x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengingkari Hati Nurani

Dalam proses menuju hari pemilihan dan ketika saat itu tiba, banyak orang akan mengingkari suara hati nuraninya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hitungan hari menuju waktu pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif terus berkurang. Semakin mendekati hari-H, semakin banyak orang yang gelisah. Tidur semakin malam. Waktu tidur kian berkurang. Tekanan darah naik. Mereka dihantui pertanyaan: bisakah saya menang, bisakah kelompok saya menang, dan jika tidak menang lantas bagaimana?

Dalam pekan-pekan dan hari-hari menyongsong pemilihan itu, berlangsung proses-proses politik yang akan sangat menentukan nasib mereka: lobi, persuasi, kunjungan, hinggat menyusun siasat dilakukan. Partai politik dan individu calon-calon legislatif niscaya sangat sibuk mengamankan posisi masing-masing, mengerahkan segala daya upaya dan dana, serta melobi kanan kiri sebagai ikhtiar agar bisa melaju ke Senayan. Meskipun satu koalisi dalam mendukung capres tertentu, masing-masing partai punya kepentingan untuk menempatkan sebanyak-banyaknya wakil masing-masing di DPR.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di luar para pemain politik yang tengah berkompetisi itu terdapat warga negara yang betul-betul hanya beperan sebagai pemilih. Suara mereka diperebutkan. Karena itu, bukan tidak mungkin bujuk rayu dilancarkan agar suara mereka tidak diberikan kepada orang/partai lain. Sebagian warga atau organisasi dengan senang hati menyatakan dukungan kepada salah satu capres—tentu saja, yang didukung adalah capres yang mereka asumsikan atau mereka kalkulasi bakal kecil kemungkinannya untuk kalah dalam kontestasi. Mereka berusaha memperkecil risiko hingga tingkat minimum dengan mendukung capres yang mereka anggap bakal menang. Tak heran bila ada banyak orang yang sikapnya terbolak-balik dalam waktu singkat.

Ada pula warga yang terlibat dalam kesibukan proses-proses politik, seperti juru kampanye, anggota KPU dan Bawaslu, relawan capres dan calon legislatif, pengurus partai, dan banyak lagi. Belum lagi tukang sablon kaos, pembuat spanduk, bendera, dan baliho. Ada pula konsultan politik, lembaga survei, jurnalis—mereka orang-orang yang merasa punya kecerdikan untuk memengaruhi pemilihan.

Jelaslah, pileg dan pilpres 2019 merupakan perhelatan besar, tak heran bila orang bertaruh habis-habisan karena menganggap pilpres segala-galanya. Perang kata-kata terus terjadi. Masing-masing menanti kubu lawan terpeleset dalam berbicara ataupun bertindak sehingga tersedia amunisi untuk ditembakkan. Pertempuran antar-buzzer berlangsung di banyak medan. Semuanya berusaha meyakinkan masyarakat pemilih bahwa merekalah yang benar.

Semakin mendekati hari-H, cuaca politik akan cenderung semakin hangat, bahkan mungkin panas. Akan semakin banyak orang yang berteriak, sesekali menyerang orang lain, kali lain berkata lantang untuk menyatakan bahwa dirinya benar. Saat inipun, arena politik telah berubah menjadi ajang pertarungan opini—upaya meyakinkan orang lain bahwa pendapatnya tentang sesuatu itu benar. Ketika diucapkan berulang kali, opini ini kemudian dianggap ‘lebih benar’ ketimbang fakta obyektif. Masyarakat berpotensi akan termanipulasi karena kemudian menganggap bahwa opini itulah yang faktual.

Pada akhirnya, ketika hari-H semakin dekat, semakin banyak orang yang terpaksa atau memang memilih untuk melawan suara nuraninya sendiri. Banyak alasan mengapa hal itu terjadi. Entah karena terpaksa akibat tekanan politik-hukum-ekonomi, lantaran pertimbangan pragmatis untuk mengambil keuntungan, atau alasan yang lain apa saja. Sayangnya, alasan yang betul-betul orisinal (yang keluar dari lubuk hati, dan bukan yang terpaksa diucapkan untuk konsumsi publik) hanya diketahui oleh hati nurani masing-masing orang. Ketika ia berulang kali mengatakan hal yang sama di depan umum, ini tidak ubahnya ia sedang meyakinkan dirinya sendiri berulang-ulang bahwa perkataannya benar.

Dalam proses menuju hari pemilihan dan ketika saat itu tiba, banyak orang akan mengingkari suara hati nuraninya—mengucapkan dan melakukan tindakan yang lubuk hatinya sesungguhnya menolak. Entah sadar atau tidak. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler