Hari-hari ini Ketua Umum Partai Gerinda Prabowo Subianto amat gesit. Setelah bertemu dengan Presiden Jokowi beberapa hari lalu, ia kemudian menyambangi Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di rumahnya, kawasan Permata Hijau, Jakarta, 13 Oktober 2019.
Gerindra terlihat serius menjadi penyokong pemerintah. Pertemuan dengan Ketua Umum PDIP Megawati beberapa waktu silam, dan dengan bos Nasdem kali ini tampak semacam “sopan-santun politk” sekaligus lobi.
Yang menarik, dalam pertemuan itu Prabowo-Paloh juga bersepakat mengusulkan amandemen UUD 1945 secara menyeluruh. Jadi tak hanya menghidupkan kembali GBHN. "Misalnya pemilu serentak, harus kita pikirkan bersama apakah akan dilanjutkan atau kembali terpisah. Banyak hal lain lah," ujar Paloh.
Menyambar Umpan PDIP
Prabowo dan Surya Paloh seolah menyambar umpan PDIP. Sebelumnya partai ini telah melempar gagasan amandemen konstitusi di Kongres Bali pada 10 Agustus 2019. Saat itu PDIP mengusulkan “amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan GBHN."
Usulan itu banyak dikritik karena mengabaikan aspirasi rakyat dalam perencanaan pembangunan. Selain itu, keberadaan GBHN tidak klop dengan sistem pemilihan presiden secara langsung. Buat apa presiden dipilih langsung jika ia harus melaksanakan GBHN? Bukankah presiden semestinya merealisasikan janjinya saat kampanye?
Spekulasi pun berkembang: jangan-jangan “amandemen terbatas” itu hanya pintu masuk untuk agenda lain: menerapkan pemilihan presiden oleh MPR. Apalagi, PDIP kemudian menyokong Bambang Soesatyo menjadi Ketua MPR. Sebelumnya, mantan Ketua DPR ini pernah melempar wacana pemilihan presiden oleh MPR.
Reformasi II atau Orde Baru II?
Walaupun menyambut umpan PDIP, manuver Prabowo-Paloh tampak sedikit berbeda. Pertanyaannya, ke arah mana sebetulnya amandemen UUD 1945 akan digulirkan?
Dari sejumlah pernyataan politik yang muncul hingga kini, setidaknya ada tiga skenario yang bisa diraba. Skenario pertama, kembali ke sistem mirip Orde Baru atau Orba jilid II. Hal ini bisa terjadi kalau GBHN benar-benar dihidupkan dan diikuti dengan pemilihan presiden oleh MPR. Tanpa adanya pemilihan presiden secara langsung otomatis roh reformasi sudah tercerabut.
Skenario kedua, terjadi reformasi jilid II. Munculnya dinamika dalam proses amandemen sehingga terjadi penolakan terhadap GBHN. Pemilihan presiden tetap dilakukan secara langsung, tapi mekanismenya saja yang disempurnakan. Kalau hal ini yang terjadi, tentu bagus sekali. Tapi, melihat tren politik, harus diakui, skenario reformasi jilid II ini amat kecil kemungkinannya.
Skenario ketiga, perubahan tambal sulam dan penuh dengan kompromi. Artinya, GBHN tetap dihidupkan, tapi pemilihan presiden dilakukan secara langsung. Dari segi tatanan presidensial memang agak janggal.
Khalayak rasanya perlu mengikuti terus manuver para elite politik karena amandemen UUD 1945 akan menentukan arah negara ini. ***
Baca juga:
Penusukan Wiranto Settingan? Fakta-fakta Ini Tunjukkan Sebaliknya
Ikuti tulisan menarik Anas M lainnya di sini.