x

Cover buku Silang Cahaya Kearifan Budaya karya Soeria Disastra

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 15 Agustus 2019 14:39 WIB

Pergumulan Sastrawan Peranakan untuk Menjadi Indonesia

Esai-esai Soeria Disastra di bidang sastra, olah intelektual peranakan dalam hubungannya dengan ke-Indonesia-an.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Silang Cahaya Kearifan Budaya – Sehimpun Esai

Penulis: Soeria Disastra

Tahun Terbit: 2019

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: TIKAR

Tebal: xii +202

ISBN: 978-602-98477-0-3

 

Buku ini membahas kesusastraan Peranakan Tionghoa hubungannya dengan Sastra Tiongkok dan Sastra Indonesia. Judul yang dipilih – “Silang Cahaya Kearifan Budaya” menunjukkan bagaimana hubungan antara ketiga kesusastraan tersebut. Sastra Peranakan telah berkembang berdasarkan pengalaman budaya masa lalu dan interaksi masa kini dari para pelakunya. Perkembangan karya sastra dalam Bahasa Melayu (rendah) tak bisa dipisahkan dari para penulis Peranakan Tionghoa. Meski dianggap bermutu rendah oleh penguasa (Belanda) namun karya-karya sastra Peranakan ini mau tidak mau mempunyai andil besar dalam perkembangan sastra modern Indonesia. Claudine Salmon menunjukkan peran besar karya-karya sastra Peranakan sebagai benih kesusastraan modern Indonesia.

Dalam buku yang bersisi esai-esai Soeria Disastra ini menunjukkan bahwa Peranakan Tionghoa telah terlibat secara mendalam baik melalui sastra, budaya maupuan olah intelektuan untuk membentuk Indonesia.

Selain dari karya sastra, Soersia Disastra juga membahas olah intelektual dan politik, khususnya gagasan-gagasan yang dimuat melalui pers peranakan. Pers Peranakan juga mempunyai peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejarah press Tionghoa di Indonesia, baik yang berbahasa Melayu/Indonesia maupun yang berbahasa Tionghoa sangat erat berhubungan dengan perjuangan kemerdekaan.

Saat koran harian belum memuat berita politik, koran-koran yang diprakarsai oleh orang Tionghoa telah berani memuat topik politik. “Mereka (para pejuang kemerdekaan) ingin menyadarkan rakyat, ingin agar penguasa tahu akan hal itu. Sehingga mereka ingin masuk ke dalam kekuasaan negara, ingin rakyat mendapatkan hak otonomi. Untuk itu rakyat memerlukan media massa, tetapi koran harian atau terbitan periodik Indonesia pada umumnya, menghindari masalah politik…mereka mengirimkan ke Koran Sin Po (hal. 70).” Koran Tionghoa juga memuat sastra, baik berupa teks lagu (Indonesia Raya) maupun teks prosa/puisi (terjemahan puisi Chairil Anwar berjudul “Aku” dalam Bahasa Tionghoa).

Pada Jaman Jepang koran-koran Tionghoa menyuarakan anti fasisme, sehingga ditutup. Setelah merdeka pers Tionghoa terus menyuarakan anti Jepang dan anti Belanda, serta pergaulan antara orang Tionghoa dan rakyat Indonesia (hal. 71). Menurut Leo Suryadinata, menjelang kedatangan Jepang, posisi politik orang-orang Peranakan telah condong kepada Indonesia (Politik Tionghoa Perananan di Jawa, 1986). Itulah sebabnya banyak koran yang dimiliki oleh peranakan Tionghoa berani menyuarakan anti fasisme dan mendukung perjuangan kemerdekaan.

Posisi Soeria Disastra tentang orang Tionghoa di Indonesia adalah menempatkan orang Tionghoa sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Jadi orang Tionghoa tidak perlu lagi harus berasimilasi, melebur kepada suku-suku pribumi.  Soeria Disastra juga mengakui bahwa sebagai etnis yang mempunyai hubungan dengan leluhurnya, mengagumi leluhur adalah hal yang lumrah. Kekaguman Soeria Disastra ditunukkan dengan kerjanya untuk menterjemahkan puisi-puisi karya Mao Tse Tung dan mengikuti perkembangan kesusastraan Tiongkok.

Ia menulis tentang Nobel dan sastrawan China. Ia mempertanyakan mengapa budaya yang begitu besar dan bertahan dalam kurun yang lama tidak menghasilkan banyak hadiah Nobel sastra? Bukankah karya-karya Tiongkok adalah karya-karya yang luar biasa? Bukankan sastra di Tiongkok terus berkembang dan tidak mandek? Pada era modern kita mengenal Lu Xun, Yu Hua dan sastrawan lainnya yang karyanya dibaca oleh banyak bangsa.

Soeria Disastra mencurigai bahwa Hadiah Nobel sangat dipengaruhi oleh politik dunia. Renungan tentang sedikitnya sastrawan Tiongkok yang mendapatkan hadiah Nobel ini membuat saya teringat akan nasip Pramoedya Ananta Toer yang dinomikasikan berkali-kali tetapi gagal meraih penghargaan. Selain dari masalah terjemahan dalam Bahasa Inggris yang disangka jelek, masalah politik juga ditengarai sebagai penyebab Pram gagal meraih hadiah Nobel. Pram dianggap kiri. Sastrawan berhaluan kiri sangat jarang menerima hadiah Nobel.

Soeria Disastra memberikan bukti bahwa etnis Tionghoa yang ada di Indonesia tidak bermasalah dalam menjadi Indonesia. Tidak harus melebur. Sebab etnis Tionghoa memang memiliki ciri-cirinya sendiri. Mereka memiliki budayanya sendiri, seperti suku-suku pembentuk Indonesia juga memiliki budayanya masing-masing. Dalam sastra, Soeria Disastra menunjukkan proses saling menyuburkan, saling memberi dan saling menerima. Sastra Peranakan menunjukkan ciri leluhur dan budaya dimana mereka berada.

Bukti otentik bahwa etnis Peranakan adalah bagian tak terpisahkan adalah melalui dirinya sendiri. Ia berkawan dengan sastrawan Sunda. Soeria Disastra sering berdiskusi dengan para sastrawan Sunda dan sastrawan dari etnis lainnya. Ia aktif mengembangkan forum-forum dan kelompok-kelompok diskusi sastrawan peranakan. Ia berkarya di bidang sastra peranakan. Ia mengkaji karya-karya sastra peranakan dan hubungannya dengan ke-Indonesia-an.

Di saat yang sama Soeria Disastra tetap memperhatikan kesusastraan yang ada di Tiongkok. Ia menterjemahkan beberapa karya klasik ke dalam Bahasa Indonesia. Ia tekun mengikuti perkembangan sastra modern di negeri yang menjadi tanah leluhurnya.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler