x

B.J. Habibie

Iklan

Hasan Aspahani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 12 September 2019 11:53 WIB

Paradoksnya Paradoks B.J. Habibie

Sebuah rumusan ringkas tentang persoalan bangsa ini dan bagaimana seharusnya kita bisa menemukan jalan keluarnya. Warisan penting B.J. Habibie.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

ADA banyak hal besar diwariskan Presiden B.J. Habibie untuk bangsa ini, setelah kepergiannya yang mengejutkan kita di usia 83 tahun, 11 September 2019, kemarin.

Ia menjadi teladan abadi tentang kecerdasan yang menginspirasi jutaan anak Indonesia. Seniman dengan mata hati sepeka Iwan Fals menyebutkan jargon dan standar pintar "otak Habibie" dalam lirik lagu penuh kritik sosial tentang nasib malang guru PNS pada masa itu.

Ia contohkan keberanian untuk bermimpi, mengajak sebuah bangsa agraris melompat memasuki industri dirgantara. Meski kemudian ia diolok-olok, "bangsa ini perlu beras, bukan pesawat terbang". Ia menghentikan proyek itu untuk memenangkan rakyat.

Ia punya keteguhan mengambil keputusan besar dalam situasi genting, meskipun kelak ia dijatuhkan, dijegal, dan disalahkan dengan keputusannya itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia anak kesayangan Orde Baru, dengan Presiden Soeharto sebagai patron besarnya, tapi ketika ia harus melanjutkan kekuasaan sang Bapak itu setelah mundur pada 18 Mei 1998, Habibie melakukan langkah koreksi besar.

Apa yang membuatnya dimusuhi koleganya sendiri dan terutama keluarga sang patron, tapi tak juga bisa menyelamatkannya dari cap sebagai bagian dari rezim yang dijatuhkan oleh gerakan reformasi itu.

Ketika ia melaporkan pertanggungjawaban kerjanya sebagai presiden selama satu tahun lima bulan, di hadapan MPR yang dihasilkan dari partai-partai dan pemilu yang ia selenggarakan, ia ditolak dan dengan perasan mungkin pedih, menyatakan tahu diri untuk tak mencalonkan diri pada pemilihan presiden terakhir lewat parlemen itu.

Juga di pemilihan presiden langsung kelak, meskipun ada suara-suara yang memohon kesediaannya. Ia punya kesantunan politik yang entah apakah masih dipandang sebagai kemuliaan oleh sebagian besar politisi kita hari ini.

Ia buka gerbang kebebasan demokrasi dan pers, dua pondasi dasar yang saling menunjang yang ketika keduanya buntu maka sulit bagi bangsa ini untuk lekas pulih dari luka krisis ekonomi juga krisis politik dan sosial yang memperparah komplikasi.

Habibie mungkin bagi sebagian orang tampak naif. Tapi yang pasti ia pemikir, praktisi, dan teknokrat yang visioner.

Saya punya satu hal yang bisa selalu mengingatkan diri saya yang mengaitkan beliau, saya sebagai warga negara, dan negara saya Indonesia ini. Saya mengutipnya dari apa yang beliau sampaikan dalam pidatonya ”Quo Vadis Indonesia?”.

Pidato itu beliau sampaikan dalam perhelatan mengenang Sutan Takdir Alisjahbana di Taman Ismail Marzuki, 14 Desember 2011. Beliau mengemukakan kenyataan pahit tentang negeri kita.

Ia menyebutnya sebagai lima paradoks Indonesia:

Paradoks pertama: Kita kaya tapi miskin, kaya sumber daya alam, miskin penghasilan.

Paradoks ke-2: Kita besar tapi kerdil, besar wilayah dan penduduk, kerdil produktivitas dan daya saingnya.

Paradoks ke-3: Kita merdeka tapi terjajah, merdeka secara politik, terjajah secara ekonomi.

Paradoks ke-4: Kita kuat tapi lemah. Kuat dalam anarkisme, lemah dalam menghadapi tantangan global.

Paradoks ke-5: Kita itu indah tapi jelek, indah potensi dan prospeknya, jelek dan korup dalam pengelolaannya.

Lima paradoks yang dengan ringkas memetakan persoalan bangsa ini dan sekaligus juga menunjukkan jalan keluarnya.

Mari kita jadikan peringatan beliau itu sebagai pemicu untuk mengubah keadaan negeri ini, mulai dari diri kita sendiri. - hasan aspahani

Ikuti tulisan menarik Hasan Aspahani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB