x

Iklan

Yugha Erlangga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Karena Punah Bukan Hanya Narasi Prabowo

Apa yang terjadi pada dinosaurus, Yahudi Eropa, dan suku-suku di Rwanda adalah bukti, bahwa kepunahan adalah kodrat bagi sesuatu yang fana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

PUNAH
Jika penyebab utama kepunahan dinosaurus disebabkan oleh sebuah meteor berukuran 15 kilometer yang menghujam bumi pada 65 juta tahun yang lalu itu, maka kepunahan manusia dilakukan dengan sederhana namun mematikan: kebencian. Rasa benci itu bisa membuahkan banyak hal: rasisme, genosida, hingga diaspora. 
 
Rasisme adalah gagasan jahat yang terus diperangi oleh dunia hingga hari ini, baik di lapangan olahraga, fasilitas publik, sampai ruang-ruang kelas. Lapangan olahraga, contohnya. Ruang yang kompetitif itu tak jarang menjadi inspirasi perlawanan terhadap diskriminasi pada warna kulit. Hanya di ruang pertandingan, mereka yang berbeda warna kulit bisa saling bekerja sama, hantam, sekaligus merayakan keberhasilan bersama.
 
Genosida menjadi contoh betapa kepunahan manusia bisa dilakukan secara masif dan terencana. Itulah yang dilakukan oleh Adolf Hitler dan NAZI-nya. Seperti kita tahu, Perang Dunia II adalah ajang pembersihan kaum Yahudi di Eropa oleh Hitler. Peristiwa yang sama terjadi antara suku Tutsi dan suku Hutu di Rwanda pada 1994.  Meski sama-sama berkulit hitam, rekam jejak gesekan yang panjang menyebabkan konflik antara Tutsi dan Hutu bagaikan bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.  Ledakan itu terjadi pada sebanyak 800ribu suku Tutsi oleh suku Hutu dalam jangka waktu 100 hari, antara di mana sebanyak 800ribu suku Tutsi oleh suku Hutu dalam jangka waktu 100 hari pada 7 April-Juli 1994. 
 
Apa yang terjadi pada dinosaurus, Yahudi Eropa, dan suku-suku di Rwanda adalah bukti, bahwa kepunahan adalah kodrat bagi sesuatu yang fana.
Tak ada yang abadi selain kepunahan itu sendiri. Tak peduli sedemikian ekspansifnya Kekaisaran Romawi, hingga nama itu termaktub dalam Alquran. Pada akhirnya, kekaisaran itu pun hanya tinggal sejarah. Tak peduli seberapa agungnya Majapahit dengan kehebatan duet Raja Hayam Wuruk dan Mahapati Gajah Mada, rongrongan dari dalam jua yang membuatnya porak-peranda hingga dengan mudah digilas Demak, kekuatan baru dari utara Jawa. Tak peduli setangguh apa Kekhalifahan Utsmani tegak setelah Sultan Muhammad II menaklukkan Konstantinopel, namun intrik dan pemerintahan yang lemah membuat Mustafa Kemal Ataturk kian populer dengan gagasan sekulerismenya. Tak peduli sedemikian keras pekik Revolusi Bolshevik 1922 hingga mendirikan Uni Soviet yang membentang seluas seperenam daratan bumi. Negeri itu pun runtuh akibat pekik Glasnost dan Perestroika oleh Mikhail Gorbachev pada 1985. 
 
Tak peduli seberapa patriotiknya para serdadu di masa revolusi bersenjata. Tak peduli seberapa hebatnya Bapak Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan negeri ini. Sesungguhnya kepunahan itu akan terjadi jika kita saling bermusuhan dan menghalalkan praktik curang seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kepunahan bukan karena satu-dua tokoh yang gagal berkuasa. Kepunahan terjadi, seperti kata sejarawan Will Durant, “A Great Civilization is not conquered from without until it has destroyed itself from within.” Jika ada tokoh seperti Prabowo yang berteriak dan menganggap Indonesia bisa punah, tanpa keterpilihan dirinya, itu sama saja dengan menganggap betapa kerdilnya bangsanya.

 

Ikuti tulisan menarik Yugha Erlangga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB