x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 30 Juli 2019 20:16 WIB

Dahaga Pengakuan Manusia Medsos

Kebutuhan akan pengakuan yang berlebihan akan mengerucut pada self-centring alias menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian. Ketika banyak hal saling memperebutkan perhatian dari khalayak, orang sanggup melakukan apa saja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Aku berpikir, maka aku ada,” begitu kata René Descartes, filsuf berkebangsaan Prancis dari abad  ke-17 Masehi. Frasa cogito, ergo sum yang mashur itu, bahkan hingga kini, menggambarkan persoalan eksistensial manusia. Dalam pandangan Descartes, berpikirlah yang membuat seseorang itu eksis atau ‘ada’.

Di era media sosial seperti sekarang, manusia masih bergulat dengan persoalan eksistensialnya. Manusia era medsos bahkan menjadikan eksistensi sebagai isu terpenting. Eksistensi manusia medsos dikaitkan dengan relasinya dengan orang lain. Manusia medsos membutuhkan pengakuan dari orang lain untuk merasa eksis. Jumlah subscribers, viewers, followers, friends, retweets adalah contoh-contoh relasi dan pengakuan yang diperlukan agar seseorang [merasa] eksis.

Tanpa pengakuan orang lain, orang merasa bahwa dirinya bukan siapa-siapa, menjadi orang yang tidak dikenal di rimba digital, dianggap tidak memiliki sesuatu yang membuat orang lain membicarakan, tidak punya jutaan subscribers yang menjadikannya sanggup membeli mobil mewah. Pengakuan menjadi perkara eksistensial bagi kebanyakan manusia era sekarang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang, masih banyak orang yang tidak memerlukan pengakuan orang lain. Mereka berani menjadi manusia kuat yang bertumpu pada kakinya sendiri. Tapi di era sekarang laku semacam itu dianggap sebagai kerendah-hatian yang merugikan diri sendiri, jika bukan dianggap sebagai kekurangcerdasan. Era media sosial adalah era menonjolkan diri, zaman ketika orang berlomba-lomba tampil di youtube, twitter, facebook, dan instagram untuk memperebutkan perhatian dan menghimpun ribuan hingga jutaan subscribers dan followers.

Di ranah politik, kebutuhan akan pengakuan juga menjadi syarat eksistensial. Apabila khalayak ‘sunyi’, maka pengakuan dapat direkayasa setidaknya melalui dua cara. Pertama, melalui pengakuan diri alias klaim. Kedua, pengakuan melalui orang lain yang bekerja untuk dirinya. Mengapa cara-cara ini ditempuh? Karena, dalam politik, pengakuan dianggap penting sebagai credit point untuk memperoleh reward berupa jabatan.

Tak heran jika banyak orang yang merasa berjasa atas kemenangan Jokowi tidak segan mengatakan, misalnya: “Pak Jokowi tahu siapa yang berkeringat.” Orang lain juga bisa membantu melontarkan pengakuan untuk orang yang merasa jasanya perlu diketahui banyak orang dan mendapat perhatian yang layak dari elite yang lain—tentu saja, bantuan ini tidaklah gratis. Politik seringkali penuh kalkulasi semacam itu, dan para pemainnya sudah sama-sama tahu.

Kebutuhan akan pengakuan yang berlebihan akan mengerucut pada self-centring alias menjadikan diri sendiri sebagai pusat perhatian. Ketika banyak hal saling memperebutkan perhatian dari khalayak, orang sanggup melakukan apa saja. Inilah zaman ketika seseorang ingin memperoleh nilai tinggi dari sesama manusia, ia sanggup mengorbankan nilai lain yang secara hakiki lebih tinggi. Inilah zaman ketika seseorang tidak segan melakukan tindakan anomali untuk menarik perhatian dan memperoleh pengakuan dari orang lain: bermain off-road di lahan pemakaman untuk menunjukkan keberanian yang nekad, memakan kucing hidup-hidup untuk menebarkan intimidasi, mengumbar percakapan tentang ikan asin di muka publik dan diviralkan melalui video.

Inilah problem eksistensial manusia era media sosial: haus dan lapar yang tak henti-henti akan pengakuan dari orang lain. Dan untuk itu, manusia era medsos sanggup melakukan apa saja. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler