x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Selasa, 17 Desember 2019 17:24 WIB

Dialog Anak Gadis dan Ayahnya di MRT

Banyak orang kini engan berdialog. Lebih asyik sendiri. Dialog itu menyehatkan. Seperti dialog anak gadis dan ayahnya di MRT

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Zaman now, banyak orang mengeluh dalam hidup. Apa saja dikeluhkan. Seakan lupa syukur. Itu bukan karena capek. Tapi karena kurang dialog. Lalu mereka lupa, bahwa hidup itu memang harus berjuang. Berjuang untuk untuk kehidupan yang lebih baik. Bukan di dunia, tapi sesudah di dunia. Di alam yang gak fana...

Dialog gadis kecil dengan ayahnya. Di perjalanan moda MRT. Seketika, sang Ayah menggenggam kepala anaknya. Menciumnya sambil tersenyum. Tanda cinta sekalipun tanpa gemuruh.

"Nak, tetaplah jadi dirimu seperti perjalanan kita. Kebaikan itu sederhana Nak, asal kamu mau melakukannya. Karena kebaikan itu tak berbatas. Ia mudah muncul, kapanpun dan dimanapun. Asal kamu mau melakukannya. Itulah kebaikan"

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin, banyak orang sudah lupa. Dialog anak gadis dan ayahnya.

Dialog itu cara sederhana untuk mencairkan suasana. Bahkan untuk mengisi waktu luang sekalipun. Ibarat menonton film. Kadang, daya tarik film itu bukan berasal dari pemainnya. BUkan pula dari alur cerita atau artistiknya. Tapi justru film itu berkesan karena dialog-dialog-nya. Dialog yang pas dan mengena di hati penontonnya. Dialog berkelas yang punya pesan moral merasuk kalbu. Persis seperti rasa yang sedang terbenam di diri si penonton.

 "Kamu Nak, jadilah pribadi yang baik. Pribadi yang selalu bersyukur atas setiap keadaan diri. Pelajaran itu bisa susah atau bisa gampang. Tapi yang terpenting harus kamu hadapi dengan baik. Karena berani berhadapan dengan realitas pun sebuah kebaikan"

Ahh, ini hanya dialog anak gadis dan ayahnya.

Tapi dialog itulah yang sering membuat seseorang senang dan riang hati. Bahkan tidak sedikit orang yang terkesima orang lain karena dialog-dialognya yang berisi, bernas lagi mencerahkan. Maka berdialog-lah, selagi masih bisa. Dan yang penting, dialog yang positif. Karena dialog positif itu, konon, bisa lima kali lipat membahagiakan daripada dialog yang negatif. Dialog yang menyehatkan…

Dialog gadis kecil dengan ayahnya. Tentu gak ada yang istimewa. Tapi penting dikisahkan. Tanda hidupnya sebuah tradisi dialog. Tradisi ngobrol bareng yang sudah sering ditinggalkan orang. Bukan dialog tentang kekayaan, buka pula tentang harta apalagi jabatan. Tapi dialog dari hati ke hati, dialog yang ringan-ringan. Agar hidup jangan dilihat sebagai beban. Tapi anugerah. Dialog. Karena siapapun yang hidup tanpa dialog, berarti mati.

Dari dialog, manusia itu diingatkan. Bahwa manusia diberi kaki yang kuat, itu untuk melangkah ke tempat ilmu dan amal. Diberi jemari tangan yang lentik, itu untuk menghitung berapa banyak kebaikan yang sudah ditebarkan. Diberi bibir yang menarik, itu untuk ber-ucap perkataan yang baik.

Lalu, diberi pipi yang lesung, itu untuk menebar senyum yang ikhlas kepada siapapun. Diberi mata yang menawan, itu untuk selalu melihat kebaikan pada orang lain. Diberi tubuh yang sempurna, itu untuk menyisihkan rezeki kepada orang yang kurang mampu. Bahkan diberi wajah yang bercahaya, itu untuk membersihkan kotornya batin dalam diri.

Dialog anak gadis dan ayahnya.

Karena saat dialog, di situ ada nasehat. Hidup itu pasti ada ujian, ada cobaan. Tinggal kita yang menyikapinya, mau menjadikan hidup kita "lebih baik" atau "lebih pedih". Karena setiap masalah punya dua kebisaan. Bisa "menguatkan" atau bisa "menghancurkan". Maka Nak, pilihan itu ada pada kamu. Kamu yang pilih mau kuat atau mau hancur. Kata orang di luar sana, mau jadi pemenang atau pecundang.

Berdialog, kadang jadi pemicu seseorang untuk berjuang menjadi lebih baik. Menjadikan hati yang baik, bukan wajah yang indah. Menjadikan pikiran yang objektif, bukan otak yang berlumur segumpal subjektivitas. Ingatlah Nak, jangan terkecoh. Karena hal-hal yang indah itu tidak selalu baik. Tapi hal-hal yang baik akan selalu indah.

Ketahuilah Nak, untuk menjadi lebih baik, kadang kita harus berhenti mendengarkan orang lain. Dan harus lebih peduli untuk mendengar apa yang disuarakan oleh hati kita sendiri. Itu sudah cukup di zaman now #TGS #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi

 

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler