x

Pemandangan pantai yang terlihat dari Bukit Merese, Lombok Tengah, NTB, 4 Agustus 2019. Bukit ini menjadi tempat favorit wisatawan untuk melihat indahnya sunrise serta sunset. TEMPO/Fajar Januarta

Iklan

Yopi Ilhamsyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Juli 2019

Senin, 26 Agustus 2019 06:47 WIB

Saatnya Menggarap Sumber Energi dari Kelautan

Artikel ini menjelaskan laut sebagai Energi Terbarukan Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada swal Agustus pemberitaan mengenai listrik menjadi headlines media-media nasional. Pertanyaan muncul tentang bagaimana masa depan energi listrik kita?

Ketika saya mengikuti pelatihan pengembangan model coupled ocean-atmosphere selama dua minggu di kota Qingdao (baca-CingTao) Provinsi Shandong, di pantai timur Tiongkok yang berbatasan langsung dengan Laut Kuning dan semenanjung Korea, saya kagum pada sebuah presentasi peserta dari Korea Utara terkait kemajuan teknologi di negaranya.

Sebelumnya ada satu pertanyaan menggelitik apakah Korea Utara tergolong negara berkembang atau negara maju?Karena mindset yang tertanam selama ini negara berpaham komunis cenderung tertinggal, tapi mindset ini berubah ketika saya menyimak paparan peserta dari Korea Utara ini. Untuk sumber energi listrik mereka sudah lama memanfaatkan energi pasang surut laut, suatu hal yang di Indonesia walau terkenal dengan sebutan benua maritim, energy of maritime masih berupa jargon dan hanya sebatas wacana potensi energi terbarukan di masa depan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila kita cermati lebih lanjut masa depan Indonesia akan bertumpu pada bidang kelautan termasuk sumber daya perikanan. Jika hal ini mampu dimaksimalkan Indonesia akan bebas dari krisis pangan dan energi. Hal yang dianggap akan menjadi bencana di masa depan pun akan mampu menghasilkan manfaat yang dapat digunakan sebesarnya-besarnya untuk kesejahteraan rakyat sesuai Undang-undang Dasar (UUD) Pasal 33 ayat 3.

Sebagai contoh perubahan iklim berupa thermal expansion dan melelehnya es di kutub yang memicu penambahan volume laut, bukan merupakan sebuah ancaman namun jadi peluang untuk optimalisasi energi sebagai wujud kekekalan massa dan energi dalam ilmu Fisika. Medium (air) untuk menggerakkan turbin akan selalu tersedia bukan?

Jika pemanasan global adalah nyata adanya di masa depan, maka perbedaan suhu permukaan lautan yang terus menghangat dengan lapisan dalam yang semakin dingin akan semakin besar, dengan demikian konversi energi termal laut menjadi peluang besar untuk dieksplorasi sekaligus menjadi umpan balik negatif yang bersifat meniadakan dari kejadian perubahan iklim itu sendiri.

Energy of Maritime

Kembali ke eksplorasi energy of maritime sebagai masa depan energi terbarukan Indonesia, wilayah laut yang memiliki pasang surut dominan berpeluang untuk pengembangan kelistrikan. Wilayah ini meliputi pantai timur Aceh hingga Riau di Selat Malaka serta selat-selat sempit seperti Bali dan Kepulauan Sunda Kecil di Nusa Tenggara. Begitu juga pada perairan dangkal seperti Laut Arafura di selatan Papua, dan Laut Jawa hingga Selat Karimata di lepas pantai barat pulau Kalimantan.

Profesor Mulia Purba dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam orasi ilmiahnya menyebutkan arus dan rentang pasang surut masing-masing sebesar 2,5 meter/detik dan 5 meter berpotensi untuk dikembangkan sebagai pembangkit listrik. Untuk ini dibutuhkan pengembangan teknologi yang tepat guna mengkonversi nilai-nilai tersebut untuk menghasilkan daya listrik yang dibutuhkan. Pasang surut laut sangat ideal untuk dikembangkan sebagai energi terbarukan karena geraknya yang mudah diprediksi dengan akurasi tinggi dan berlangsung secara periodik serta kontinu.

Karena sifat pasang surut yang dominan di tepi pantai, instalasi teknologi pembangkit listrik tenaga arus dan pasang surut akan beroperasi di dekat pantai serta tidak menimbulkan gangguan lingkungan berupa kebisingan dan tidak merusak ekosistem laut melalui pencemaran. Untuk skala lokal, tenaga listrik dari arus dan pasang surut ini dapat dimanfaatkan guna mendukung kegiatan masyarakat pesisir dan pulau yang berdampak terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan mereka.

Untuk wilayah laut lepas yang langsung dipengaruhi tiupan angin permukaan sehingga menimbulkan gelombang tinggi seperti pantai barat Sumatera hingga selatan Jawa dan Bali, juga berpeluang sebagai sumber energi listrik. Dr. Alan Koropitan dari IPB menyatakan untuk setiap tinggi gelombang 1 meter dengan periode 9 detik akan menghasilkan daya listrik sebesar 4,3 Kilowatt. Semakin tinggi gelombang semakin besar daya yang dihasilkan namun tentu saja resiko rusaknya perangkat instrumen tersebut juga tinggi. Gelombang ideal adalah sebesar 1,0 hingga 1,5 meter dan kabar baiknya tinggi gelombang ini juga dapat diprediksi.

Untuk perairan timur yang dalam dengan perbedaan suhu sebesar 20 derajat Celcius antara permukaan (20-100 meter) dengan lapisan dalam (800-1000 meter) seperti Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Maluku cocok untuk pengembangan energi termal laut. Struktur vertikal termal yang mendorong gerak air laut ini juga dapat dimonitor melalui simulasi komputer, namun dibutuhkan teknologi tinggi serta biaya yang besar untuk mengkonversi energi ini. Oleh karenanya, pasang surut dan gelombang laut adalah bentuk energy of maritime yang paling mungkin diimplementasikan untuk mewujudkan ketahanan energi Indonesia di masa depan.

Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, secara umum Indonesia membutuhkan daya listrik sebesar 60 Gigawatt di tahun 2022, dari lautan ditaksir berkontribusi sebesar 0,2 Gigawatt. Namun jika kita mampu mengembangkan teknologi tepat guna dari gerak dan sifat laut dan memaksimalkan potensi yang ada di seluruh perairan Indonesia, bukan tidak mungkin energi laut akan menutupi defisit energi yang dialami Indonesia (masa mendatang).

Saat ini pemerintah sedang mengembangkan pembangkit listrik tenaga arus laut di Selat Larantuka Nusa Tenggara Timur yang berkecepatan 3,5 meter/detik, diklaim sebagai yang terbesar di dunia dengan produksi listrik sebesar 20-30 MegaWatt. Tenaga listrik arus laut juga dapat dikembangkan di perairan timur lainnya seperti Selat Makassar, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, selat-selat di Kepulauan Sunda Kecil yang menghubungkan Laut Flores, Laut Sawu dengan Samudera Hindia di Selatan. Perairan ini merupakan jalur sirkulasi termohalin dunia, arus lintas Indonesia memiliki velositas permukaan yang cukup besar guna membangkitkan energi listrik. 

Investasi bukan (lagi) potensi

Sudah saatnya kita tidak lagi berbicara potensi kelautan Indonesia. Karena apa? Sebab, kata “potensi” seperti hanya menghibur dan kata yang bermakna angan-angan serta seperti sedang bermimpi bahwa Indonesia masih menyimpan produktifitas tinggi. Namun nyatanya?

Kita pasti sudah sering mendengar kata “potensi sumber daya Indonesia” dari sejak kecil namun saat di forum-forum nasional dan internasional ketika pembicara membahas krisis pangan, produksi perikanan yang overfishing dan nelayan yang sulit mendapatkan hasil tangkapan yang memadai, kata “potensi” menjadi kontraproduktif. Untuk pembangungan kelautan sudah saatnya kita menggunakan kata yang lebih tegas dibanding sekedar “potensi”. Kata “investasi” kelautan sudah saatnya bergelora dan mengemuka sejak saat ini.

Investasi awal di bidang kelautan memang sangat menguras finansial namun keuntungannya akan jauh lebih besar dan untuk memajukan teknologi di bidang kelautan dan perikanan ada baiknya kita belajar dari negara-negara maju termasuk Korea Utara, terlepas dari ideologi yang berseberangan. Mari berpikir tentang pengembangan teknologi untuk Indonesia yang lebih baik. Indonesia pasti bisa!.

Ikuti tulisan menarik Yopi Ilhamsyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler