x

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 27 November 2019 10:56 WIB

Alasan SKB Anti-Radikalisme Dinilai Berlebihan & Serampangan

Penerbitan surat keputusan bersama (SKB) lima menteri dan enam kepala lembaga negara tentang penanganan radikalisme di kalangan aparat sipil negara (ASN) amat berlebihan. Pemerintah menjadikan radikalisme sebagai momok, padahal belum membuat definisi dan parameter yang jelas. Tidak semua perbuatan yang dilarang dalam SKB tersebut masuk kategori radikal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penerbitan surat keputusan bersama (SKB) lima menteri dan enam kepala lembaga negara tentang penanganan radikalisme di kalangan aparat sipil negara (ASN) amat berlebihan. Pemerintah menjadikan radikalisme sebagai momok, padahal belum membuat definisi dan parameter yang jelas. Tidak semua perbuatan yang dilarang dalam SKB tersebut masuk kategori radikal.

Opini itu menjadi sikap Koran Tempo yang dituangkan dalam Editorial Koran Tempo, terbitan Rabu, 27 November. SKB ini telah diterbitkan pada 12 November 2019 bersamaan dengan peluncuran portal aduanasn.id. Menteri yang terlibat dalam SKB ini adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.

Selain itu ada pula Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Pelaksana tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono, dan Ketua Komisi ASN Agus Pramusinto.

Bagi Koran Tempo, SKB itu berlebihan karena, antara lain, membuka ruang bagi masyarakat untuk memberi cap terhadap pegawai negeri yang, antara lain, hanya memberikan "like" pada suatu unggahan yang dianggap radikal di media sosial. Dalam hal menyebarkan kabar yang menyesatkan, seorang ASN mungkin melanggar etik ataupun pidana, tapi belum tentu radikal. Stigmatisasi ini bisa menimbulkan saling curiga di masyarakat seperti pada era Orde Baru, ketika orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah sampai dilabeli "komunis".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan parameter radikalisme yang masih samar, SKB tersebut juga rentan disalahgunakan. Kritik ASN terhadap pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk radikalisme. Karena itu, selain melegalkan prasangka, SKB tersebut berpotensi membatasi kebebasan berpendapat pegawai negeri.

Untuk menangani perilaku lancung ASN, pemerintah sebenarnya memiliki inspektorat, Komisi Aparatur Negara, dan Ombudsman. Adanya satuan tugas anti-radikalisme yang dibentuk berdasarkan SKB itu justru memotong fungsi lembaga-lembaga tersebut. Karena itu, ketimbang membentuk satuan tugas khusus, pemerintah sebaiknya memberdayakan lembaga yang ada.

Penanganan radikalisme di kalangan ASN memang penting. Tapi membuat instrumen yang berlebihan, seperti SKB, tidaklah perlu. Pemerintah semestinya menggunakan pendekatan yang cenderung preventif dan edukatif. ASN harus mendapat pemahaman bahwa mereka adalah pelayan publik yang profesional, yang semata-mata mengabdi kepada negara. Cara ini lebih baik dibanding hal yang bersifat hukuman.

Pemberantasan radikalisme yang serampangan justru akan mengaburkan akar masalahnya. Kebijakan semacam itu ibarat mengusir tikus ke bawah karpet. Tikus terus ada dan beranak-pinak. Pemerintah seharusnya mengembangkan budaya kebebasan berpendapat dan berekspresi. Dalam iklim demokrasi yang sehat, masyarakat tak akan gampang terhasut rayuan radikalisme.

Alih-alih mengatasi radikalisme, pemerintah malah memupuk ketakutan yang berlebihan di masyarakat. Selain perihal SKB ini, Presiden Joko Widodo dan sejumlah menterinya berulang-ulang pula menyampaikan jargon anti-radikalisme. Ini berbahaya, karena ketakutan akan hantu Islam radikal bisa membuat sebagian orang memaklumi tindakan sewenang-wenang pemerintah. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, diamini sebagian masyarakat karena mereka percaya bahwa lembaga antikorupsi itu telah dikuasai kelompok Islam garis keras yang sering disebut "Taliban". Padahal revisi tersebut memangkas kewenangan dan independensi KPK.

Karena itu, publik harus tetap awas. Jangan sampai ketakutan yang berlebihan terhadap radikalisme membuat kita enggan memprotes ketika demokrasi dan segenap produk reformasi dilucuti satu per satu. Terbitnya SKB anti-radikalisme jelas merupakan kemunduran. Pemberlakuannya membawa kita seperti kembali ke era Orde Baru.

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler