x

Iklan

Bung Saja

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jelang Pilpres 2019: Menyoal Politik dan Kemanusiaan

Politic and Humanity

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun politik, memang selalu membuat kita cukup ‘greget’. Entah greget karena bersemangat rayakan pesta demokrasi, atau greget karena jengkel terhadap kampanye yang penuh kekonyolan. Yang pasti, saban tahun politik, pikiran kita seakan diajak hanya untuk memikirkan pihak mana yang akan menang dalam pemilihan umum nanti. Elektabilitas paslon mana yang turun, dan mana yang melambung. Segala timeline di medsos, atau berita di koran-koran cetak serta online, mayoritas dijejali dengan berbagai informasi dari masing-masing calon. Belum lagi ditambah dengan survei-survei terkini yang menyajikan hasil perhitungan soal elektabilitas masing-masing paslon (walaupun kevalidannya masih sangat perlu dipertanyakan).

Kondisi seperti inilah yang saat ini kita rasakan sebagai masyarakat Indonesia. April nanti, kita akan melangsungkan pesta demokrasi berupa pemilihan umum Presiden Republik Indonesia. Pemilu yang dilakukan saban lima tahun sekali. Semua media, baik elektronik maupun non-elektronik, sibuk membahas serba-serbi Pilpres 2019: survei, tafsir, data dan semua hal yang sekiranya diperlukan untuk membuktikan bahwa salah satu dari masing-masing paslon pantas untuk memimpin kita, rakyat Indonesia.

Juga tidak jarang, hal-hal yang penulis sebut diatas, digunakan tidak hanya untuk memperlihatkan bahwa salah satu paslon pantas menjadi pemimpin, bahkan sering kali juga digunakan untuk menghujat, mencaci, melecehkan serta merendahkan pihak lain yang bersebrangan. Dan pemandangan semacam ini, kita lihat di negara tercinta ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inilah yang menjadi keresahan penulis. Sehingga dalam tulisan ini, penulis mencoba menelaah, apakah setiap pertentangan yang terjadi, yang dikonsumsi otak kita sehari-hari melalui media televisi, koran, internet, berita, serta dari berbagai sumber lainnya, pantas terjadi? Apakah sebetulnya yang mereka – yang biasa dipanggil timses itu bela? Bahkan tidak jarang dari yang awalnya saling bela, sampai akhirnya saling lapor-melaporkan? Apakah yang sebetulnya mereka bela mati-matian?

 

Kemanusiaan sebagai Pijakan Berpolitik

 

Memang tidak bisa dipungkiri, dalam sebuah negara demokrasi, perbedaan itu sifatnya mutlak. Pertentangan dalam sebuah negara demokrasi, adalah hal yang lumrah. Bahkan, keberadaanya itu wajib. Bukan demokrasi namanya, jika hanya menaungi satu ‘kubu’ (baca: ideologi, partai, pemikiran, dll). Tetapi juga harus diingat, setiap pertentangan atau perbedaan ini dimaksudkan untuk mencari ideologi atau pemikiran mana yang lebih baik untuk diaplikasikan di dalam negara tersebut. Jadi, kalau pun ada perbedaan, maka setiap perbedaan ini dibela, atas nama kemanusian. Dalam konteks inilah penulis melihat ada semacam penyimpangan yang terjadi di dalam republik ini.

Kita sering melihat, mulai dari kampanye sampai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan saat sudah menjabat, belum betul-betul berorientasi untuk menegakkan kemanusiaan. Malah cenderung terkesan lebih menekankan kepentingan. Dan tentu bukan kepentingan orang banyak (masyarakat, rakyat). Melainkan kepentingan pribadi serta kelompok guna mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan dan kekuasaan.

Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Rakyat sejatinya sudah melihat bagaimana orientasi politik para elit kita yang agaknya tidak serius dalam menangani persoalan kemanusiaan ini. Untuk menunjukkan salah satu fakta, kita cukup memusatkan perhatian kita pada sebuah aksi yang dilakukan sejak 18 Januari 2007 lalu. Aksi Kamisan, namanya. Sudah 12 tahun aksi itu dilakukan saban hari Kamis, tetapi masih banyak kasus yang belum terungkap dan belum menemukan titik terang. Mulai dari kasus Munir, Wiji Tukul, sampai yang terbaru yaitu Novel, masih juga belum menemukan keterangan yang pasti.

Kasus lain seperti undang-undang MD3 yang seakan membuat elit kita kebal kritik, atau praktik korupsi dari seluruh sektor, dari KTP sampai olahraga sepakbola, mekanisme pasar yang jelas-jelas rakyatlah yang paling dirugikan, adalah seabrek fenomena yang membuat kita tidak hanya pesimis, tetapi sudah mencapai fase antipati terhadap politik dan pemerintah. Dan inilah yang harus kita benahi bersama-sama.

 

Reinterpretasi Tujuan Politik

 

Agaknya, banyak dari para politikus kita yang lupa bahwa politik sejatinya hanyalah sebuah alat. Tujuan akhirnya bukanlah sebuah kemenangan saat pemilu, tetapi, apakah kemenangan ini dapat menghantarkan paslon terpilih untuk menegakkan kemanusiaan setegak-tegaknya. Inilah yang harus kita jadikan tolak ukur kesuksesan pemerintahan dari mulai dia terpilih dengan memenangakan pemilu, sampai nanti akhir jabatannya.

Dengan melihat persoalan ini, maka penting bagi kita untuk menafsirkan ulang bahwa politik sejatinya alat untuk menegakkan kemanusiaan. Menang atau kalah dalam pemilu, sejatinya tidak pantas dan memang bukan tolak ukur untuk saling membela atau mencaci. Karena tujuan yang hendak dicapai bukan itu. Aksi saling tuding bahkan saling lapor itu sejatinya pertentangan semu yang sejatinya tidak ada maknanya selain buang-buang tenaga. Tetapi toh yang kita jumpai di negara ini adalah fenomena semacam itu.

Seharusnya, jika mereka setia pada apa yang mereka utarakan saat mereka kampanye, yaitu apa yang mereka lakukan adalah, katanya, demi rakyat, maka segala bentuk cacian dan cercaan yang cenderung menjatuhkan daripada mengingatkan itu, tentu sama sekali tidak dibutuhkan. Toh mereka sama-sama rakyat Indonesia. Apalagi jika kita mengingat efek yang terjadi di tataran grassroot, banyak dari masyarakat kita yang terbawa pada ‘gesekan’ yang terjadi sehingga tidak jarang mereka saling bermusuhan, bahkan saling adu jotos.

Maka yang penting dilakukan adalah reinterpretasi terhadap goal politik. Bahwa politik menuntut adanya perselisihan, tentu semua kita sepakat. Tetapi, jangan sampai kita lupa bahwa setiap perselisihan ini terjadi hanya semata-mata demi satu tujuan. Yaitu seperti yang termaktub dalam UUD 1945 bahwa, tujuan kita bernegara, tujuan kita berpolitik adalah untuk mensejahterakan kehidupan bangsa. Dan inilah yang sepertinnya banyak dilupakan oleh elit politik kita. (Bung)

Ikuti tulisan menarik Bung Saja lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan