x

Ilustrasi Pemerkosaan. shutterstock.com

Iklan

Mario Manalu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Juli 2019

Rabu, 24 Juli 2019 14:08 WIB

Memahami Seksualitas Manusia

Essai Psiko-Sosial

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada banyak komentar di media sosial yang menyudutkan perempuan (korban) sebagai penyebab utama maraknya kasus pelecehan seksual. Katanya, banyak perempuan yang berpakian “menggoda”, “genit” dan sebagainya. Sehingga wajar kalau pelecehatan makin kerap terjadi karena, katanya lagi,  “tak ada buaya yang mengabaikan bangkai”. Inilah pola pikir paling rendah dalam peradaban manusia sekaitan dengan isu seksualitas. Apakah seksualitas manusia (dalam hal ini hasrat “kelaki-lakian”) bisa disamakan begitu saja dengan nafsu binatang? Jelas tidak.

Cobalah cermati kasus-kasus pelecehan seksual. Paling banyak terjadi justru di negara-negara yang masih berpegang kuat pada norma-norma adat dan agama di mana kaum perempuan berpakaian lebih tertutup dan bersikap lebih “tertata”. Maka dapat diasumsikan bahwa faktor utama bukan pada rangsangan (tampilan atau sikap perempuan) tapi pada tingkat peradaban pemberi respon (laki-laki). Dalam kaitan inilah dapat dipahami perbedaan mendasar nafsu manusia dengan nafsu binatang.

Saya teringat sedikit mata kuliah Psikologi yang menerangkan bahwa mekanisme antara stimulus (rangsangan) dan respon bagi manusia bersifat terbuka sementara pada binatang bersifat tertutup. Secara sederhana dapat dipahami melalui contoh berikut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kalau anda melemparkan bangkai ayam ke kolam buaya, bisa dipastikan para buaya lapar di sana akan segera berebut. Karena insting buaya bekerja secara otomatis mencari, memburu bahkan merebut makanan jika dia lapar. Tak peduli darimana asal bangkai ayam tersebut dan tak penting juga jenis ayam apa itu. Jadi buaya-buaya itu tak punya pilihan selain merebut makanan (tak ada opsi lain). Dalam kaitan dengan hasrat seksual, mari kita tarik contoh anjing jantan yang sedang birahi. Satu-satunya opsi bagi anjing jantan itu adalah mencari anjing betina dan segera kawin. Tak peduli keadaan anjing betina itu mau atau tidak, cantik atau jelek, tak peduli jam dan tempatnya di mana. Satu-satunya pilihan bagi anjing jantan yang berahi adalah berhubungan badan. Tidak ada opsi lain. Inilah yang disebut mekanisme tertutup.

Berbeda dari binatang, manusia mampu mentransformasikan energi seksualitas dalam dirinya ke dalam berbagai aktivitas (bukan hubungan badan semata). Karena itu manusia memiliki lebih banyak opsi dalam menyalurkan hasrat seksual dalam dirinya. Maka tidak mengherankan bahwa manusia bisa memberi respon berbeda terhadap stimulus (rangsangan yang sama). Cobalah putar vidio porno, misalnya, di sebuah kantor yang dipenuhi laki-laki. Respon mereka akan berbeda-beda. Ada yang jijik, ada yang malu, ada mengganggapnya lelucon dan sebagainya. Kendati hasrat seksual ada dalam diri setiap orang, respon terhadap rangsangan seksual yang sama tidak bisa disamakan begitu saja bagi semua orang. Inilah yang disebut dengan mekanisme terbuka. Berbeda dengan binatang yang secara instingtif hanya bisa memuaskan hasrat seksualnya melalui hubungan jantan dan betina, manusia memiliki cara berbeda dalam menyalurkan hasrat seksual dalam dirinya.

Ada memang yang hanya mampu menyalurkannya lewat hubungan badan, tapi ada banyak yang mampu mentransformasikannya menjadi karya seni, menjadi energi menyayangi sesama dan lain sebagainya. Energi seksualitas dalam diri manusia sangat kaya, tak terbatas pada hubungan badan semata. Bahkan keinginan untuk tampil macho, tampil artistik, punk, sifat kebapaan, keinginan untuk melindungi adalah dorongan dari energi seksualitas.

Maka jika anda hanya bisa memahami seksualitas semata-mata sebagai hubungan badan saja, anda semestinya malu karena masih berada dalam peradaban terendah (dunia binatang).

Ikuti tulisan menarik Mario Manalu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler