x

Presiden Jokowi (kanan) meresmikan Pembukaan Rembuk Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Keadilan Sosial dan GLF 2018 di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 20 September 2018. Forum ini dihadiri sedikitnya 900 peserta dari 77 negara, yang mewakili organisasi pembangunan internasional, badan-badan PBB, lembaga pemerintah, akademisi hingga organisasi masyarakat sipil. TEMPO/Subekti

Iklan

Nurul Firmansyah

Advokat dan Peneliti Socio-Legal. https://nurulfirmansyah.wordpress.com/
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 31 Juli 2019 16:10 WIB

Belajar Reforma Agraria dari Nagari

Masyarakat pedesaan Indonesia, yang umumnya masyarakat adat mengalami pemiskinan akibat  ketimpangan distribusi penguasaan agraria. Ketimpangan penguasaan agraria adalah persoalan struktural, yang ditopang oleh perangkat politik dan hukum Negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Masyarakat pedesaan Indonesia, yang umumnya masyarakat adat mengalami pemiskinan akibat  ketimpangan distribusi penguasaan agraria. Ketimpangan penguasaan agraria adalah persoalan struktural, yang ditopang oleh perangkat politik dan hukum Negara.

Lihat saja, bagaimana hukum mengakomodasi konsesi-konsesi skala besar milik elit pemodal, namun melemah dalam perlindungan hak masyarakat adat.

Jika ditelisik lebih jauh, persoalan ketimpangan distribusi agraria terkait dengan basis paradigma pengelolaan sumber agraria yang padat modal, esktraktif dan individualistik. Sumber agraria melulu menjadi ruang kontestasi modal dengan menyingkirkan aspek sosial. Akibatnya, pemilik modal paling besar adalah pemenang penguasa agraria.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kontras dengan itu, tradisi atau adat masih menjadi basis paradigma yang dianut masyarakat pedesaan Indonesia dalam mengelola sumber agraria. Paradigma ini mengutamakan jaminan keadilan distributif warga. Adat mengutamakan tanah dan sumber daya agraria lebih berfungsi sosial, yang kemudian membentuk model ekonomi mereka.

Tulisan ini akan mengambil satu contoh model penguasaan agraria berbasis adat atau tradisi itu, dan melihat struktur ekonomi yang menopangnya terus berlangsung. Contoh itu adalah model Nagari yang hidup di Sumatera Barat.   

Ekonomi Keluarga

Model pengelolaan sumber daya agraria yang menjadi basis ekonomi Nagari adalah ekonomi keluarga. Keluarga dalam konteks ini adalah keluarga luas (extended family), yang dalam konsep adat Minangkabau (nagari) disebut dengan kaum/suku. Dalam konsep ini, model ekonomi keluarga ditopang oleh sistem pewarisan tanah adat.

Pewarisan tanah adat mengutamakan keberlangsungan kekuasaan kaum/suku secara kolektif, dengan membatasi penguasaan tanah dan sumber daya alam oleh individu secara mutlak. Dengan pewarisan adat yang matrilineal (menurut garis ibu), maka akses perempuan dijamin secara ketat.

Sistem ini menjadikan seorang laki-laki dewasa (laki-laki menikah) dibebankan memenuhi kebutuhan keluarga batih (istri dan anak-anak). Dia bisa memanfaatkan tanah sawah dan hutan (agroforest) sebatas hak guna, dengan kepemilikan tetap pada keluarga istri, atau dari keluarga ibunya.

Dalam hal ini, laki-laki dewasa hanya bisa memanfaatkan hasil dari lahan-lahan produktif untuk memenuhi kebutuhan keluarga batih, tetapi tidak untuk dimiliki secara mutlak. Begitu juga halnya dengan istri pewaris tanah, yang hanya bisa menyediakan lahan untuk dikelola keluarga batihnya, namun dibatasi untuk dimiliki secara mutlak.

Graves (2007) menyebutkan bahwa model pemanfaatan tanah kaum/suku atau disebut juga dengan “tanah pusako” adalah mekanisme yang memastikan tanah-tanah tersebut menjadi semacam “dana jaminan bersama” (trust fund), yang menyebabkan kepemilikan individual mutlak tidak dimungkinkan terjadi, sehingga juga menyulitkan anggota kaum/suku untuk memperjualkan tanah-tanah tersebut.

Sistem ini melindungi semua anggota kaum/suku dari kemiskinan fatal, yang secara bersamaan juga menyulitkan pemilikan tanah-tanah secara pribadi yang memungkinkan seseorang menjadi kaya mendadak.

Tabungan Sosial

Pada tingkat struktur sosial lebih tinggi dari kaum/suku adalah Nagari. Nagari sendiri memiliki tanah ulayat nagari. Tanah ulayat nagari adalah semacam ‘trust fund’ bagi seluruh kaum/suku yang ada di nagari. Secara adat, tanah ulayat nagari ini utamanya diperuntukkan bagi perluasan lahan pertanian dan pemukiman kaum/suku. Oleh sebab itu, tanah ulayat nagari umumnya berupa hutan.

Walaupun tanah ulayat sebagian besar berupa hutan, adat tidak mengenal pemanfaatan khusus hasil hutan (terutama kayu) sebagai mata pencarian utama. Adat memandang bahwa lahan hutan adalah cadangan lahan pertanian.

Dalam konteks ini, pemanfaatan oleh individu atas hasil hutan kayu adalah ‘penyimpangan,’ sehingga anggota komunitaspun yang memungut hasil hutan dianggap sebagai orang luar yang memanfaatkan harta bersama. Konsekuensinya, mereka harus mendapatkan izin dari pemangku adat untuk memungut.

Model diatas membatasi pemungutan hasil hutan untuk kepentingan pribadi. Oleh sebab itu, pemungutan kayu di nagari diutamakan untuk kepentingan publik, seperti pembangunan fasilitas umum, fasilititas ibadah (masjid) dan seterusnya. Dengan aturan adat ini, maka lahan hutan beserta sumber dayanya adalah “tabungan” sosial yang diperuntukkan untuk masa depan. 

Selain itu, hutan berfungsi sebagai penopang pertanian komunitas. Hutan bagi komunitas nagari adalah sumber mata air yang menopang sistem irigasi tradisional. Sehingga wajar, banyak nagari memberlakukan Kawasan-kawasan tertentu dalam hutan sebagai hutan larangan, yaitu semacam penentuan kawasan konservasi adat, karena berfungsi sebagai sumber mata air.

Demikianlah, adat dilaksanakan sebagai perangkat normatif untuk memastikan keadilan distributif bagi seluruh warga komunitas. Adat yang hidup adalah hukum (adat), sekaligus cara untuk mengelola kekayaan secara adil.

Alih-alih diakui sebagai suatu kearifan, penganut “arus utama” yang menganggap dirinya lebih maju sering kali memandang adat sebagai sesuatu yang kuno, berorientasi pada masa lampau dan usang. Dalam konteks ini, adat senyatanya masih marjinal dalam kazanah pengetahuan dan dalam arena perumusan kebijakan.

Setidaknya, kita bisa memetik pembelajaran dari Nagari, sebagai wacana tanding tentang bagaimana distribusi sumber daya agraria (atau kekayaan) bekerja dalam masyarakat adat.  Sejatinya itulah reforma agraria, yang bertujuan untuk menjamin keadilan distribusi kekayaan dan penguasaan sumber daya agraria.

Ikuti tulisan menarik Nurul Firmansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler