x

Iklan

Budi Hatees

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kita dan Hidup yang Serbaberbayar

Hidup selalu berihitung, untung atau rugi. Zaman melahirkan manusia seperti itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Laki-laki ini anggota legislatif di Kota Padang Sidempuan, Sumatra Utara. Satu dari 30 anggota DPRD Kota Padang Sidempuan. Dia berasal dari partai politik yang bukan kelas gurem.

Nasibnya termasuk bagus. Sudah suratan takdirnya, dia lahir dari keluarga kaya raya. Di kota kecil yang serbatanggung ini, tak layak lagi disebut desa tetapi tak pantas disebut kota, orang bisa dengan mudah disebut kaya.  Yang penting, rumahnya mentereng, meskipun gizinya tak memadai. Gizin bukan standar sejahtera di Kota Padang Sidempuan.

Karena reformasi,  daerah ini menjadi daerah otonomi. Dia pun mendapat keuntungan. Orang tuanya mendorongnya jadi anggota legislatif, dan dia berhasil meskipun nyaris tak pernah berbuat apa-apa. Orang tuanya, pedagang yang tajir, berdagang suara untuknya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya mengenal dia sejak lama. Seperti juga terhadap banyak orang, saya menyukainya. Di legislatif, dia bukan orang yang dominan. Suaranya nyaris tak pernah didengar. Dia hanya ikut arus.

Saya pernah melihatnya di luar gedung ketika legislatif menggelar rapat. Saat itu saya ajak dia mengopi sambil ngobrol. Dia bilang malas ikut rapat, sudah dikemas hasilnya lebih dahulu oleh para elite. Dia bilang, sebelum rapat, legislatif dan eksekutif sudah bertemu di jejering media. Mereka membuka rapat, dan mengambil keputusan. Katanya, rapat hanya formalitas. 

Dia tak suka rapat. "Apalagi kalau rapatnya tak ada honor," katanya.

Saya tertawa sambil mengejeknya. "Kau pasti wakil rakyat dari golongan pencari honor.Tak ada honor, tak ada rapat. Bagaimana kalau ada persoalan penting yang butuh panitia khusus, pasti kau akan menolak katena tak ada honornya."

Dia tertawa. Makanya, kata dia, selama llima tahun, DPRD Kota Padang Sidempuan tak memproduksi banyak peraturan daerah. Memang, tahun pertama, DPRD Kota Padang Sidempuan memproduksi banyak peraturan daerah--meskipun perturan daerah itu banyak yang salah kaprah dan akhirnya dihapus pemerintah pusat.  Tapi, pada tahun pertama saja mereka menggebu. Selebihnya, semua sibuk mengurusi isi kantong masing-masing.

"Termasuk kau," kataku, "lalu untuk apa kau masih mencalon?"

Saat ini, dia memang kembali mencalonkan diri jadi anggota legislatif. 

"Prestise," katanya. "Orang menghormatiku kalau aku anggota legislatif. Hukum berpikir dua kali untuk menghadapiku, dan pelayanan publik memprioritaskan aku. Kampus mau memberiku ijazah sarjana meski tak pernah kuliah."

"Apalah untungnya hidup seperti itu," kataku.

"Zaman yang membuat manusia harus seperti itu."

"Hidup selalu berbalas," kataku, "suatu saat kau punya kepentingan mendesak, dan orang akan berhitung dengan dirimu soal bayaran."

"Sudah terjadi." Dia tertawa. "Setiap kali aku kampanye, orang akan mendengar kalau aku keluarkan uang. Orang bertanya berapa aku sanggup bayar."

"Kau membayarnya?"

"Ya, pristise itu mahal."

Aku tersenyum. Rasanya menyesal mengenal dia. Tapi, nasi sudah jadi bubur. Tapi, ternyata pula, nyaris semua orang seperti dia. Semua orang berhitung apa untung bagi dirinya. Apapun profesinya, keuntungan pribadi akan menjadi prioritas. Orang menganggap, memikirkan orang lain itu sesat pikir karena orang lain pun akan memikirkan dirinya sendiri. Semua cara dilakukan.

"Menghadapi zaman seperti ini," katanya, "kau tak perlu terlalu ribet." Dia menasehatiku. 

Aku terhenyak. Aku bilang padamu, di zaman sekarang, usahakan jangan ambil bagian memilih manusia aneh jadi wakilmu di legislatif. Kalau kau pikir Pemilu itu efektif, kau pilihlah orang terbaik. Jangan pula kau berhitung, karena hidup selalu berulang.

 

Ikuti tulisan menarik Budi Hatees lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler