x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 29 September 2019 21:11 WIB

Kebiasaan ‘Titip Absen’ Anggota DPR, Adakah Dampak Legalnya?

Jika keputusan diambil dan secara riil syarat kuorum tidak terpenuhi karena jumlah anggota Dewan yang benar-benar ada di ruang sidang jauh lebih sedikit dari kuorum, dapatkah undang-undang yang disetujui di sidang paripurna DPR itu dianggap benar-benar sah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hari Senin, 30 September 2019, DPR periode 2014-2019 akan menggelar sidang paripurna terakhir. Akankah seluruh kursi anggota Dewan akan terisi penuh, sebab hari itu akan jadi ‘hari perpisahan’ bagi anggota DPR yang tidak terpilih lagi untuk periode 2019-2024? Ataukah, pemandangan kursi kosong seperti beberapa sidang paripurna sebelumnya akan kembali terlihat. Media massa telah sering memberitakan banyaknya anggota DPR yang bolos saat sidang paripurna, namun hal itu tetap terjadi.

Banyak media nasional yang memberitakan bahwa ketika sidang paripurna pengesahan revisi UU KPK pada 17 September lalu, sebagian besar kursi dalam keadaan kosong. Menurut media, pimpinan sidang menyebutkan bahwa 289 anggota Dewan menandatangani daftar hadir. Namun, yang benar-benar hadir dan duduk di ruang sidang hanya 102 orang dari jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang. Begitu pula, diberitakan bahwa saat paripurna pengesahan 3 undang-undang lainnya pada 26 September, sebanyak 283 anggota Dewan disebutkan telah menandatangani daftar hadir, namun yang duduk di kursi hanya 73 orang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Media tidak menjelaskan apakah para anggota Dewan itu ‘titip tanda tangan’ [mungkin kebiasaan ‘titip absen’ waktu sekolah yang terbawa terus] atau membubuhkan tanda tangan lalu keluar dari ruang sidang paripurna tanpa mengikuti acara pengesahan. Padahal, sidang paripurna merupakan forum pengambilan keputusan akhir mengenai hal tertentu, termasuk undang-undang. Jika hanya dilihat dari daftar hadir, pengambilan keputusan tersebut memang terlihat sudah memenuhi syarat kuorum—dan pimpinan sidang memang menganggapnya demikian. Namun, jika dihitung berdasarkan jumlah anggota DPR yang benar-benar duduk di kursi ruang sidang saat paripurna berlangsung, apakah dapat disebut bahwa syarat kuorum itu telah benar-benar terpenuhi?

Tentu saja, soal hadir atau tidak, maupun kebiasaan ‘titip tanda tangan’ atau mengisi daftar hadir lalu kabur, bukanlah perkara sepele, sebab ini terkait dengan urusan negara dan, mungkin saja, berpotensi punya dampak hukum. Misalnya saja soal syarat kuorum tadi. Jika keputusan diambil dan secara riil syarat kuorum tidak terpenuhi karena yang benar-benar ada di ruang sidang jauh lebih sedikit dari kuorum, dapatkah undang-undang yang disetujui di sidang paripurna DPR itu dianggap benar-benar sah? Jika ada yang iseng, mungkinkah sebuah undang-undang digugat di Mahkamah Konstitusi dengan alasan syarat kuorumnya hanya pura-pura belaka, tidak riil, karena banyak anggota DPR yang ‘titip tanda tangan’ atau mengisi daftar hadir tapi orangnya tidak ada di ruangan?

Kebiasaan tersebut menunjukkan terpeliharanya tradisi buruk sebagian anggota DPR. Kebiasaan ini barangkali juga dianggap lumrah oleh pimpinan DPR, yang kelihatan santai-santai saja memimpin sidang paripurna dengan pemandangan kursi kosong terhampar di hadapan mereka. Kebiasaan yang mungkin jadi tradisi turun-temurun itu dianggap wajar. Alasannya: ada acara lain yang tidak dapat ditinggalkan. Lho, ini kan sidang paripurna yang memutuskan nasib sebuah undang-undang yang mengatur kehidupan negara, kok merasa ada yang lebih penting?

Di samping potensi adanya implikasi hukum tadi, banyaknya anggota DPR yang tidak hadir secara fisik saat sidang paripurna berlangsung menunjukkan kurangnya komitmen kepada demokrasi. Sekalipun pembahasan sebuah undang-undang sudah melewati beberapa tahap, kehadiran anggota Dewan di sidang paripurna tetap wajib untuk mengawal hasil akhir pembahasan. Jika terdapat perubahan, apa lagi yang substansial, menjadi kewajiban anggota DPR untuk mempertanyakan hal itu di sidang paripurna, sebab inilah kesempatan terakhir untuk melakukan interupsi.

Jika anggota Dewan tidak hadir, perubahan dapat terjadi dan terlewatkan. Tanggung jawab anggota Dewan mengenai hal ini tampaknya memang kurang mengingat pendapat mereka sangat jarang berbeda dengan pendapat fraksi, dan fraksi tidak lain merupakan kepanjangan tangan partai politik. Sekalipun seorang anggota Dewan merasa tidak sreg dengan sebuah pasal, misalnya, ia tidak punya pilihan lain kecuali menyetujui dan menyuarakan pandangan partai. Barangkali alasan inilah yang menjadi dasar sebagian anggota Dewan untuk bolos dari sidang paripurna. Toh, semua keputusan sudah diambil dan disepakati sebelumnya di forum yang lebih rendah atau melalui lobi-lobi antarpimpinan. Paripurna hanyalah adegan penutup untuk memberi kesempatan pimpinan DPR mengetuk palu dan anggota DPR yang hadir mengumandangkan koor setujuuu!

Saya tidak tahu, apakah kebiasaan itu akan hilang dengan hadirnya anggota DPR yang baru, atau anggota baru akan mewarisi kebiasaan serupa? Bagaimana pula status legal undang-undang yang disahkan dalam sidang paripurna DPR dengan jumlah anggota Dewan yang hadir secara faktual kurang dari kuorum meskipun jumlah tanda tangan di daftar hadir sudah mencapai kuorum? >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB