x

Iklan

Muhammad Itsbatun Najih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 17 Agustus 2019 11:26 WIB

(Tetap) Berkurban Selepas Idul Adha

Artikel menyorot perlunya ritus ibadah dijadikan simbolitas untuk peningkatan kesalehan sosial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada perayaan Idul Adha pada tahun ini, nyaris tidak lagi ditemukan fenomena antrean pembagian daging --yang kerap menimbulkan kericuhan. Pembagian daging kurban kian termartabatkan. Diantar langsung ke rumah penerima hingga gelaran santap bareng. Dengan kata lain, dibagikan matang telah dimasak; langsung santap. Secara literatur fikih, hal tersebut dibenarkan. Seraya mengatasi problem teknis seperti tidak punya alat masak dan bumbu dapur.

Perayaan Idul Adha pada tempo-tempo lampau --dan tampaknya masih terjadi hingga kini-- menggulirkan kesukacitaan secara terbatas. Berbeda dengan Idul Fitri, Idul Adha babarkan kekhasan berupa ritus berkurban. Sayangnya, ritus tersebut hanya bisa dirasakan dampak dan kefaedahannya manakala di tempat tersebut ada pekurban. Bila tidak, perayaan Idul Adha sebatas salat Id dan setelah itu, tampak seperti hari-hari biasa. Bahkan, bila pun ada yang berkurban, nyaris hanya dinikmati oleh lingkungan sekitar alias lingkup terbatas, sekitaran tetangga.

Berimajinasi pada sebuah dusun yang hanya berkurban seekor-dua ekor kambing. Selain nyaris tidak semua warga dapat menikmati daging kurban, praktis daging dibagikan bertimbang teramat sedikit. Padahal, tabir Idul Adha adalah adanya keberlimpahan daging. Mengandaikan semua orang bisa menikmati daging berporsi patut; tidak sekadar “icip-icip”. Padahal senyatanya pula, 10 Zulhijjah plus tiga hari Tasyrik merupakan momen kesyukuran berlimpah rezeki dan karena itu, terlarang berpuasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka, alangkah pilu bila suatu tempat/daerah hanya terdapat sedikit atau bahkan tidak ada pekurban. Pun, tampak kontradiktif dengan identitas keislaman yang disandang. Mengingat ritus Idul Adha adalah keniscayaan mematri ibadah kurban. Meskipun berkurban oleh jumhur ulama dihukumi sunnah muakkadah alias tidak sampai diwajibkan, tetapi, antusiasme berkurban seyogianya terlekatkan selekat keterkaitan Idul Fitri dengan zakat fitrah.

Karena itu, Idul Adha di Indonesia sememangnya patut menjadi uswah/percontohan bahwa mayoritas muslim mestinya berbanding lurus dengan kesemarakan berkurban. Berlandas derajat sunnah muakkadah lebih tinggi ketimbang berhukum sunnah --terkata nyaris sampai menjadi wajib dan bahkan sebagian ulama telah menghukuminya wajib; berangkat dari sinilah, ibadah kurban di Indonesia mestinya lebih semarak. Jangan sampai Idul Adha di Indonesia hanya sebatas menggelar salat Id. Lantaran, selain perintah salat (fasalli), bukankah dimaktubkan pula untuk berkurban (wanhar).

Imaji Indonesia adalah keluasan wilayah dan sebaran demografi; termasuk yang tinggal di pedalaman, pelosok, dan perbatasan. Tampak tersemat kesulitan untuk bisa menyemarakkan Idul Adha di Indonesia dengan berkurban secara serentak; sama semaraknya dengan daerah lain. Mengingat kondisi faktual macam itu, bernarasi cergas nan profesional, kita bisa menilik peran penting lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk menghadirkan semarak berkurban di Indonesia hingga penjuru negeri. Secara khusus, melalui lini Global Qurban-ACT, merajut dan membingkai pelaksanaan berkurban dengan semarak, bisa dijadikan referensi kegiatan filantropi.

Global Qurban-ACT menukikkan langkah; menyusuri celah-celah yang selama ini sering terabaikan atau belum terjamah oleh pemanfaatan daging kurban. Seperti tamsil kurban di DKI Jakarta: lebih menyasar kolong-kolong kemiskinan kaum urban. Sudah dua kali ini, kaum papa ibu kota bisa menikmati daging kurban langsung santap. Disajikan matang; cara ini merupakan jalan kreatif Global Qurban-ACT bersebut Dapur Qurban. Cara ini terbukti menihilkan praktik jual-beli daging kurban dan mengkhusyukinya secara hakiki perayaan Idul Adha yang tidak sekadar melaksanakan salat Id.

Distribusi daging kurban ACT juga menjangkau wilayah tepian negeri dan di daerah minoritas muslim. Di sanalah semburat kebahagiaan itu memancar. Hidup dalam keterbatasan akses dan sarana tidak lantas menjadi alasan untuk tidak menyemarakkan Idul Adha dengan hidangan daging kurban. Global Qurban-ACT tak ketinggalan pula beratensi pada masyarakat daerah yang bahkan di Jawa sekalipun untuk mendistribusi daging kurban bersebab berekonomi lemah. Mengutip laporan di jejaring media sosial-nya, @actforhumanity 14 Agustus 2019, penerima manfaat daging kurban menjangkau warga Dusun Kedu, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen.

Kebahagiaan menikmati Idul Adha secara sempurna juga dirasakan Ghufron, perantau yang bermukim di Atambua. Sebagai minoritas, Ghufron, merujuk unggahan laporan di akun Instagram-nya, 15 Agustus 2019, sangat bersyukur dan bahagia bisa menikmati daging kurban dari ACT. Kita berandai kepedulian seperti ini merupakan sepercik penguatan ukhuwah islamiyyah. Syukur-syukur bila daging kurban bisa dinikmati pula oleh mereka yang berlainan agama sekalipun; tentulah hal ini menjadi tali-temali mempertahankan toleransi dan kerukunan umat beragama.

Pemetaan dan pemfokusan semacam itu laik terapresiasi. Dengannya, pelaksanaan kurban dan kebermanfaatannya seakan-akan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat muslim Indonesia. Terdorong oleh terdapat daerah yang bahkan tidak ada yang berkurban; di satu sisi, banyak daerah yang berlimpah daging kurban. Fakta penjarakan (gap) di lapangan seperti itulah yang coba diatasi Global Qurban-ACT. Sebuah siasat jitu yang sekali lagi patut ditiru lembaga kemanusiaan lain.

Ukhuwah islamiyyah lantas melintas batas wilayah dan negara. Tak hanya di dalam negeri, Global Qurban-ACT merutinkan diri mendistribusikan daging kurban ke wilayah-wilayah terlanda konflik dan miskin macam Somalia, Suriah, Palestina, Mali. Ada benang merah yang mesti kita cermati; bahwa langkah Global Qurban-ACT adalah gerak atas filantropi berupa keberpihakan bagi kaum lemah. Bukan lagi membincang sekat negara atau sekadar berbeda mazhab.

Distribusi daging kurban hingga ke luar negeri semacam itu juga menibakan pada pesan kemanusiaan universal. Pertama, membawa nama besar Indonesia itu sendiri. Kedua, mendalilkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki antusiasme terhadap saudaranya di seberang. Ketiga, kegiatan filantropi macam ini dirasa penting sebagai upaya diplomasi penyelesaian konflik.

Optimalisasi berkurban merupakan kunci agar kuantitas daging-dagaing kurban dari tahun ke tahun tersampaikan untuk lebih banyak lagi saudara di pelosok negeri dan luar negeri. Dalam nuansa menyambut Idul Adha, kerap ada efek ekonomi bahwa harga hewan kurban kambing, misalkan, terus mengalami penaikan harga. Kondisi faktual tersebut sedikit-banyak menyurutkan langkah (calon) pekurban. Dan sekali lagi, kita perlu menilik sekaligus mengapresiasi kerja-kerja Global Qurban-ACT dalam menjawab problem itu.

Ada semacam prinsip yang diusung bahwa hewan kurban dibisakan untuk mengalami penurunan harga alias murah. Melalui strategi dibentuknya Lumbung Ternak Wakaf (LTW) misalnya, menjadi pasokan utama hewan kurban Global Qurban-ACT. LTW menggaet peternak dan petani daerah untuk mengelola stok hewan kurban berskema pemberdayaan. Di sinilah letak kunci mengapa hewan kurban di Global Qurban-ACT bisa lebih murah ketimbang harga di pasaran. Karena itu, senyatanya Global Qurban-ACT sejak dari hulu sampai hilir, benar-benar mengoptimalisasi berupa meningkatkan dan memudahkan (calon) pekurban menunaikan ibadahnya.

Barangkali tersembul pertanyaan: apa relavansi ibadah kurban yang temporal empat hari dengan keberlangsungan atas relasi sosial dan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dari jurang kepapaan. Selain telah secara langsung ibadah kurban mampu menjalin ukhuwah islamiyyah, kepedulian kepada kaum papa, juga perlu dimaknai bahwa ibadah kurban adalah simbolitas. Daging kurban bisa kita pahami sebagai simbol. Dengan kata lain, setelah adanya kerelaan berkurban berupa dengan daging, mestinya pula ada kerelaan yang turut sama kala kita berkurban/menyumbang pada jenis harta lain semisal uang, makanan, pakaian.

Empat hari pun merupakan simbolitas; bahwa mestinya kepedulian terhadap kaum lemah juga dijalarkan di luar empat hari tersebut, pada hari-hari biasa. Setidaknya dimulai kepedulian terhadap lingkungan sekitar, tetangga yang miskin. Bukankah Nabi Muhammad Saw menyuruh kita bila memasak berlebih untuk dibagikan kepada tetangga. Karena itulah kiranya, ACT tidak hanya menyediakan lini untuk kurban berupa Global Qurban-ACT. Namun, untuk berwakaf, berzakat dan donasi uang atas yang musibah bencana alam terbangun dengan apik dan transparan.

Ala kulli hal, praktik agama tidak dimaknai sekadar ritus dan penggugur kewajiban. Namun, perlu ejawantah atasnya berupa kesalehan sosial. Karena itu, diperlukannya menghidupkan spirit berkurban-berbagi yang bersifat saban hari. Sebagaimana kalam bijak bestari: salatlah kamu setelah salam dan berpuasalah kamu selepas berbuka, maka terkata relevan bila ditambah: (tetaplah) “berkurban” meski Idul Adha usai. Keberimbangan antara saleh ritual-saleh sosial inilah yang menjadi pendulum atas kebermaknaan diktum menjadi “loyalis kemanusiaan”; yakni, pribadi yang loyal alias senantiasa tanggap-cergas untuk membantu sesama. Wallahu a’lam.

*Ditulis oleh Muhammad Itsbatun Najih; alumnus UIN Yogyakarta

Ikuti tulisan menarik Muhammad Itsbatun Najih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB