x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 23 September 2019 10:43 WIB

Kompetensi Pinokio di Era Medsos

Mengapa sebagian politisi berbohong dan kita percaya saja? Pinokio pun hanya sanggup berbohong 13 kali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketika terjun ke dunia politik, seseorang dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak selalu mudah. Ia harus menghadapi lingkungan baru yang dinamis, karena itu sebagian orang mungkin kaget. Jika karakternya tidak mampu bertahan, ia akan terbawa arus yang berlaku di ekosistem politik. Ketika ditanya jurnalis, ia mulai belajar menjawab: “Saya tidak mengatakan seperti itu” [ia memang tidak mengucapkan kalimat persis seperti yang dikutip jurnalis, tapi secara substansial sama saja, dan ia mengerti tentang hal itu].

Pinokio di era medsos memerlukan cara bermain yang lebih canggih. Kesigapannya dalam menanggapi berbagai isu diuji mengingat teknologi menjadi sarana yang kian digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Di sisi lain, ia juga terbantu dalam hal melakukan pencitraan dan political branding, mempromosikan gagasan, hingga menggalang dukungan. Teknologi mendorong dinamika lebih cepat, viral, dan instan.

Lebih dari sekedar berkelit dalam debat politis, cara memerlakukan informasi dan media menjadi keterampilan yang mesti dipahami politisi. Bahkan, kemampuan menyusun komposisi narasi yang beraroma post-truth merupakan kompetensi strategis yang harus dikuasai. Komponennya antara lain membombardir publik dengan opini tertentu yang berbeda dengan fakta objektif. Banjiri saja publik dengan kabar yang membingungkan. Mungkin, mula-mula publik akan bimbang, setengah percaya, tapi akhirnya memercayai kabar itu dan mengingkari fakta objektif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cara lama juga bisa dipakai, yakni membingkai [framing] suatu isu, sehingga persepsi masyarakat akan terbentuk seperti yang diinginkan. Jika kita ingin suatu objek, misalnya seseorang atau institusi, dipersepsikan buruk oleh masyarakat, maka framing harus mampu memproduksi informasi yang menggiring masyarakat untuk mempersepsikan objek itu buruk. Semua itu merupakan permainan persepsi yang mengandalkan kreativitas dan bahkan kekejian kata-kata, gambar, foto, video, dan banyak lagi. Di era medsos, teknologi menyediakan sarana untuk melakukan hal itu.

Namun, teknologi adalah alat politik. Nilai buruk yang disampaikannya berpulang kepada watak politisinya. Beberapa studi menunjukkan bagaimana para politisi berkelit untuk menghindari dari memberikan jawaban pasti atas sebuah pertanyaan. Seorang psikolog, yang pernah memelajari bagaimana politisi berdusta dan mengapa mereka melakukannya, menyebut tiga hal yang membuat masyarakat memercayai dusta yang disampaikan politisi.

Pertama, masyarakat dikenal buruk dalam mengenali adanya muslihat. Untuk sebagian besar karena orang-orang tidak dapat mendeteksi kebohongan sehari-hari. Biasanya, masyarakat tahu seorang politisi berbohong karena kebetulan—misalnya, media memberitakan fakta yang sebenarnya. Alasannya, menurut psikolog ini, karena masyarakat menyimpan ‘bias percaya’—secara default masyarakat cenderung percaya bahwa orang tertentu tidak akan berbohong.

Kedua, karena kebohongannya ‘kurang ajar’ alias luar biasa. Ketika seorang politisi papan atas mengatakan sesuatu yang mengejutkan, publik langsung percaya. “Untuk soal sepenting itu, gak mungkin ia bohong” adalah sejenis respon yang lazim terlontar manakala seseorang mengatakan kebohongan yang luar biasa, yang membuat banyak orang ragu bahwa ia tidak mengatakan hal yang sebenarnya.

Ketiga, kemalasan berpikir. Ketika kita mendengar seorang elite politik mengatakan ini atau itu, kita seringkali malas untuk mencari tahu kebenarannya. Kita mager untuk, misalnya, memeriksa fakta atau melakukan fact checking. Kita menganggap perkataan itu benar belaka.

Politisi, menurut psikolog tersebut, seringkali mengikuti kode etik yang buruk, yakni tujuan menghalalkan cara. ‘kode etik’ inilah yang melandasi praktik politik kotor. Seorang politisi bisa saja terang-terangan membenarkan kebohongannya: “Jika saya berbohong mengenai lawan saya, ya gak masalah, soalnya jika ia terpilih, akan terjadi bencana.”

Ilya Somin, guru besar hukum di George Mason University, AS, tiga tahun lalu menulis di The Washington Post bahwa ada alasan lain mengapa politisi bisa berbohong, misalnya untuk mengeksploitasi ketidaktahuan publik. Politisi kerap menganggap masyarakat tidak tahu dan tidak memahami sesuatu, karena itu mereka menyatakan hal yang berbeda dari yang sebenarnya. Ketidaktahuan dan ketidakmengertian masyarakat mengenai isu penting akan dibiarkan oleh politisi demi menjaga kepentingan mereka sendiri.

Mengutip Jonathan Rauch, ilmuwan di Brooking Institution, AS, Somin mengatakan bahwa dalam politik, hipokrisi dan doublespeak [sekali waktu bicara begini, lain waktu bicara begitu; untuk teman sendiri ngomong begini, untuk lawan politik ngomong begitu] merupakan alat politik yang jamak dipakai. Ia mencontohkan, Presiden Eisenhower pernah membantah bahwa Uni Soviet telah menembak jatuh pesawat mata-mata AS, padahal faktanya memang demikian.

Meskipun teknologi di era medsos sangat membantu kerja para politisi maupun sekaligus menghadapkannya dengan tantangan yang pelik, politisi tak selamanya sanggup mengelak dari mengatakan kebenaran. Bahkan, Pinokio pun punya batasan yang akan menghentikannya berbohong. Seperti dikutip tempo.co baru-baru ini [https://tekno.tempo.co/read/1250050/begini-riset-soal-kebohongan-pinokio], pada 2014 Steffan Llewellyn—peneliti pada Centre for Interdisciplinary Science, Universitas Leicester, Inggris—pernah melakukan riset tentang Pinokio. Dari riset ini disimpulkan bahwa Pinokio hanya bisa mengucapkan 13 kali kebohongan, dan ketika itu panjang hidungnya sudah mencapai 140 meter. Inilah ambang batas yang mampu ditanggung Pinokio. Jika ia berbohong lebih dari 13 kali, hidungnya yang semakin panjang akan bertambah berat hingga tulang lehernya tak lagi sanggup menahan beban dan akhirnya patah. Rupanya, bagi Pinokio, 13 merupakan angka sial. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB