x

Danau Toba

Iklan

Budi Hatees

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 1 Oktober 2023 09:25 WIB

Danau Toba Setelah Mendapat Teguran Unesco

Teks Foto: Geopark Danau Toba, Sumatera Utara, mendapatkan kartu kuning dari UNESCO.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beberapa hari setelah Unesco memberi "kartu kuning" kepada pengelola Geopark Danau Toba, aku berkeliling ke Toba Caldera Unesco Global Geopark (TCUGGp) Provinsi Sumatera Utara itu. Berangkat 25 September 2023 dari rumahku di Kota Padang Sidimpuan yang berada sekitar 130 km dari Danau Toba, aku sengaja menempuh jalur dari Sipirok di Kabupaten Tapanuli Selatan menuju Pangaribuan di Kabupaten Tapanuli Utara. 

Pilihan jalur perjalanan ini bukan tanpa alasan. Bagi aku,  Kartu Kuning dari Unesco salah satu pukulan sekaligus peringatan kepada para pengelola Danau Toba, yang kurang memahamkan posisi Danau Toba sebagai salah satu sentral sejarah peradaban masyarakat di Provinsi Sumatra Utara. 

Ketidakpahaman itu membuat pengelola Danau Toba menafsirkan, bahwa Danau Toba hanya milik kabupaten/kota yang ada di sekitarnya, yakni kabupaten/kota hasil pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara (Kabupaten Tapanili Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, dan lain sebagainya).  Sementara kabupaten/kota hasil pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan (Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padanglawas. Kabupaten Padanglawas Utara, dan Kota Padang Sidimpuan), ditafsirkan sebagai kabupaten/kota yang tidak ada kaitannya dengan Danau Toba.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pasalnya, segala dinamika dalam mengembangkan Danau Toba sebagai Proyek Strategis Pariwisata Nasional yang dicanangkan Presiden Joko Widodo beberapa tahun lalu, dalam rencana strategisnya tidak melibatkan eksistensi kabupaten/kota di wilayah Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel) atau wilayah regional Sumbagsel (Sumatra Utara bagian Selatan).  

Padahal,  sejak pertama kali Danau Toba ditetapkan  sebagai ikon pariwisata Sumatra Utara, yaitu pada masa Gubernur Raja Inal Siregar dengan program Marsipature Huta Na Be (Martabe) pada dekade 1980-an, Danau Toba diinternalisasikan sebagai milik bersama seluruh warga Provinsi Sumatra Utara. Sebagai milik bersama, tentu saja rencana strategi pengembangan Danau Toba yang kini memberi peran besar dan luar biasa terhadap Otoritas Danau Toba, mesti mengaitkan dengan peran dan keterlibatan seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah di Provinsi Sumatra utara, terutama kabupaten/kota di Tabgsel.  

Ternyata tidak, dan akibatnyaUnesco memberi katu kuning lantaran banyak faktor, termasuk minimnya aktivitas di sekitar Danau Toba, yang menyebabkan pariwisata di wilayah itu tetap belum bisa mendorong pengembangan kesejahteraan masyarakat.  Minimnya aktivitas kepariwisataan, salah satu disebabkan komunikasi yang dibangun pengelola Danau Toba, seakan-akan Danau Toba hanya milik kabupaten/kota di sekitarnya. Tidak ada komunikasi antarkabupaten/kota, atau semacam konsursium kabupaten/kota untuk bersama-sama membangun Danau Toba, dan hal ini lebih didorong oleh kurangnya pemahaman terhadap sejarah Danau toba sebagai sentral peradaban manusia di masa lalu.

Aku menafsirkan hal yang berbeda  dan akan aku buktikan bahwa Danau Toba bukan hanya milik mereka yang tinggal di sekitar Danau Toba, tetapi juga milik masyarakat yang tinggal di Tabagsel. salah satu buktinya adalah jalur migrasi manusia dari wilayah Utara ke Selatan pada masa lampau, terutama jalur migrasi leluhur masyarakat adat Batak bermarga Siregar yang kampung halamannya ada di Muara, tepi Danau Toba. 

Dalam buku riwayat leluhur Toga Siregar yang disusun ahli warisnya, Ompu Gorga Torsana Siregar, pada tahun 1974, dijelaskan bahwa Toga Siregar, anak bungsu dari sembilan anak Si Raja Lotung yang tinggal di Muara, migrasi ke Selatan melalui jalur  Pangaribuan. Kelak, anak keturunan dari Toga Siregar ini yang menurunkan masyarakat marga Siregar di wilayah Selatan atau sekarang jadi regional  Sumbagsel (Sumatra Utara bagian Selatan).  

Toga Siregar lahir di pinggir Danau Toba, tepatnya di Muara Siregar, dan hari ini di tempat itu berdiri tugu Toga Siregar yang dibangun oleh masyarakat marga Siregar keturunan Toga Siregar yang tinggal di wilayah Tabagsel. Aku ingat betul ketika pengurus  PATOGAR (Parsadaan Toga Siregar Dohot Anak Boruna/Perkumpulan Toga Siregar), memutuskan membangun Tugu Toga Siregar di Muara Siregar dengan biaya sendiri, hasil urunan seluruh anggota PATOGAR.  Tugu Toga Siregar kini jadi tempat kunjungan wisata yang ramai di Muara Siregar, salah satu objek pendukung pengembangan Danau Toba, dan para pengunjungnya (baik untuk berziarah), adalah keturunan Toga Siregar yang berasal dari Tabagsel atau Sumatra Utara bagian Selatan (Sumbagsel). Ini membuktikan bahwa masyarakat di bekas Kabupaten Tapanuli Selatan yang terletak 160 km dari Danau Toba,  punya peran signifikan untuk ikut memajukan Danau Toba. 
 

Pangaribuan, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara, berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Selatan. Pangaribuan ini merupakan perkampungan yang dibangun masyarakat marga Pakpahan, namun sebagian besar penduduknya bermarga Pakpahan, Siregar, Hutapea, Sipahurat, dan lain sebagainya. Secara kultur, masyarakat ini beradat Batak Toba. 

Aku singgah di Desa Pakpahan, tepatnya di terminal Pangaribuan, setelah empat jam perjalanan dari Sipirok. Perhatianku tersita pemandangan berupa hamparan haminjon (kemenyan) yang sedang dijemur di pinggir jalan. Haminjon merupakan komoditas hasil hutan, memiliki sejarah panjang sebagai penopang perekonomian masyarakat sejak era perdagangan kamper atau kapur barus. 


Daerah Pangaribuan merupakan salah satu sentra produksi haminjon dengan para petani tradisional yang mewarisi hutan haminjon secara turun-temurun. Mereka berusaha tani sembari menjaga kelestarian ekologi,   menjalani ritual-ritual leluhur sebelum dan sesudah memanen haminjon. Belakangan, kebun (hutan) haminjon yang berada di areal tanah ulayat milik masyarakat adat di Pangaribuan, mulai diserahkan hak pengelolaannya berupa hak konsesi oleh pemerintah kepada para penanam modal. Dengan alasan pertumbuhan ekonomi nasional, hak-hak masyarakat adat diambil alih pemerintah sehingga hutan-hutan haminjon perlahan-lahan ditebangi.


Sekitar sejam istirahat di Pangaribuan, perjalanan aku lanjutkan ke Sipahutar. Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara ini terkenal sebagai sentra produksi nenas, ditandai dengan keberadaan berhektar-hektar kebun nenas di sepanjang jalan lintas Pangaribuan-Sipahutar-Siborong-borong. Tapi aku tak singgah membeli nenas karena ingin mengejar waktu sampai di Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan. Meskipun begitu, mataku tidak henti menikmati pemandangan pedagang nenas di sepanjang ruas jalan. 


Selang beberapa menit, aku tiba di Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara, lalu bergerak ke perempatan jalan menuju Dolok Sanggul di Kabupaten Humbang Hasundutan. Berhenti sebentar di Tugu Ombus-ombus, membeli ombus-ombus, kuliner khas Siborong-borong. Ombus-ombus adalah makan tradisional dari tepung beras dicampur gula dan dimasak dengan cara dikukus, lebih enak jika dinikmati saat masihy hangat sambil ditiup-tiup atau di-ombus-ombus. Di siborong-borong makanan tradisional masyarakat ini dijual dengan cara tradisional, dijajakan seseorang sambil berkeliling menggunakan sepeda, sama persis seperti Tugu Ombus-Ombun yang menjadi ikon Kota Siborong-borong.

Tak jauh dari Kota Siborong-borong, berjalan ke arah Kota Medan, ada Bandara Udara Silangit. Tapi aku tidak bergerak ke arah sana melainkan ke arah sebaliknya, menuju Dolok Sanngggul. Jalur ini merupakan jalur alternatif menuju Danau Toba. Jika selama ini orang yang datang dari arah Selatan menuju Danau Toba akan melewati Balige, maka aku memilih jalur dari Dolok Sanggul. Jalur alternatif ini jarang dilalui wisatawan meskipun kondisi jalannya sangat bagus dengan lebar 12 meter dan dipenuhi rambu lalu-lintas.  

Jalur Dolok Sanggul--Danau Toba ini sengaja aku pilih agar bisa melewati jembatan penghubung ke Pulau Samosir. Jembatan yang dibangun di Pangururan ini membuat siapa saja yang tak suka menyeberang dengan kapal feri, tetap bisa sampai ke Pulau Samosir.  Infrastruktur ini berdiri sejak Danau Toba ditetapkan sebagai bagian dari program superprioritas pengembangan pariwisata nasional, salah satu proyek fisik yang dikelola oleh Otorita Danau Toba bekerja sama dengan Kementerian PUPR.

Arus lalu-lintas di jalur Siborong-borong-Dolok Sanggul sangat lancar. Kalau mengendarai kendaraan sendiri, bisa memacu kendaraan dengan kecepatan 60 km/jam sampai 100 km/jam. Tapi, dengan kecepatan seperti itu, sulit menikmati pemandangan sepanjang jalan.  Rawa-rawa atau tanah gambut yang dulu berupa hutan, kini berubah bentuk menjadi areal pertanian. Sekali-sekali akan bertemu petani sedang panen sayur-mayur, sekali-sekali akan bertemu kebun kopi, terutama di Desa Lintongnihuta. Aku pikir kopi-kopi inilah yang menghasilkan komoditas kopi Lintong, salah satu komoditas kopi yang selama 10 tahun terakhir telah naik daun sebagai komoditas ekspor. 

Dalam hitungan jam, aku akhirnya sampai ke Dolok Sanggul. Kota ini merupakan pusat Kabupaten Humbang Hasundutan, sebuah kota yang terletak di titik pertemuan jalur Barus-Danau Toba-Siborong-borong. Jalur ini menghubungkan Kabupaten Humbang Hasundutan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kota Sib ulussalam (Aceh). Sebagai sentral, Dolok Sanggul memiliki destinasi wisata yang  berlimpah. Bukan hanya menyajikan pesona Danau Toba dari sisi lain, tetapi juga Istana Raja Sisingamangaraja dan objek air terjun. 

Singgah sebentar di Dolok Sanggul menikmati kuliner daging kuda, masakan khas masyarakat. Daging kuda yang direndang memang sedikit alot, tapi nikmatnya tak kalah dengan rendang daging lembu atau daging kerbau. Selesai makan, melanjutkan perjalanan menuju Simpang Tiga Tele, melewati jalur Dolok Sanggul-Sidikalang. Hanya hitungan dua jam, akhirnya tiba di Simpang Tiga Tele, lalu membelok ke arah Harianboho. Melewati bukit-bukit yang ditumbuhi hutan pinus dan menyajikan pemandangan Danau Toba,  sekali-sekali aku berhenti di pinggir jalan untuk memotret Danau Toba. 

Tepat di Simpang Gonting Viewpoint,  aku beristirahat namun keasyikanku terganggu oleh kawanan monyet ekor panjang yang datang merubuk. Puluhan monyet ekor panjang bagai menuntut diberikan oleh-oleh, satu hal yang tidak aku persiapkan. Aku pilih cepat-cepat pergi, melanjutkan perjalanan menuju Harianboho.

Jalan menurun, agak ramai, banyak kendaraan lalu-lalang. Aku bergerak perlahan sambil menikmati udara pegunungan yang mengeluarkan nafas hutan pinus. Dingin mulai terasa. Kendaraan bergerak lebih lambat, hari telah memasuki pukul 17.00 Wib. Tak ada senja karena langit gelap oleh kabut. 


Ketika hari meremang, aku sampai di jembatan Pangururan menuju Pulau Samosir. Perjalanan panjang terasa tuntas, tapi aku masih akan bercerita tentang pengalaman selama di Pulau Samosir. 

Ikuti tulisan menarik Budi Hatees lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler