruk untuk orang lain, yang baik hanya untuk diri dan golongan sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Kekuasaan bukan tujuan akhir, kekuasaan adalah alat atau instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan, memajukan kehidupan bangsa. Kekuasaan dicapai dengan cara-cara yang benar, cara-cara etik, cara-cara yang mulia. Harus halal”.

Bagian ucapan seorang anak bangsa yang memimpin negara Indonesia menjadi Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke-6. Lewat Partai Demokrat ia tetap berperan dan terlibat aktif memberikan solusi mengungari keruhnya kita berdemokrasi bebas minus toleransi.

Pembakaran bendara bertuliskan kalimat tauhid. Pada perayaan hari santri. Adalah kebebasan bablas. Berbagai argumentasi hadir berjibun. Maka penyelesaiannya ada pada ranah penegakan hukum. Dengan mempertimbangkan pendapat ‘alim ulama. Ketegasan Polri dan panduan sikap presiden Jokowi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Marah bercampur sedih. Sesama muslim lupa belajar saling mengenal. Menelan mentah-mentah banyak hal. Betapa malu melihat kita muslim dengan bahagia tertawa saling mengumbar caci dan maki.

Apakah wajah teduh muslim yang sering dibasuh air wudhu, kening yang diletakkan di tempat sujud. Lidah yang berzikir dan membaca alQuran dan Hadist. Mendengar nasehat para ulama, belajar berpuluh tahun dengan guru.

Hancur karna persoalan sering mengkonsumsi propoganda Islamaphobia di media sosial, mempercayai pemberitaan tanpa analisa. Dimana letak insan yang tercipta dengan bawaan kelembutan, apakah ia telah mati dan hidup dalam tubuh manusia.

Berfikir dan merenung dan mempertimbangkan untuk mematikan televisi dan tidak melihat angkara murka dibalik wajah-wajah tak teduh. Menutup sementara media sosial yang menggerus dengan caci maki. Mematikan internet sampai pemilu bulan april 2017. Hanya menggunakan komunikasi suara dan SMS.

Bertumpuknya berbagai kata nun jauh dari kesantunan seorang Muslim, kesantunan orang terpelajar, kesantunan orang Indonesia, kesantunan ‘yang diapungkan’ sebagai elite di negeri Indonesia yang masih rumpun melayu.

Dalam timeline Facebook, diskusi grub wa, sampai dengan artikel dan tulisan demi tulisan. Semua seakan seperti air comberan yang berbau busuk. Caci maki seperti status sosial naik dan kebanggaan. Fitnah seperti makanan dianggap sehat dan dibagikan dengan senang hati. Akun bertopeng muncul seperti cendawan tumbuh.

Kita telah banyak kehilangan panutan berbahasa santun, kita kekurangan pelaku berargumentasi anggun. Mengambil kekuasaan dengan gaya politik nafsu tamak, loba pujian, yang buruk untuk orang lain, yang baik hanya untuk diri dan golongan sendiri.

Teringat apa yang pernah diungkap oleh Mohammad Natsir “Kerjakan yang Allah senangi, maka Allah akan wujudkan yang anda senangi, binalah umat niscara umat membinamu, tak usah dipikirkan yang tidak mungkin, kerjakan mana yang bisa, mulai dengan apa yang ada, karena yang ada itu sudah cukup untuk memulai.”

Bila pun ada, hanya mendapatkan tempat di sudut pemberitaan, tidak menjadi lirikan dari berbagai media. Keruh tidak menjernihkan. Kusut tidak menyelesaikan. Seperti ungkapan Buya Hamka “Iman tanpa ilmu bagaikan lentera di tangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan pencuri”

Malah sebaliknya dengan senang hati, menjadi bagian dari yang memperkeruh yang mulai jernih. Memperkusut yang mulai terjalin rapi. Sesal kemudian penghukum diri.

Teringat petuah orang tua, lidah itu tak bertulang nak, namun ia mampu menghancurkan suatu bangsa. Menjukirbalikkan kebaikan menjadi keburukan. Mengganti kejahatan menjadi kebaikan.  

Demokrasi mensyaratkan toleransi, toleransi kultural, bukan toleransi dadakan dan toleransi belum lama, dari kita dan mereka yang meniti karier sebagai tokoh, terutama politisi yang saat ini menjadi aktor yang berebut kekuasaan.

“Jangan sampai mengaku mengerti demokrasi, tetapi tidak mengerti aturan main yang ada dalam konstitusi”. SBY

Ikuti tulisan menarik Ahmad Muzakki Jamain lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB