x

Iklan

Muhammad Itsbatun Najih

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 18 Desember 2019 13:03 WIB

Bermedia Sosial: Jangan Banal, Jangan Asal

Buku mengurai perubahan paradigma perihal moralitas yang terjadi saat in, terutama di media sosial. Kaum milenial dianggap memiliki kecenderungan mendobrak sistem norma laku, meski efeknya kerap destruktif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Media sosial membawa kemudahan hidup dan renik-renik kesenangan. Ada kebebasan berekspresi sembari memamerkan diri perihal capaian karier, keberpunyaan materi, dan berlibur di luar negeri. Bertambah nikmat bila jumlah “like” dan komentar puji terus membanjir. Keriaan berlanjut kala bisa berteman atau me-follow pesohor dan kalangan ahli. Diri sendiri juga bisa sekejap menjadi buah bibir meski bukan siapa-siapa. Saban orang punya kesempatan mendadak terkenal serta tiba-tiba berlimpah materi tersebab fenomena “viral”.

Syukur-syukur bila keviralan lantaran berprestasi dan sememangnya mendapat apresiasi. Namun, keviralan kerap menghadirkan kebanalan; mengumbar ketidakpantasan, mendegradasi moral, dan membeber privasi orang. Celakanya, polah itu disengaja agar lekas viral. Warganet memang merisak dan merundung; tapi hanya berlangsung sebentar. Cepat memaafkan dan mudah melupakan merupakan karakter –sebagian-- warganet. Karena itu, dalam memproduksi konten video blog (vlog), misalnya, dibuat sesuka hati hingga menerjang keadaban; demi keviralan.

Buku ini mengurai 44 panduan etik menyikapi laku hari-hari ini. Tiada narasi sebagai buku khotbah yang menggurui. Penulis buku mengajak pembaca untuk bersama-sama mendiskusikan fenomena perubahan polah sosial; termasuk tersebab pengaruh kuat media sosial. Bukan berarti menyalahkan media sosial; lantaran hanyalah alat yang bebas nilai. Hanya saja, penulis melihat ada semacam kegagapan atau ketergopoh-gopohan dalam bermedia sosial. Salah satu indikasi tersebut nyata teruar dengan matinya kepakaran-keahlian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagian warganet bak memosisikan setara keilmuan bersama kalangan pakar. Pendapat ilmiah yang teruji akademis spontan dibantah followers-nya dengan narasi tandingan yang serampangan sembari membubuhkan serangan personal/fisik. Modal berupa kemudahan googling dianggap cukup menyejajarkan diri dengan para ahli.

Celakanya, polah macam itu disebutnya “diskusi”. Sehingga, seakan-akan bisa termaklumi lantaran berkonteks ilmu pengetahuan dan membuka wawasan. Alasan semacam itu tak lebih hanya alibi, dalih, pembenaran.
Padahal, term diskusi amat menuntut kerelaan mendengarkan lawan bicara membabar sejenak argumen dan kemudian ditanggapi (hlm: 148).

Sayangnya, hari-hari ini, diskusi publik di media sosial dan layar televisi, seorang yang masih muda tak segan membabi buta menyerang argumentasi lawan bicara yang sudah sepuh tanpa mengindahkan lagi adab berkomunikasi. Sekali lagi, adegan nirkesantunan semacam itu masih terdalih dan teralibi sebagai “kepatutan”; lantaran yang disampaikan argumen ilmiah, bukan makian atau serangan fisik. Di sinilah lapis makna berfungsi sempurna untuk mengelabui makna asasinya.

Melalui media sosial, citra diri ditampilkan paksa amat rapi. Semaian-semaian berkegiatan yang menurutkan imbas positif dan keterpesonaan warganet. Sekali lagi, demi sebuah konten dengan berlebih mem-branding diri. Inilah kesemuan sejati alias ilusi yang dilingkupi narasi hipokrit. Padahal, dunia nyata sebagai antitesis jagat maya, bakal selalu menemukan celah dan cara untuk menyibak siapa diri sesungguhnya. Atawa, dari jejak digital sendiri itulah --merupakan rekaman laku-laku di dunia maya-- yang bisa jujur menjawab dan membuka tabir baik-buruk.

Pesan implisit buku ini, agar tak perlu sampai silau-kagum. Tak perlu pula sampai membenci, mem-bully, nyinyir. Perlu sikapan bajik berupa kemampuan menahan diri untuk tidak gampang merespons/menilai hanya dari tampilan di media sosial (hlm: 128). Walhasil, ada kontemplasi bahwa setiap cuitan, unggahan, dan segala aktivitas sosial di belantara jagat maya, ada nama baik diri yang dipertaruhkan. Karena itu, moderasi sikap merupakan pijakan ideal mendesain pergaulan kepada siapa pun dan bahkan di mana saja.

Di balik menyorot polah sosial yang berubah signifikan, buku ini memberikan semacam pembanding: menginventaris keunggulan-keunggulan generasi milenial sebagai objek bahasan. Tanggap teknologi, tipikal kreatif-inovatif, tanggap tema sosial, bahkan melek politik adalah kekhasan milenial (hlm: 29). Karena itu, sangat disayangkan apabila keunggulan karakter tersebut berjalan bebarengan dengan polah dekonstruktif.

Kaum milenial kian menjadi perbincangan karena saat ini mendominasi di kelompok usia produktif sekaligus pemeran utama di media sosial (hlm: 24). Sisi lain, telah banyak kontribusi milenial tertoreh manis: memviralkan kerja-kerja sosial hingga menggalang solidaritas kemanusiaan.

Hanya saja, pada mereka pula, acap kali tampak mengalami kepayahan menjaga etika bersosialisasi di media sosial. Sebutan-sebutan binatang dan kata kotor, masih menjadi kosakata populer. Karakter cekatan (baca: terburu-buru) milenial saat mengomentari apa saja isu yang sedang trending sering menibakan krisis nalar kritis dan nirpermenungan.

Buku membabar cerita pengalaman penulis dengan menawarkan konsepsi pendidikan karakter sudut pandang generasi baby boomers/sepuh. Sehingga diharapkan terwarisi dan terpakai oleh anak milenial. Uaran-uaran bijak penulis buku tersaji segar dan kekinian; sehingga selaras dengan tipikal milenial yang asyik dan gaul.

 

Data buku:
Judul: Pendidikan Karakter Era Milenial
Penulis: Hendarman, Ph.D
Penerbit: Rosda, Bandung
Cetakan: Agustus, 2019
Tebal: 218 halaman
ISBN: 978-602-446-365-6

Ikuti tulisan menarik Muhammad Itsbatun Najih lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB