Metode Pengambilan Keputusan yang Rasional dalam Memilih Presiden

Selasa, 9 Maret 2021 06:46 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di 2024 sepertinya perilaku pemilih tak akan banyak berubah. Yang memilih berdasar mitos dan klenik pun masih ada, dan politisi memanfaatkan benar situasi itu.

DOSEN mata kuliah "Pengambilan Keputusan" malam itu memulai dengan kasus aktual: pemilihan presiden. Siapa yang masuk akal untuk dipilih: Joko Widodo atau Prabowo Subianto? Hanya ada dua nama. Proses politik mengarah atau dikunci hanya pada dua nama itu.
 
Bagaimana kaidah "pengambilan keputusan" dipakai sebelum masuk ke TPS? Mula-mula tentukan pembanding dan kriterianya. Kita pemilih tentu ingin mendapatkan yang lebih baik dari presiden SBY. SBY yang sudah sepuluh tahun menjadi presiden adalah patok penimbang.
 
Joko Widodo dan Prabowo Subianto dibandingkan dengan SBY dalam hal: ketegasan, beban masa lalu, kecenderungan menjadi otoriter, kebijakan prorakyat, bersih dari korupsi, bersih dari kolusi. Dan lain-lain, kami bebas menambahkan. Semakin banyak paramater semakin baik keputusan yang diambil.
 
Inilah sebagian dari hasil penilaian kami waktu itu.
 
Ketegasan? Joko Widodo X - Prabowo Subianto ✓
 
Kecenderungan menjadi otoriter? Joko Widodo X < Prabowo Subianto ✓
 
Kebijakan prorakyat? Joko Widodo ✓ < Prabowo Subianto X
 
Bersih dari kolusi masa lalu? Joko Widodo ✓ < Prabowo Subianto X
 
dst.
 
Saya lupa detailnya. Tapi kami satu per satu menambahkan parameter. Setelah diberi skor dengan proses pengambilan keputusan seperti itu disimpulkan jika ingin mendapatkan presiden yang lebih baik daripada SBY maka Joko Widodo adalah pilihan yang lebih masuk akal ketimbang Prabowo Subianto.
 
Beberapa teman bersikukuh memilih Prabowo Subianto sejak semula dan memberi penilaian yang menguatkan pilihannya itu. Begitulah dinamikanya.
 
Tentu saja pertimbangan dan penilaian itu kini berubah total. Apa yang dulu masuk akal kini bisa mengecewakan, kecuali bagi mereka yang memilih dengan emosi bukan rasio, dan di negeri ini pemilih yang demikian lebih dominan.
 
Di 2024 sepertinya perilaku pemilih tak akan banyak berubah. Yang memilih berdasar mitos dan klenik pun masih ada, dan politisi memanfaatkan benar situasi itu.
 
Jakarta, Maret 2021

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Hasan Aspahani

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler