Judul: Langit Pecinan
Penulis: Bambang Iss Wirya
Tahun Terbit: 2018
Penerbit: Gigih Pustaka Mandiri
Tebal: 149
ISBN: 978-602-1220-24-5
Langit Pecinan adalah sebuah buku yang menggambarkan betapa akulturasi budaya Tionghoa di Semarang dan Lasem telah benar-benar menemui bentuknya. Kehidupan masyarakat kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas di dua wilayah yang banyak dihuni oleh orang-orang Peranakan Tionghoa Indonesia tersebut begitu menyatu, rukun dan tiada jarak. Bambang Iss Wirya menggunakan kutipan percakapan-percakapan orang biasa untuk mengokohkan pendapatnya bahwa kemajemukan itu telah menemukan bentuk sempurnanya.
Tak berbeda dengan buku-buku sejenis yang membahas topik Tionghoa Indonesia, Bambang Iss Wirya juga mengawali bukunya dengan menjelaskan asal-usul para perantau Tionghoa ke Nusantara. Karena buku ini sangat pendek – hanya 149 halaman, maka gambaran kedatangan para perantau ini juga hanya disinggung sekilas saja.
Namun demikian, ketika ia membahas Cheng Ho, informasinya disampaikan cukup lengkap. Apakah Cheng Ho benar-benar pernah mendarat (turun ke darat) di Semarang? Atau beliau hanya mengantar sang jurumudi yang sakit? Bambang Iss Wirya membahasnya dengan cukup menarik. Memang Cheng Ho sangat penting dalam membahas komunitas Peranakan Tionghoa Indonesia di Semarang. Sedangkan untuk topik Lasem, Bambang Iss Wirya menyajikan Geger Pecinan sebagai latar belakang. Geger Pecinan memang cukup besar perannya bagi komunitas Tionghoa Lasem. Namun sesungguhnya peristiwa-peristiwa besar telah terjadi di Lasem jauh sebelum Geger Pecinan. Dan pula, Lasem sebagai pelabuhan candu juga sangat penting untuk diulik. Sekali lagi, karena buku ini sangat pendek, maka pembahasan Semarang dan Lasem masih belum paripurna.
Bambang Iss Wirya lebih bersemangat untuk membahas kekinian wilayah-wilayah yang menjadi icon kedua kota tersebut. Ia membeberkan wilayah pecinan Semarang yang diwakili oleh gang-gang sempit yang dihuni oleh banyak orang Tionghoa di Semarang dan Kecamatan Lasem, khususnya desa Karangturi untuk menjelaskan betapa kehidupan orang Tionghoa dan penduduk lainnya begitu akrab. Pesantren yang menggunakan rumah bekas milik orang Tionghoa di Lasem adalah salah satu contohnya. Rumah ini dipertahankan sesuai aslinya. Bahkan sang Kyai mengecat ulang ornamen rumah dalam huruf China. Sedangkan untuk Semarang ditampilkannya Masjid yang berada di sebuah gang sempit yang diapit oleh rumah-rumah orang Tionghoa.
Buku ini ditutup dengan kisah orang-orang Tionghoa yang menjadi mualaf. Bambang Iss Wirya seakan mau menyampaikan bahwa kesungguhan orang Tionghoa untuk menjadi 100% Indonesia, salah satunya adalah memeluk agama mayoritas. Tak lupa Bambang Iss Wirya juga mengingatkan kita bahwa sesungguhnya banyak Tionghoa Islam yang pernah datang ke Nusantara.
Buku kecil ini sangat bermanfaat bagi mereka yang tertarik untuk mempelajari identitas Peranakan Tionghoa Indonesia, khususnya di Semarang dan Lasem. Tentu saja buku ini hanyalah berperan sebagai pintu saja. Sebab banyak hal tentang Tionghoa Semarang dan Lasem yang belum termuat dalam wadah yang begitu pendek ini.
Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.