x

Presiden Jokowi (kedua kanan) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) melambaikan tangannya saat tiba di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu, 13 Juli 2019. Kedua kontestan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 lalu ini bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus dan selanjutnya naik MRT bersama-sama. ANTARA/Wahyu Putro A

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 14 Juli 2019 20:06 WIB

Jangan Lagi Rekonsiliasi Najis

Pak Jokowi dan Pak Prabowo, pertemuan anda kemarin sebagai negarawan janganlah dicemari dengan rekonsiliasi najis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jangan Lagi Rekonsiliasi Najis!

 

Kata rekonsiliasi menjadi begitu "happening" akhir akhir ini. Kata yang secara etimologis berasal dari dua kata bahasa Latin , Re yang artinya kembali, dan Conciliare yang berarti bersama. Namun yang lebih tepat bukan hanya bersama, tetapi Conciliare yang kemudian menjadi kata Konsili, adalah berarti "membuat keputusan bersama". Bisa dibilang makna secara lengkap rekonsiliasi adalah kembali membuat keputusan keputusan penting secara bersama. Rekonsiliasi bukanlah tujuan atau gol, tetapi proses yang kadang melelahkan, tidak mudah dan memakan banyak energi sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Dalam proses itulah bangsa ini diimajinasikan, direncanakan, dibentuk dan dilahirkan. Ada momen Kebangkitan Nasional 1908, juga Sumpah Pemuda, dan berujung dalam proses proses BPUPKI menuju Piagam Jakarta yang pada titik kulminasinya kelahiran Indonesia pada Proklamasi 17 Agustus 1945. Ada proses proses konsiliasi dan rekonsiliasi berulang untuk menjadikan imajinasi keIndonesiaan untuk menjadi negara dan bangsa dengan dasar negara dan UUD yang dianggap paling sesuai dan berterima untuk semua.

 

Mimpi Indonesia awal untuk hadirnya proses rekonsialiasi melalui IKA dalam BHINEKA yang sudah disepakati bersama tidaklah mudah. Tes mula mula adalah ketika Upaya Soekarno untuk me"Nasakom"kan bangsa malah bermuara pada tragedi kebangsaan yang makin terbelah. Selanjutnya proses bangsa untuk rekonsiliasipun acapkali mandek. Kelanjutan bernegara dalam periode Orde Baru yang bermula pada 1965-1966 justru kental dengan kekerasan dan melahirkan rasa saling tidak percaya pada elemen bangsa yang ada. Peristiwa yang memakan korban jiwa, sosial dan eliminasi sesama anak bangsa tidak pernah diselesaikan dengan santun apalagi bermartabat. Rekonsiliasi dalam masa itu bukan jadi pilihan penyelesaian masalah bangsa.

 

Selanjutnya sejarah kelam bangsa untuk rekonsiliasi yang bercermin pada proses masa awal lahirnya bangsapun tidak bergerak ke arah yang benar. Hampir semua pelanggaran Hak Asasi Manusia pasca 1965 sampai era reformasi tidak melalui aspek aspek rekonsiliasi yang proper.  Tidak ada upaya mencari kebenaran bersama atas siapa yang salah, bagaikan ide keadilan transisional (Transitional Justice) ala Nelson Mandela dalam kasus apartheid Afrika Selatan. Semua dibiarkan tidak jelas untuk siapa yang salah, siapa yang jadi korban dan siapa yang berhak menerima maaf, dimaafkan dan berkeadilan. Fakta kekerasan dan pelanggaran HAM ada, tapi secara hukum yang berkeadilan tidak pernah diselesaikan. Negara bahkan terkesan cenderung membiarkan, tanpa pernah serius memikirkan opsi rekonsiliasi.

 

Benih benih "Odious Reconciliation" atau Rekonsiliasi Najis akhirnya tumbuh marak dalam kehidupan sosial, politik dan hukum bernegara dan berbangsa. Rekonsiliasi diturunkan menjadi sangat rendah maknanya sebagai penyelesaian cepat tanpa kepastian hukum dan keadilan, bak menyelesaikan kasus damai ketika ditilang polisi di jalan. "Outcome" yang sangat dirasakan adalah saling sandera kasus masa lalu menjadi subur dan biasa untuk tujuan menjatuhkan dan atau mendapatkan konsesi politik. Rekonsiliasi masuk dalam sisi kelam dan gelap gulitanya yaitu sebagai alat ampuh para elit untuk mempertahankan kekuasaan dan atau mendapat "positioning" berbagi jabatan dan kekuasaan. Kartu as masing masing dikeluarkan pada saat menjelang kampanye untuk kepentingan elektoral semata.

 

Kontestasi Pilpres juga seharusnya tidak mengambil jalan rekonsiliasi najis ini, yang bukan sekedar hanya untuk kembali bersama tetapi mau mengambil keputusan bersama dalam perbedaan. Yang diharapkan dalam rekonsiliasi santun adalah para pihak bisa mengakui fakta masing masing dan dalam perbedaan mengambil jalan yang Bhineka, berbeda, bahkan antagonis untuk tujuan bersama yang Ika. Akomodasi dan konsesi kekuasaan dan jabatan seharusnya tidak dijadikan umpan dalam "sekedar" berbaikan bersama. Pemenang Pilpres harus meyakini bahwa ada legitimasi baginya untuk membangun kabinet yang profesional dan akuntabel sesuai dengan jualan kampanyenya. Pihak yang kalahpun dalam legitimasi yang sama harus bisa menegakkan kepala untuk tampil sebagai oposisi yang bermartabat berada diluar pemerintahan dengan ide ide baik yang terus melakukan kontestasi ide dan wacana kenegaraan dan kebangsaan.

 

Rekonsiliasi masih dan terus bisa diupayakan dalam proses "war of postion" (Gramsci), dimana keteguhan akan keberbedaan dan pluralitas ide dihormati. Demokrasi akan sehat, bertumbuh, dan berkembang ketika rakyat melihat dan diberikan pilihan pilihan yang sehat. Debat politik untuk gagasan pembangunan bangsa yang mengedukasi dalam pendekatan, wacana dan strategi cerdas harus dikemukakan. Rekonsiliasi akan terjadi ketika dalam perbedaan pendapat dan pilihan itu rakyat disuguhkan tontonan politik yang keras, namun santun dan sarat gagasan kebangsaan. Dijauhkanlah bangsa ini dari rekonsiliasi najis yang masih menyimpan kebencian, kartu as kejahatan untuk menjatuhkan atas nama demokrasi. Mimpi indah rekonsiliasi adalah kemauan untuk mau berbeda dalam kapal yang sama dan dengan tujuan yang sama.

 

Pak Jokowi dan Pak Prabowo, pertemuan anda kemaren sebagai negarawan janganlah dicemari dengan rekonsiliasi najis. Bagi bagi jabatan dan konsesi politik yang tidak transparan untuk kekuasaan hanyalah akan menambah sakit hati para pemilih yang telah begitu militan memilih anda berdua dalam proses yang demokratis. Anda berdua bisa menjadi Soekarno, Hatta, Nazir, Kasimo, Leimena, Syahrir dan banyak lainnya dalam masa awal bangsa ini yang berdebat sampai habis habisan karena alasan pilihan politik secara keras dan terbuka, namun bisa menghadirkan Rekonsiliasi Apik yang melahirkan NKRI.  Teruslah berproses politik santun, teruslah "berkelahi" dalam wacana, dan lanjutkan demokrasi yang sehat. Persahabatan persaudaraan anda berdua akan menghasilkan Indonesia yang tangguh dan bermartabat.

 

Jangan takut untuk berbeda, toh istilah Garuda dan Merah Putih yang anda pilih adalah dua hal yang berbeda, namun maknanya kuat dan jelas KESATUAN. Selamat melakukan rekonsiliasi santun tanpa akhir untuk, saya, anda dan kita semua orang Indonesia.

 

Victor Rembeth

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler