x

Iklan

Yuliana Dina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Defisit Demokrasi Lahirkan Persekusi dan Kriminalisasi

Pemerintah mesti jadi solusi. Jangan gampang melabelkan intoleran, anti-kebhinnekaan, radikal pada kalangan manapun

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya ingat sekali, LBH Jakarta menyebut tahun 2015 sebagai tahun kriminalisasi. Pasalnya, banyak upaya kriminalisasi yang dilakukan penegak hukum, utamanya kepolisian. D‎alam catatan LBH Jakarta, tahun 2015 terdapat 49 orang yang dikriminalisasi. Angka itu tercatat sejak Budi Gunawan jadi tersangka. Banyak aktivis antikorupsi, komisioner KPK, dan komisioner KY yang dikriminalisasi.

Secara umum, sejak November 2014 hingga Oktober 2015, LBH Jakarta menerima 1.322 pengaduan pelanggaran HAM. Rinciannya, 1.142 pengaduan individu dan 180 sisanya dari kelompok. Dari pengaduan itu, total korban yang tercatat mencapai 56.451 orang. Angka ini merupakan yang tertinggi selama lima tahun terakhir. Artinya, pada era pemerintahan SBY hiruk-pikuk penegakan HAM tidak pernah sekacau di era awal pemerintahan Jokowi.

Lantas, bagaimana kondisi hari ini? Agaknya belum membaik. Pemerintah terkesan gagal memberi keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara. Buktinya muncul banyak kasus persekusi dan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh yang dinilai kerap mengkritik pemerintah. Bahkan peringkat kerusakannya sudah naik. Pada level hari ini, aparat penegak hukum cenderung tebang pilih dalam menangani kasus. Kasus-kasus terkait kalangan oposisi lebih lambat dan sulit tuntas alih-alih kasus-kasus yang dilakukan para pendukung penguasan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kita ambil contoh kasus persekusi yang dialami Neno Warisman, atau pelarangan kegiatan Ustadz Abdul Somad hingga Rocky Gerung. Bahkan kasus ancaman pembunuhan terhadap Fadli Zon, Fahira Idris, yang dilakukan oleh seorang netizen raib tak jelas. Padahal, orangnya jelas, dan identitasnya jelas.

Perlu dipahami persekusi dan kriminalisasi ini lahir dari penolakan atas perbedaan. Segala daya dan upaya dilakukan untuk memerangi perbedaan. Akibat defisit demokrasi. Maka menjadi wajar bila The Economist Intelligence Units merilis Indeks Demokrasi Indonesia anjlok drastis peringkat ke-48 menjadi ke-68 pada tahun 2017. Indonesia bahkan berada di bawah Timor Leste yang di peringkat 43 dalam skala global.

Menjadi wajar bila publik lantas berkaca pada masa lalu, pada keadilan dan demokrasi era pemerintahan SBY.  Memang tidak sempurna, tapi saat Demokrat menjadi the rulling party, demokrasi kita semakin matang dan berkualitas. Ketika itu stabilitas politik relatif terjaga. Kalaupun ada riak dan dinamika, hal itu bisa diterima sebab merupakan bagian dari demokrasi dan kebebasan itu sendiri.

Pada era itu pemerintah hadir sebagai solusi. Pemerintah tak mudah melontarkan tudingan intoleran, anti-kebhinnekaan, ataupun label radikal pada kalangan manapun. Apalagi melakukan pemidanaan terhadap kalangan yang berbeda pandangan. Selama tidak berkenaan dengan pelanggaran hukum berat, upaya mediasi dan saling mengingatkan lebih dimajukan. Spirit ini yang tergerus pada pemerintah hari ini. Spirit ini pula yang perlu dihidup-hidupkan kembali jika ingin Indonesia tidak terus panas, tidak terus gonjang-ganjing, sehingga kita terhambat untuk melanjutkan pembangunan nasional.

Saya pikir warisan-warisan yang telah ditorehkan SBY dan Demokrat ini layak dijadikan satu landasan bagi publik untuk memilih Demokrat pada Pileg 17 April mendatang.

Ikuti tulisan menarik Yuliana Dina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler